Kembang api meletup semarak. Seolah-olah dunia kembali berjalan normal dan melupakan kondisinya, bahwa pandemi covid-19 ini masih di sini. Bahkan setelah melewati detik tengah malam, mengganti bajunya ke dalam angka, 2021, dunia ini semakin heboh dengan mutasi virus yang baru.
“Kamu enggak jadi liburan, Ra?” seru Maya, teman satu kosku.
Aku menggeleng, menghela napas. Bunyi sorak-sorai di lantai satu masih terdengar, semakin ramai. Area yang seharusnya steril dari kerumunan, mendadak hingar bingar, ada pesta bakar. Ibu kos dan keluarganya pergi melalang buana. Entah kemana, yang jelas, halaman depan, kini dipenuhi ‘anak-anak’ yang parkir terlihat wajah-wajah taka sing dari fakultas. Bagi yang tidak bisa pulang, menenggelamkan diri untuk nongkrong bersama di tempat ini adalah rezeki tersendiri. Bebas makan sepuasnya karena ada yang mentraktirnya.
Bangunan kos-kosanku boleh dibilang, mujur sekali. Area atas menanjak tinggi, yang jika dilalui, kalian bisa menyaksikan kembang api dari sini indah sekali. Jika turun ke area agak bawah, kalian akan menemui jajaran toko alat tulis, perabotan segala rupa dan ruko santapan kuliner yang mengundang selera. Aku tahu, salah satu inisiator yang ingin merayakan tahun baru dengan mengundang keramaian di lantai bawah adalah Erika. Salah satu mahasiswi tajir yang belum lulus karena ketahuan melakukan plagiasi terhadap beberapa karya ilmiahnya. Namun ia lolos karena sudah menunaikan kompensasi.
“Ra, kamu serius nih, enggak mau ikutan turun ikutan barberque?” Maya kembali menyelinap, membawakan secangkir kopi hangat yang aromanya membangkitkan rasa segar, kemudian duduk di kursi kamarku seperti biasa dan melanjutkan kalimatnya, “kamu dari kemarin terlihat semangat berkemas, lantas kenapa sekarang malah tampak murung di sini? Beasiswamu, beneran jadi kan, Ra?”
Aku lemparkan senyum tipis padanya, sembari meraih cangkir kopi yang ia tawarkan. “May, aku jawab nanti ya. Pikiranku kalut.”
“Eh, kenapa? Cerita, ceritalah sama aku.” Raut wajahnya semakin penasaran. Aku tahu, Maya suka kepo dan selalu berpikir bahwa aku adalah perempuan yang paling istimewa dengan segala prestasi akademik yang melimpah. Namun, dia tidak tahu bahwa dibalik semua itu, ada sesuatu hal yang aku sembunyikan, yang jika ditukar dengan tiket beasiswa, tak pernah sepadan.
“Kamu sendiri, kenapa enggak liburan May?” selorohku, bukannya langsung menjawab rasa penasarannya, justru aku lebih tertarik untuk bertanya balik padanya.
“Masih ada beberapa pekerjaan di kampus yang belum aku selesaikan, Ra.” ujarnya, santai, “aku ikut proyek beberapa dosen. Namun karena pandemi, semua serba daring dan aku tetap enggak bisa meninggalkan kampus begitu saja. Takutnya ada keperluan.”
Aku mengangguk paham, Maya memang pekerja keras. Passionnya menjadi dosen di sini ia gaungkan sejak awal, itulah kenapa sampai detik ini ia masih semangat untuk terus belajar dan mengajar. Maya melanjutkan S2, sementara aku masih disini, menunggu tiket berangkat ke Australia. Namun sebab pandemi, border di sana tutup. Australia termasuk negara yang super ketat dalam mengatur kebijakan jalur keluar-masuk penduduk sejak awal pandemi.
Maya dan aku masih di titik yang sama. Kami tidak hanya berteman sebagai kawan yang saling support sebagai antar tetangga kamar, namun di kampus pun demikian walau berbeda jurusan tapi masih satu fakultas, kami berdua sering jalan bersama hanya sekadar untuk memenuhi rasa lapar atau berjalan ke perpustakaan.
Dari awal Maba sampai detik ini, seluruh impian kami satu per satu bisa sama-sama kami coret dan mengerucut pada bidang kesukaan kami. Maya berharap ingin menjadi dosen maka dia kejar akademiknya, kiprahnya diawali dengan menjadi asisten dosen serta membantu beberapa proyek di kampus. Satu teman dekatku lagi, Rita, yang sudah balik ke daerah asalnya, sudah diterima sebagai PNS, pegawai negeri sipil, lebih menyukai berorganisasi karena membutuhkan pengalaman untuk mengabdi serta mengumpulkan banyak penghargaan di bidang pemberdayaan masyarakat. Impiannya tercapai dan dengan bangga, kami mengantarnya pulang sebelum pandemi meluluhlantakkan dunia dan negeri ini.
“Kamu dari dulu konsisten May, nyangka nggak kalau kamu tuh hebat bisa di titik ini? Kamu S2, aku pun S2 tapi nasibku belum jelas juga…” Kuketuk-ketuk keyboard laptop, menunggu email sepanjang hari hingga berasa hopeless sendiri. Beasiswa sudah fixed, kampus juga fixed namun efek pandemi, semua diundur sampai border terbuka kembali. Bisa gila sendiri.
“Ra, kamu dong seharusnya bersyukur. Bisa diterima di sana. Bukankah itu awal mula tujuanmu kuliah di sini? Inget nggak, dulu saat awal kita bertemu. Nametag dengan nama ‘Nara Wijaya’ yang paling disorot karena menulis di pohon harapan dengan begitu mencolok, tulisanmu paling aneh dan panjang kan?”
Aku terbahak, dasar gila emang. Malu rasanya menuliskan impian di pohon harapan sepanjang dan seambisius itu. Tapi kenapa aku enggak malu ya saat itu?
“Ya ingat dong, malu-maluin, hahaha.”
“Iya, polos banget kamu Ra.”
Tapi walau aku sebegitu ‘polosnya’ saat mulai ditantang salah seorang senior, malah enggak ada takutnya. “May, dulu aku kenapa bisa seperti itu ya. Debat Bahasa inggris bareng Renata melawan Kak Aldo dan Kak Handita.”
“Iya, gila sih, tapi keren! Itulah kenapa sejak itu aku mencarimu Ra. Sejujurnya, karena dekat-dekat kamu, secara tak langsung aku juga semangat belajarnya. Bahasa inggris kamu keren!”
Aku terbahak. Tapi sejatinya bukan karena itu. Melainkan, ada hal lain yang memang sedang aku perjuangkan. Namun, luluh lantak di akhir tahun ini, tapi akan aku simpan erat hingga aku memberanikan diri untuk menghadapinya.
“Ortumu gimana kabar May? Sehat kan?”
“Alhamdulillah Ra, sehat. Di kampungku zona hijau. Nias Utara masih aman. Kalau ortumu, aman kan?”
“Aman.”
“Ra, sedih ya rasanya beberapa orang yang kita sayang mulai berguguran sebab pandemi tahun ini. Kamu masih inget kan, betapa banyak kawan kita yang menangis karena Kak Aldo positif covid, selang beberapa pekan mengembuskan napas terakhirnya?”
Aku mengangguk, kugigit lidahku, rasa tak nyaman menjalar ke sendi ini, aku sungguh terenyuh. Lelaki yang super baik, kocak, lucu, pandai, tampak sehat dan rajin mengikuti kajian itu telah pergi. Banyak yang mengira kalau aku mirip Kak Aldo, dari sekolah yang sama dan prestasi yang membanggakan juga.
“May, aku ngantuk. Udah jam satu lho ini. Kamarku udah beres kurapikan, aku ingin istirahat.” Ujarku, aku takut jika diriku terlarut dengan obrolan yang sengaja aku hindari ini.
Maya akhirnya beranjak berdiri, kemudian mengambil cangkir kopiku yang sudah tandas kuseruput sejak tadi. “Biar aku yang nyuci. Ini gelasya Erika dari bawah. Met rehat ya Ra. Jangan lupa tahajud dulu.”
Aku menguap, tersenyum dan mengangguk sekaligus. Pintu kamar aku tutup dari dalam.
Tanpa sadar, Maya telah membuka jalan bahwa aku harus menerima ini semua. Tanpa sadar juga, aku telah memasang wajah ‘mencoba merasa baik-baik saja’ ke sekitarku. Padahal, aku sungguh merana.
Kuraih secarik kertas dari dalam laci meja, di bagian paling bawah terselip beberapa jurnal harian yang lama tak aku sentuh. Aku takut melihatnya, namun, malam ini, mau tak mau harus aku hadapi.
Kuraih lembar itu dengan tangan yang masih bergetar.
Foto almarhum Kak Aldo.
Banyak yang mengira kalau aku mirip Kak Aldo. Bukan hanya karena kami berasal dari satu daerah yang sama dan sekolah yang sama. Beberapa kuikuti kegiatan yang sama dengannya, genre buku favorit, mata kuliah favorit, sampai ke IPK juga mirip. Sebenarnya bukan kebetulan belaka, justru akulah yang ‘mengejarnya’ dalam diam. Harapanku, supaya aku bisa lebih baik darinya atau minimal sejajar.
Sejak SMA tepatnya, aku mengaguminya. Namun aku tutup rapat perasaan ini dari siapapun, bahkan pada ortu atau temanku yang paling dekat seperti Maya sekalipun. Tidak ada yang tahu, kecuali rintihan air mata yang mengalir di permukaan sajadah setiap hari.
Saat mengetahui Kak Aldo positif covid, aku berusaha tegar, toh aku bukan siapa-siapa dan tak mungkin juga menangis keras, justru aneh karena selama ini aku bersikap selalu biasa saja. Namun pada akhirnya aku merasa hancur juga. Enggan keluar kemana-mana bahkan tak tega rasanya mendengar kabar pemakamannya yang sepi tiada yang mengantar selain petugas kesehatan sebab menggunakan prosedur covid yang ketat. Seketika semangatku luruh, tapi aku tak berani menuduh.
Dear Kak Aldo, terimakasih. Sudah memberi inspirasi sepanjang tujuh tahun lebih. Semoga kakak tenang di sana. Kita semua akan kembali, menuju ilahi, hanya menunggu waktu. Aku tak pernah menyesal telah termotivasi karena Kakak. Namun yang aku sesali adalah kenapa aku menaruh harapan kepada manusia? Termasuk kepada Kak Aldo semata. Bukankah ini sia-sia?
Bukankah kakak yang telah mengajarkanku arti motivasi? Motivasi tertinggi seharusnya aku sematkan kepada Ilahi. Kenapa aku bisa lupa?
Terimakasih sudah memberi arti di hidup Ara selama ini. Walau dalam angan di kepala Ara semata. Kakak tak pernah tahu dan tak ada seseorang pun yang tahu. Semoga Allah berikan pahala, dan mengampuni kita semua. Semoga jiwaku yang masih hidup ini, ikhlas. Harus ikhlas!
Bismillah. Tahun 2021. Ara buka kembali jiwa ini, dengan motivasi baru, semua ini bukan karena Kakak. Tapi karena Ara sebagai Hamba-Nya yang harus terus bersyukur.
Cheers-
Ara.
Surat itu aku tulis untukku sendiri. Kugenggam erat dan aku bawa serta ke atas sajadah. Mungkin bagi kalian, arti kehilangan bisa ‘semenyakitkan’ itu. Jiwa terasa lemah, hampa namun tak mengerti harus berbuat apa. Aku tuliskan surat dan aku genggam tulisan ini untuk diriku. Meretas jiwa seorang diri. Berdoa dan curhat pada Allah yang selalu memberikan hal yang terbaik untuk diri ini. Inilah obat sejati untuk mengawali tahun baru 2021 yang masih dalam lingkaran pandemi. Semoga, kita semua senantiasa dalam keberkahan ilahi, mengatur waktu sebaik-baik dan semurni cinta sejati. Cinta bukan karena berharap pada duniawi yang tak pernah kekal, tak pernah abadi.
-END-
Cerpen karya : Khoirun Nikmah
Birth date on 18 Januari 2021.