Halo, jumpa lagi di celotehku, beropini, kali ini aku mau membahas multitasking, kemampuan seseorang mengerjakan atau menyelesaikan banyak hal dalam satu waktu sekaligus. Wah keren ya, mirip komputer atau gadget nih.
Dulu, aku selalu menganggap multitasking itu sebuah hal yang luar biasa, istimewa, soalnya aku terbiasa monotasking. Ketika aku diberi waktu satu jam untuk mengerjakan banyak hal, hal itu enggak akan bisa aku kerjakan, buyar. Karena aku kurang bisa memindai langsung semua hal yang datang sekaligus yang membutuhkan selesai seketika, aku termasuk orang yang harus pelan, fokus, dan butuh berproses sebelum memutuskan mana yang aku sentuh. Terutama pada saat membuka laptop/komputer.

Aku pernah memberontak pada diriku sendiri, aku berusaha belajar dan membiasakan diriku untuk multitasking – supaya semua pekerjaanku cepat selesai. Namun kenyataannya, lagi-lagi, aku merasa overwhelm, ini sudah berkali-kali kulakukan.
Aku juga sempat merasa down karena banyak orang atau teman yang berbincang bahwa menjadi seorang wanita harusnya bisa multitasking, apalagi menjadi seorang ibu, nyatanya aku enggak bisa.
Misalnya, saat punya anak, harus nyuci, nyetrika, mandiin anak, bermain atau menyiapkan hal sekaligus, aku enggak bisa. Biasanya satu per satu aku selesaikannya, misalnay pegang anak dulu, jadi aku enggak bisa pegang dapur. Nyatanya waktu masak sambil jagain anak, masakanku jadi enggak bisa dimakan, gosong.
Atau pernah coba sekali waktu membuka laptop, enggak hanya membuka blog, namun juga banyak tab yang aku klik seperti email, media sosial, baca artikel bersamaan, membuat konten dalam waktu yang bersamaann. Hasilnya, bukannya beres, malah aku makin pusing dan kerjaan di hari itu enggak ada satupun yang bisa aku selesaikan. Jadi, balik lagi, aku monotasking lagi, buka satu per satu, fokus, selesai. Maka, cek email akhirnya aku alokasikan waktu khusus, decluttering dan organizing file juga demikian. Biasanya aku letakkan di hari sabtu atau malam minggu.
Fakta Multitasking
Beberapa artikel yang aku baca, ada juga sebuah buku -lupa judulnya- pernah aku baca juga, ternyata multitasking hanyalah mitos. Memang ada sih, orang yang betul-betul memiliki kemampuan ini, namun amat sangat jarang, di dunia ini hanya ada 1% hingga 2,5% saja. Sungguh manusia-manusia yang terpilih.
Multitasking artinya, seseorang memiliki kemampuan bisa melakukan dua tugas atau lebih secara bersamaan, termasuk dapat melibatkan banyak hal dan berpindah-pindah dari satu hal ke hal lainnya. Multitasking juga dapat diartikan bisa melakukan sejumlah tugas secara berurutan.
Sebenarnya yang selama ini dianggap multitasking oleh kebanyakan orang, disebut task switching. Semacam berpindah-pindah melakukan sesuatu dalam satu waktu, mudah terdistraksi.
Faktanya, otak kita enggak bisa fokus pada dua hal atau lebih dalam satu waktu.
Misalnya, baca buku sambil dengerin lagu, walaupun banyak yang bilang tetap bisa fokus, kenyataannya sisi kerja otak enggak demikian, ia akan tetap mencerna buku sekaligus lirik lagu tersebut. Atau ngobrol sama orang sambil cek hp, atau dengerin kajian sambil cek hp, dipastikan fokus kita akan turun.
Fakta yang lain, multitasking ini ternyata bisa merusak bagian otak yang bernama prefrontal cortext (PFC). Prefrontal Cortex area merupakan bagian terdepan dari lobus frontal – atau otak depan- yakni lobus korteks terbesar yang berisi lima bidang utama untuk fungsi neuropsikiatri (planning, organizing, problem solving, selective attention, personality). Selain itu, PFC juga memiliki fungsi motorik dan memediasi fungsi intelektual yang lebih tinggi (higher cognitive functions) termasuk emosi dan perilaku.

Kerja Multitasking
Multitasking dikelola oleh fungsi eksekutif mental. Fungsi eksekutif ini mengendalikan dan mengelola proses kognitif lainnya dan menentukan bagaimana, kapan dan dalam urutan apa tugas tertentu dilakukan.
Menurut peneliti Meyer, Evans, dan Rubinstein, ada dua tahap dalam proses kontrol eksekutif.
Tahap pertama dikenal sebagai “goal shifting” (tahap dimana kita harus memutuskan untuk memilih dan melakukan yang mana dulu).
Yang kedua dikenal sebagai “role activation” (alias kondisi kita berpikir gimana caranya menyelesaikan pekerjaan itu dan harus segera dilakukan).
Kedua proses itu dinamakan switching -yang kerap menempel pada kondisi multitasking. Semacam sakelar, membuka dan menutup. Switching ini biasanya butuh waktu persepuluh detik, tetapi ini bisa diubah, bisa ditambah ketika seseorang mau mengulangi atau bolak-balik berulang kali.
Efek dari dua tahapan itu, otak kita jadi semacam sering me-reset dirinya sehingga kita mudah stress dan merasa membuang-buang waktu.
Switching ini enggak terlau bermasalah untuk beberapa kegiatan tertentu, namun tidak untuk kegiatan lain. Misalnya ketika kita melipat cucian dan menonton televisi pada saat bersamaan, tentu enggak jadi soal, namun biasanya akan jauh lebih lama dibandingkan fokus hanya melipat cucian saja. Namun, hal ini justru sangat berbahaya jika kita berada dalam situasi di mana keselamatan atau produktivitas itu penting sekali, misalnya saat mengendarai mobil dalam lalu lintas yang padat, bahkan sepersekian detik pun dapat terbukti kritis.
Dampak Multitasking
Bisa dibayangkan jika PFC terganggu, maka ia akan membuat seseorang kehilangan ‘kendali diri’ sehingga membuat kognisinya turun, sulit fokus dan enggak bisa membuat sesuatu hal yang maestro dalam hidupnya- sebab keseringan mulitasking.
Selain itu, yang terbiasa multitasking juga memperlambat waktu. Contoh, saat beres-beres. Karena aku maunya sekaligus tuntas, biasanya aku kerjakan dengan cara semua barang aku kumpulkan kemudian aku tata. Namun karena tanganku kecil dan kurang kuat menahan beban berat, efeknya seringkali kondisi yang melambat, banyak barang berjatuhan dan kurang rapi sebab keinginan cepat sementara fokus terbagi banyak hal.
Konon, efek multitasking yang dipaksakan ini bisa menurunkan IQ seseorang hingga 10 poin. Hal ini berkaitan dengan brain density in the interior yang bekerja pada cingulate cortex yang berkaitan dengan kognitif. Bahkan saat diteliti volume cabang (kerapatan sel-sel yang berkembang) di otak, menunjukkan orang yang sering melakukan multitasking lebih kecil volumenya dibandingkan yang enggak terbiasa multitasking.
Selain itu, untuk menentukan dampak multitasking, psikolog juga melakukan penelitian yang meliputi banyak waktu yang hilang akibat multitasking.
Dalam satu penelitian yang dilakukan oleh Robert Rogers dan Stephen Monsell, menunjukkan hasil bahwa peserta lebih lambat produktivitasnya ketika mereka harus beralih tugas daripada ketika mereka mengulangi tugas yang sama.
Studi lain yang dilakukan pada tahun 2001 oleh Joshua Rubinstein, Jeffrey Evans dan David Meyer menemukan bahwa peserta kehilangan banyak waktu karena mereka beralih di antara banyak tugas dan kehilangan lebih banyak waktu karena tugas menjadi semakin kompleks.

Mengatasi Multitasking
Menurutku single tasking atau monotasking aja lah ya, hehe. Kalau dilakukan memang lebih bagus untuk diri sendiri. Walaupun kenyataannya otak ini sebenarnya lebih menyukai multitasking. Soalnya wajar, kita kan mudah bosan jika monoton mengerjakan sesuatu.
Tapi multitasking menurutku bukan totally bad thing, justru bagi yang memiliki kelebihan ini, kita patut apresiasi. Namun untuk diriku sendiri yang memang merasa kesulitan dan sejak dulu terbiasa monotasking, enggak perlulah memaksakan untuk bermultitasking, sesekali bolehlah, tapi jangan keseringan Nik.
Cara yang tepat (menurutku) untuk mengatasi multitasking ini adalah :
- Bikin list to do atau jadwal yang spesifik. Walaupun aku bukan orang yang menyukai rutinitas, namun membuat jadwal spesifik ini sungguh membantuku dalam keseharian. Walaupun enggak saklek juga, dengan adanya jadwal, membuatku jauh lebih fokus.
- Jauhi ponsel atau gadget alias hape. Ini sangat efektif buatku, soalnya kalau ponsel dideketin meja kerja, tanganku secara nggak sadar kayak ingin cepat-cepat selesai atau tergoda untuk jeda, padahal hanya untuk cek notif (yang ujung-ujungnya ini pasti jadi distraksi).
- Melatih mindfulness terutama self conscious, hal ini enggak hanya bermanfaat untuk diri, namun juga dalam hubungan dengan oranglain.
- Teruslah fokus. Latihannya mulai dari saat sholat (belajar tuma’ninah gak terburu-buru, hadir utuh, khusyu’), walaupun enggak mudah, jika dipraktikkan ini membantu banget. Menusurt Harvard Business School, jika kita meluangkan waktu 15 menit untuk melatih mental focus kita dalam sehari aja, ini bisa menaikkan 23% produktifitas lho. Apalagi jika kita sebagai muslim dikasih Allah 5 waktu sehari dalam sholat untuk belajar fokus. waw, jika diterapkan, betapa luar biasa manfaatnya.
- Praktikkan 20/20 rules atau bisa juga teknik pomodoro, yakni membagi beberapa task dengan interval waktu. Tujuannya biar enggak jenuh, mengistirahatkan mata, serta membuat otak kita fresh.
Yup, demikian opini kali ini semoga bermanfaat. Open diskusi banget, bisa di kolom komentar. See you later π
Tetehhh masya Alloh keren bgtt tulisannya Teh π
bngung mo nulis apa lg, mo lgsg praktek aja biar bs kayk Teh Nikmah π hihi
haturnuhun Teh
ayo diskusi di grup π
Masyaa Allah bagus sekali tulisannya, saya termasuk yang mudah terdistraksi. Terimakasih mbak Nikmah
Bagus mbak Nik tulisannya. Bener banget si multitasking ini macem penyakit yg menurunkan fokus. Terasa setelah punya bayi. Bahaya juga pegang bayi sambil main HP walopun seringnya jenuh kan. Hehehe… Dan orang yg monotasking memang lebih banyak yg diraih. Hebatnya ini bisa dilatih sejak kec sebenernya. Latih anak2 untuk fokus, bukan multitasking. Karena memang mereka gampang terdistraksi.