Bismillah, my first journal di kelas Bunda Saliha 2023.
Menuliskan jurnal ini sebenarnya agak dag-dig-dug-der! Mengapa? Karena se-excited dan se-‘penuh’ itu campur aduk menjadi satu. Setelah mengikuti sesi highlight oleh Mbak Dian (manajer program Bunda Saliha) dan menyimak materi dari Ibu Septi, plus masuk ke zoom meeting sesi Q&A, akhirnya saya merenung. Tentu saja sambil oret-oret random aneka hal terkait tema pertama ini, mengidentifikasikan masalah.
Kalau ditanya, masalahnya apa? Oh yaaa, tentu banyak dan tak akan pernah bisa lepas dari masalah. Sama halnya kayak makan dan minum, sepanjang masih hidup tentu membutuhkan itu. Namun, disini, permasalahan itu ‘diswitched’ agar dicintai, disukai. Kalau menurut Bu Septi, masalah itu merupakan sesuatu hal yang membuat diri dan mata berbinar-binar (kalau di kasus Bu Septi, melihat anak-anak punya masalah, disanalah mata seorang berbinar-binar terang benderang bersemangat menghadapinya).
Tentu karena saya bukan Bu Septi, untuk menuju ‘melihat permasalahan’ adalah sesuatu hal yang terang benderang, perlu proses dan waktu. Tapi setidaknya, ada pergeseran pola pikir yang saya serap ketika menyimak materi beliau. Bahwa masalah itulah yang akan menumbuhkan diri kita.

Nah, oleh karena itu, saya akan memaparkan aneka masalah yang menurut saya penting (buat diri pribadi utamanya) dan mungkin para pembaca related juga. Namun, karena latar belakang kita berbeda-beda, apa yang saya hadapi ini tentu bisa variatif bentuknya.
Apa Masalah Saya?
Awalnya, saya menuliskan beraneka ragam jenis peristiwa. Kemudian, saya cek lagi, kalau hanya peristiwa, rasanya kayak menuliskan sebuah artikel atau novel yang panjangnya tak terkira. Akhirnya, saya coret semua. Saya ganti kertas dan pikiran lagi, saya coba menggali masalah yang hadir di hari ini dan apa yang saya rasakan. Karena intinya adalah menggali masalah yang riil dirasakan, bukan masalah yang masih diperkirakan atau malah diada-adakan.
Dari puluhan masalah, kalau aja diteruskan bisa sampai ratusan kali ya, wkwkwkwk, masalah saya kerucutkan ke 10 poin ini.

- Perfeksionis.
- Mother Wound.
- Distraksi.
- Sandwich Generation.
- Generational Trauma.
- Hormonal imbalances
- Leaky gut
- Less on Feminine Energy/Feminine Qualities
- Procrastination
- Unhealthy Boundaries
Setidaknya 10 poin itu yang sebenarnya saling terkait satu sama lain. Masalahnya tidak lari kemana-mana, tapi balik lagi kedalam diri (I just look-in to myself).
Kalau dilihat dari aneka model peristiwa, kejadian, bahkan problem harian, sepuluh hal itulah yang menjadi masalah yang memang perlu dihadapi dan diperbaiki walau saya belum tahu harus bagaimana. Walau sudah mencoba nyicil mencari ilmunya, tapi memang perlu waktu, proses, dan kesadaran plus kesabaran agar sifatnya panjang, long term.
Perfeksionis
Sifat all or nothing at all alias perfeksionis ini membuat saya selalu merasa ‘sekaligus’ atau ‘tidak sama sekali’ dalam melakukan sesuatu. Termasuk ketika membuat keputusan-keputusan penting, ini seolah selalu triggering ketika dihadapkan pada kondisi menentukan pilihan. Hasrat ingin sempurna, kadangkala membuat saya tidak maju-maju, padahal orang atau siapapun tidak menunggu itu. Misalnya, ketika saya menerima pesan dari salah satu orang yang meminta saya untuk membuat sebuah konten yang dia nantikan. Tapi, karena saya merasa belum sepenuhnya ‘sempurna’ maka tidak saya lakukan. Padahal jika saya memiliki keberanian sedikit untuk mendobrak rasa ‘tidak apa-apa tidak sempurna’ itu, bisa jadi orang atau sosok itu terbantu. Hal ini sering terjadi berulang-ulang. Saya selalu mengamati pola ini, tapi anehnya saya tak juga keluar dari problem ini.
Mother Wound
Mother wound, istilah yang akhir-akhir ini baru saya ketahui, yaitu luka-luka emosional yang disebabkan kurang dan hilangnya support dan kasih sayang dari figur ibu. Secara tidak langsung hal ini mempengaruhi bagaimana saya bersikap terhadap diri sendiri, pasangan, anak, bahkan lingkungan. Saya menyadari bahwa latar belakang sejak kecil saya tidak mendapat ASI, terlahir prematur, tidak diasuh langsung di masa-masa krusial oleh ibu (dan bapak), perceraian, dan aneka peristiwa yang menyakitkan, membentuk pola pikir dan sikap yang kurang seimbang. Terutama di fase memori yang terekam, ketika saya sakit panas, butuh pelukan jsutru ibu tidak hadir disana.
Kejadiannya memang sudah lama dan belasan tahun (tidak dekat dengan ibu). Namun dampaknya luar biasa. Apalagi saya hidup sebagai anak tunggal, komplit sudah semua terasa sendiri. Ada trust issue yang belum selesai hingga hari ini. Dampaknya adalah ke pola asuh anak-anak, saya kurang mempercayai apapun lembaga. Maka keputusan homeschooling anak-anak saya pun (diluar pemahaman terkait pendidikan non-formal) juga berkaitan dengan issue ini, mother wound.
Distraksi
Entah bagaimana, sepertinya ada kaitan juga dengan masalah hidup di zaman digital. Berbeda dengan kondisi ketika dulu saya tidak memiliki gadget sama sekali (masa sekolah). Pun saat kuliah, masih menggunakan ponsel jadul tanpa internet. Tapi kini, internet di genggaman, suka sekali menggoda perhatian. Walau kadang fokus, tapi seringkali gagal mengalihkan. Ini pun di rumah sejak awal tidak menyediakan televisi, masih saja sering terdistraksi.
Sandwich Generation
Sebenarnya kalau untuk diri pribadi, saya tidak terlalu ‘ngesandwich’ atau menanggung beban siapapun. Kecuali ada rasa tanggung jawab saya untuk membalas kebaikan nenek dan ibu yang telah mengerahkan tenaga saat saya masih belum mandiri (sejak bayi hingga SMA). Akan tetapi, saya menikah dengan pasangan yang memang sandwich super sandwich. Disinilah tantangannya, menanggung kedua orangtua dan juga adik-adiknya yang belum selesai masa pendidikannya. Bagi saya, problem ini juga penting karena memang masih berkaitan dengan keseharian.
Generational Trauma
Istilah generational trauma ini saya dapat saat saya menonton film dokumenter Dr. Gabor Mate yang berjudul ‘the Wisdom of Trauma’.
Generational Trauma ini menjadi kerusakan psikologis yang disebabkan oleh paparan peristiwa traumatis yang dialami generasi sebelumnya dalam keluarga. Nah, saya sadari bahwa ada trauma-trauma ibu saya yang diturunkan ke saya, juga oleh keluarga yang secara tidak sadar itu seolah menjadi trauma saya. Padahal seharusnya tidak saya genggam.
Namun, memisahkan diri dari trauma yang menempel sejak bayi, tidaklah mudah (kita tahu, trauma itu diturunkan lewat rahim- rongga terbesar yang ada dan dimiliki oleh seorang wanita pada anaknya). Maka, rasa sedihnya ibu, rasa tidak nyaman, traumatized-‘milik ibu’ menempel erat di badan saya. Walau seharusnya itu perlu dipisahkan. Tapi, saya masih merasakannya hingga kini, baik secara psikis maupun fisikal. Paling mudah, ibu saya tidak suka durian. Maka, saya hingga detik ini pun tidak menyukai durian aneka bentuk dan jenis. Ibu saya sangat suka terong, maka saya pun demikian, itu baru fisik, belum hal lainnya. Banyak sekali kalau dipaparkan.
Hormonal Imbalances
Ketidakseimbangan hormon ini mempengaruhi mood dan perasaan. Kalau kata seorang guru saya, perlu memperhatikan asupan. Tapi ini memang menjadi PR buat saya pribadi. Apalagi hari ini saya masih menyusui anak bayi. Pengaruhnya buat ‘ngereog’ dan tidak menjadi ‘reog’ begitu terasa ketika hormon sedang seimbang dan tidak seimbang.
Leaky Gut
Kembali ke topik ‘ketidakseimbangan’, sumber lainnya datang dari pencernaan. Gejala atau hal yang saya rasakan cukup kompleks. Mulai dari kembung, kelelahan, mal-absorpsi (makan banyak tapi berat badan tidak naik), mood swing, kecemasan, jerawat yang memang menjadi ciri khas dinding pencernaan yang kurang sehat.
Less on Feminine Energy/Feminine Qualities
Nah, kualitas feminin ini juga masih sangat kurang. Entah karena memang sejak kecil ‘mengeraskan diri’ sehingga terlalu maskulin (dari sisi kualitas), dan didukung tidak punya saudara (apa-apa jadi sendiri, ini lebih logis dan jadi lebih ‘awas’ dalam bertindak, kompetitif juga), disertai pendidikan yang memang latar belakang teknik, berteman dan memiliki guru/dosen laki-laki semua. Wallahu’alam. Sampai hari ini masih berjibaku untuk ‘melembutkan’ diri.
Procrastination
Menunda-nunda juga menjadi permasalahan, ini sepertinya nyambung dari sifat perfeksionis saya.
Unhealthy Boundaries
Dan the last, ketidaksehatan batasan. Sebenarnya saya sudah mulai membatasi diri, bahkan sudah berusaha menghilang agak lama dari peredaran dunia relasi atau hubungan keterikatan dengan sesama. Termasuk memilah-milah pekerjaan. Namun, praktiknya juga tidak mudah. Karena saya harus menggali banyak hal dan memenuhi kebutuhan juga, terkadang sulit untuk menyatakan tidak. Walaupun bisa menolak, ujungnya kadang ada perasaan tidak enak. Menegakkan batasan sehat ini masih menjadi PR.
Bagaimana saya tahu kalau ini masalah bagi saya?
Intinya adalah saya :
- Sering melakukan sesuatu jika itu saya anggap ‘komplit’ dan sudah layak atau tampak sempurna. Atau tidak melakukannya sama sekali.
- Disconnected with my self. Lebih banyak memilih di luar dibandingkan apa yang didalam diri. Misalnya seharusnya tidak mengambil amanah A, tapi karena tidak enakan, jadinya ambil aja.
- Banyak akun medsos dan judul karya dari buku yang saya hadirkan, sudah dituangkan dalam tulisan (draft), tapi kurang fokus, penuh distraksi. Sehingga kurang optimal mengembangkannya, belum selesai hingga hari ini.
- Hingga hari ini, saya juga masih berjibaku dengan masalah finansial.
- Ada gangguan kecemasan yang hadir dampak dari generational trauma.

Turunannya banyak sekali sebenarnya, sampai problem pendidikan anak-anak saya yang homeschool pun terpengaruh juga. Rapor anak belum sempat saya buat (ini dalam jangka pendek), juga self check buat anak bayi (usia 1 tahun lebih) yang belum juga memenuhi milestonenya, belum lagi hal sosial lingkungan yang cukup kompleks. Seperti, suami mendirikan bank sampah tapi belum terorganisir dengan baik (belum tersosialisasi sesuai target) di lingkungan sekitar. Tapi, hal yang paling utama, masalahnya ada di diri pribadi ini.
Bagaimana saya tahu kalau masalah saya sudah selesai?
Kalau masalah beneran selesai sepertinya saya tidak tahu, tapi mungkin berkembang dan menjadi lebih ringan. Tapi saya bisa mengkategorikan begini :
- Selesai masalahnya jika saya mau dan mampu mengerjakan hal apapun tanpa menunggu ‘sempurna’.
- Selesai masalah jika sudah kembali connected dengan rasa sebagai ibu dan hubungan sehat dengan ibu saya, healing my mother wound.
- Media sosial saya berkembang dan karya-karya saya bisa bertebaran.
- Jika urusan finansial tak menjadi soal (minimal tidak merasa kesulitan menanggung beban banyak pihak).
- Berkurangnya gangguan kecemasan dan jikapun tetap ada, bisa diminalisir.

Secara umum, buat para ibu perfeksionis seperti saya, masalah yang dihadapi tentu tidak sama. Namun, jika sudah mampu ‘produktif’ dan beneran tidak menjadi kendala di keseharian, rasanya pasti nyaman dan ringan. Mudah-mudahan.
Problem Statement
Inti masalah saya sejatinya ada didalam diri, kalaupun eksternal, tidak bisa dikontrol hanya masalah sandwich generation & generational trauma. Tapi, keduanya menurut saya masih saling terkait dengan mother wound, karena mempengaruhi segala keputusan (sadar dan tidak sadar) setiap detik saya.
Adapun untuk perfeksionis dan distraksi, ini masalah internal yang memang perlu saya gali lagi dan lagi karena memang muncul menjadi gangguan di kehidupan sehari-hari.

Inti masalahnya ini saya ketahui secara sadar karena memang benar-benar belum tuntas dan juga saya belum bebas finansial.
Harapannya mudah-mudahan menjadi ibu yang lebih produktif dan bisa bebas finansial ke depan. Amin.
Akar Masalah
Dari analisa, mencoba-coba mengerucutkan masalah besar saya sejatinya ada 2 hal ini :
- Mother wound.
- Sandwich generation.
Keduanya menghasilkan :
- Sikap tidak produktif.
- Dan kecemasan (juga marah, juga insecure)
Jika digali lagi, akar masalah dari bejibun masalah saya ada 2 juga.

Akar Masalah 1 adalah inner child yang juga masih berkaitan dengan generational trauma.
Akar Masalah 2 adalah perfeksionis, ini menghasilkan sikap menunda-nunda dan menikmati distraksi.
Lalu, bagaimana ke depannya?
Wallhu’alam. Mudah-mudahan Allah berikan petunjuk untuk perlahan-lahan mencerna dan menemukan solusi yang inovatif dan terbaik dari proses kelas enam bulan ke depan. Amiin.
2 thoughts on “Bunda Saliha Batch 2 #1stJournal : Identifikasi Masalah”