Hari ini, aku genggam seluruh jemariku. Untuk menenangkan sekaligus harmonisasi energi. Sebagaimana kebiasaan yang aku lakukan setiap pekan, minimal, merenung dan merelung pikiran yang tiada batasnya sendirian.
Elang, masih di sampingku, menghidu segelas kopi yang mengepul penuh energi. Matanya berbinar, berkilat-kilat. Menelisik setiap sudut taman kota yang tak layak disebut taman, sampah dimana-mana.
“Hai, udah lama?”
Aku berdeham, dia tahu, itu pertanyaan konyol. Sudah jelas aku menunggunya dua jam lebih, sambil merapatkan jemari sendiri. Aku kedinginan.
Jemariku adalah aku, satu per satu aku sentuh, mencari emosi mana yang hendak dituju. Aku tahu, ini percuma.
“Kita menunggu satu teman, dia sedang di ujung sana” ucapnya lagi.
Langkah kaki yang sudah berhenti di pertigaan itu, menoleh, melirik ke bangku yang masih kosonh. Namun dia tak menetapkan, satu pun. Malah berlari menjauh, sesaat kedua mataku bertatapan dengannya.
“Hei! Dia kenapa?”
Elang melambaikan tangan, yang dituju, malah berlari menjauh, seolah menyaksikan bayangan hantu.
“Lisa, kamu tahu, dia agak konyol. Minta janjian, malah kabur.”
“Dark.”
“Ya, pantaslah! Dipanggil ‘Dark’, orang enggak jelas gitu.”
Jari jempolku bergetar, mother of fingers, merasakan benar rasa itu, worry, cemas. Hari ini, aku mencemaskan Dark yang sejak hari Jum’at sakit. Mencemaskan dirinya yang mulai masuk ke dalam ‘goa abadi’. Serta hal lainnya, kejadian yang mengiringi beberapa hari ini. Terkadang, pikiran partnerku itu luar biasa cemerlang, kadangkala menyebalkan. Ya, efek jadi people pleaser, memedulikan orang, tak memedulikan diri sendiri, terlalu jujur, malah terjebak dalam lingkaran setan yang menjijikkan. Media sosial yang bikin sial.
“Jadi, dia ditipu?”
Aku tak menjawab.
“Atau difitnah? Ditusuk? Adu domba?”
Aku masih terdiam.
“Apa gunanya aku menemaninu di sini, Lisa?”
Aku menoleh. Kembali ke fokus. Aku tahu, Elang lelaki yang peduli, sampai temanku ada masalah, tak dia kenal pun, rela dia di sini.
Kutatap raut wajahnya dari samping, masih seperti dulu.
“Lang, kamu ngapain sih ‘secapek’ ini? Di sini?”
Seketik dia tersedak, kemudian terbahak.
“Sa! Lisa! Apa itu tadi? bukan pertanyaan konyol kan?”
Aku mendelik.
“Aku, Elang, pacarmu Sa!” Ucapnya, lugas, setengah menekan.
Aku menelan ludah. Benar juga. Tapi, pacar apa? Perasaan aku tak pernah menerimanya, bahkan tak ada komitmen apa-apa.
“Sejak SMA. Kamu ingat kan? Kita akan selalu bersama. Sampai di sini. Detik ini. Walau kamu tak pernah menjawab itu.” Jelasnya.
Aku termenung. Kenapa bisa? Elang sangat mampu mengendalikanku?
“Aku pulang dulu, Lang, Makasih.”
“Buat? Buat apa Lisa? Come on! Kamu nunggu Dark dari kapan pun, dia juga tak akan pernah peduli!”
“Ya, tapi aku peduli.” Jawabku, utuh.
“Oke. Gapapa.”
Secangkir kopi sudah tandas. Elang mengentak meja, kemudian meraih ponselnya. Pergi meninggalkanku, sendiri.
Apa istimewanya si Dark?
Entah.
Yang jelas, dia jujur. Bahkan ketika tak menyukaiku pun, dia masih setia.
Dark pernah bilang, kalau aku harus bahagia. Dengan siapapun itu. Dark juga mengatakan kalau aku termasuk orang yang terlalu jujur. Mudah dimanfaatkan.
Beberapa kejadian membuat diriku membuka mata dan menatap siapapun lebih jernih.
Orang yang dulu kupercaya penuh, sempat membuat kecewa, kumaafkan, kembali mengulang dan terus mengulangi.
“Lisa, stop it. Sudah cukup, kamu pasti lelah menjadi people pleaser. Saatnya peduli pada diri sendiri. Tak seharusnya kamu menyalahkan diri, untuk apa? Biar orang melihat kelemahan itu? Come on! bersikap lebih tegas.”
Salah satu ucapan itu, keluar dari mulut Dark.
Tak berapa lama, sekelebat bayangan hitam mendekat.
Kemudian menatap mataku penuh iba.
“Hi, Lisa. Sorry.”
“Hi, Dark.”
*bersambung