“If you had 3 extra hours a day, what would you do with them?”

Jawabanku hanya satu, menulis.
Udah? Gitu aja?
Hahahaha, iya, udah, end. Menulis aja. Lantas?
*a few moments later (ala-ala youtube) 😀
Sekalian kilas balik aja kali ya? Sebenarnya paling malas dan enggak suka kalau disuruh kilas balik atau mengorek masa yang sudah berlalu. Namun, berhubung ini ada kaitannya dengan topik, jika diberi ekstra waktu 3 jam setiap hari mau dibuat apa, ya tentu, menulis.
Kalau ngobrolin dunia tulis menulis sebenarnya udah enggak asing di kepala. Dari kecil, aku emang jarang bergaul dengan sesama teman, lebih banyak waktu yang saya habiskan bersama buku-buku dan tenggelam dengannya. Bukan sekadar membaca, namun di setiap halaman kosong paling belakang dari buku pelajaran, selalu kusematkan goresan pensil atau pena untuk menulis melalang buana ke dunia antah berantah. Hal ini karena kesepian, enggak punya saudara (adik or kaka), tunggal, pisah dari ortu, ada jiwa yang lenyap sebagian tapi saat itu tak aku pahami (perceraian orang tua).
Sayangnya, kemampuan menulis itu hanya sebatas aku rengkuh dan peluk sendiri. Bahkan tak pernah kusadari jika tak ada seseorang yang mengatakan secara langsung, yakni guru bahasaku, Bu Rena. Itu di zaman sekolah SMA. Dan ada sekelebat memori indah dengan beberapa senior yang juga terjun di dunia yang sama, jurnalistik, tim redaksi majalah sekolah.
Jika dikatakan masa yang paling indah adalah SMA, aku sungguh sepakat. Memorinya amat melekat hebat dan sampai sekarang tak mampu dan belum ada memori yang serupa dengan rasa manis dan haru itu. Tentu rasa manis dan haru versi diriku yang berpostur remaja kala itu. Kalau postur dewasa detik ini, ya setiap hari menjadi hal manis untukku karena aku hidup bersama pasangan yang mencintaiku apa adanya.
Kembali lagi ke topik menulis. Tahun 2017 silam, ada seseorang yang mengejek tulisanku. Dengan lantang dan blak-blakan mengatakan kalau aku enggak layak untuk menulis sebab menurutnya, tulisanku mentah.
Padahal, jauh sebelum itu, aku pernah juara karya tulis, menang lomba cerpen, bahkan setelah menikah, sempat dapat hadiah dari IPB (kampus suami) karena karya tulis fiksi yang aku torehkan. Tapi, aku mengerem semua penghargaan itu, karena aku ingat pepatah, ‘buat apa menjelaskan sesuatu pada seseorang yang enggak akan pernah menyukai kita, lebih baik fokus pada sekitar dan orang-orang yang memang mendukung dan menyayangi diri kita’. Sejak itu, aku bertekad, suatu saat aku akan menulis serius dan menerbitkan buku. Walau menulis blog sudah aku jalankan sejak muda, namun, menulis buku (di luar tugas akademik) saat itu belum pernah.
Akhirnya, 2018, impian itu terwujud, tunai dengan penerbit mayor. Bentang Pustaka. Entah apa reaksi orang yang mengatakan tulisanku jelek itu, aku enggan peduli, namun aku jadi bersyukur, ujian itu telah kulalui.
Jika ada ekstra atau tambahan waktu 3 jam setiap hari, aku akan menggunakannya untuk menulis. Satu jam menulis naskah buku lanjutan, satu jam untuk menulis konten media sosial dan satu jam untuk menulis blog atau jurnal harian seperti saat ini.
Sebenarnya, membagi waktu bagi seorang ibu rumah tangga sepertiku, enggak mudah. Kayak enggak ada habisnya gitu kerjaan dari bangun sampai menjelang tidur lagi. Intinya, semakin bertambah jumlah usia, tanggung jawab semakin besar dan banyak, sementara waktu yang disediakan masih sama, 24 jam.
Jika waktu yang disediakan menjadi 27 jam (karena ekstra 3 jamnya). maka tiga jam itu, akan aku gunakan full setiap hari untuk menulis. Karena bagiku, menulis adalah terapi, menulis adalah bentuk rasa sayang pada diri sendiri, writing for healing.
The true alchemists do not change lead into gold, they change the world into words.
-William H. Gass
Quotes di atas, mirip dengan jalan cerita yang aku dapat dari buku ini :
Intinya, waktu yang ada dan disediakan untuk extra time, amat sangat disayangkan jika tidak aku gunakan untuk menulis.
Karena menulis itu, kebutuhanku.
-cheers