Hari-hari ini, kita merasakan bahwa bumi yang kita tempati tak lagi sama. Bahkan, di media sosial semakin riuh manusia yang disibukkan oleh berbagai keluhan yang tiada hentinya. Mulai dari cuaca yang tak menentu, bencana alam yang terasa semakin sering intensitasnya, berbagai kesulitan hidup dan tantangan hidup sehat yang semakin sekarat. Contoh kecilnya, pergeseran musim kemarau dan hujan yang kacau balau, diiringi kerusakan aneka ekosistem hayati di daratan dan lautan. Dan yang paling dekat dengan kehidupan hari ini adalah suhu sekitar yang tak lagi sejuk dinikmati.

Setidaknya, dari data yang saya temukan, para pakar menyebutkan ada dua sebab perubahan iklim terjadi di bumi. Pertama, adanya kenaikan suhu permukaan air laut. Kedua, adanya penurunan permukaan tanah atau subsidensi tanah. Dari fakta itu, ingatan saya kembali berputar pada perkuliahan zaman S1 dulu. Sebagai alumni teknik kelautan, setidaknya masih ada secercah ilmu yang pernah saya dapatkan. Intinya adalah perubahan iklim, alam hari ini, berkaitan erat dengan apa yang sudah dikerjakan oleh manusia di darat. Salah satu guru saya pernah berkata, bahwa sekecil apapun itu, segala sesuatu yang kita kerjakan hari ini berdampak pada kehidupan bumi. Sekecil apapun itu.
Dari dua sebab perubahan iklim, saya tertarik untuk mempelajari fenomena kenaikan suhu permukaan air laut. Sedangkan subsidensi tanah, ini merupakan faktor yang tak mampu dikontrol oleh kita sebagai manusia. Karena pergerakan tanah, berkaitan dengan aktifitas tektonik bumi yang tentu ini membutuhkan teknologi tinggi untuk mengamati.
Fenomena perubahan iklim akibat kenaikan suhu permukaan air laut disebabkan oleh pemanasan global. Peneliti memperkirakan sekitar 93 persen pemanasan global disebabkan oleh emisi karbon yang terakumulasi dan diserap oleh laut. Dari sini timbul pertanyaan, emisi karbon itu apa?
Emisi Karbon

Emisi karbon adalah gas yang dikeluarkan dari hasil pembakaran senyawa yang mengandung karbon, seperti CO2, solar, LPJ, dan bahan bakar lainnya. Dalam arti sederhana, emisi karbon adalah pelepasan karbon ke atmosfer. Emisi karbon menjadi kontributor perubahan iklim bersama dengan emisi gas rumah kaca.
Dari definisi itu, kita perlu memahami apa itu emisi gas rumah kaca (GRK).
Apa itu Emisi Gas Rumah Kaca?
Secara singkat, ia merupakan siklus alami matahari terhadap bumi, dimana panas matahari terjebak di atmosfer bumi dan menyebabkan suhu bumi menjadi hangat. Gas-gas di atmosfer yang dapat menangkap panas matahari inilah disebut gas rumah kaca.
Segala sesuatu yang ada di bumi ini, secara natural sebenarnya memiliki manfaat. Termasuk GRK. Efek rumah kaca sejatinya dibutuhkan untuk menjaga suhu bumi agar perbedaan suhu antara siang dan malam tidak terlalu besar. Namun, segala hal yang berlebihan tentu berdampak buruk. Pun dengan efek rumah kaca yang berlebihan akan menyebabkan pemanasan global dimana suhu di bumi akan naik secara signifikan.
Sumber Emisi Gas Rumah Kaca
Secara natural, gas rumah kaca yang ada di atmosfer berupa karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (N2O), metana (CH4), dan freon (SF6, HFC dan PFC). Namun, ketika hanya dihasilkan oleh panas matahari, masih cukup normal. Bahkan beberapa orang Eropa membuat rumah kaca untuk bercocok tanam, sebab membutuhkan suhu hangat di malam harinya.

Sumber penghasil gas rumah kaca sejatinya ada pada sekeliling kehidupan kita juga. Seperti penggunaan energi listrik, aktivitas menggunakan kendaraan bermotor, juga membakar sampah. Bahkan dalam sepiring makanan kita dapat ditelaah sumber karbon yang merupakan penyumbang gas rumah kaca. Maka, ketika muncul kesadaran ini, saya pun mulai hijrah yang awalnya membuang sampah ke TPA, per 2018 lalu mulai belajar memilah dan mengolah secara mandiri di rumah.
Hubungan Gas Rumah Kaca dan Sampah
Jika ditanya, apa hubungannya GRK dengan sampah?
Tentu banyak sekali yang perlu kita bedah semua. Jika boleh merincikan saya tulis dalam beberapa poin ini saja :
- Sampah yang dicampur, ditumpuk, dibuang ke tempat pembuangan akhir, atau dimanapun itu, maka sisa organik yang berada paling bawah atau terperangkap di sela-sela anorganik, mengalami pembusukan. Dari sana, terbentuklah gas metana. Gas metana akan merusak lapisan ozon bumi karena gas metana termasuk gas-gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan perubahan iklim.
- Sampah plastik khususnya, menjadi problematika kita semua. Sebab dari proses produksi hingga tahap pembuangan dan pengelolaan, sampah plastik mengemisikan banyak gas rumah kaca ke atmosfer. Plastik terbuat dari minyak bumi dengan proses mengubah komponen minyak bumi menjadi molekul kecil yang disebut monomer. Dari limbah minyak bumi yang awalnya tidak berguna, ketika dicampur dengan segala zat kimia, bentuk dan wujudnya menjadi menarik dan berdaya guna. Sayangnya, ketika si plastik terpapar oleh panas, bukannya lenyap hilang seketika. Melainkan ia kekal hingga ke dalam darah manusia. Partikel mikro hingga nano dari plastik yang kita anggap ‘hilang’ itu, sejatinya telah merusak biosfer dan makhluk hidup seluruh dunia. Termasuk memiliki andil besar dalam perubahan suhu bumi kita.
- Sampah di Indonesia, dengan jumlah dan pertumbuhan penduduk Indonesia yang besar, serta pola konsumsi masyarakat seperti sekarang ini. Tentu menyebabkan jumlah timbulan sampah dan limbah domestik semakin meningkat dari waktu ke waktu. Pola konsumsi masyarakat juga akan mempengaruhi komposisi material kandungan sampah dan limbahnya. Mulai kandungan material yang sulit diurai secara alami, hingga kandungan material yang membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.
Intinya adalah, permasalahan sampah jangan dianggap biasa-biasa saja. Karena sudah terbukti jelas membawa bencana dan perubahan iklim dunia.
Hidup Minim Sampah, Zero Waste to Zero Emissions
Saya dan keluarga memulai hidup minim sampah dari tahun 2018. Mulai dari memilah sampah, mengompos, hingga mengolah anorganik dan mendirikan bank sampah. Harapannya, semoga kelak bisa mewujudkan zero waste environment, sebagaimana program zero waste citiesnya Bandung.
Yang kami sekeluarga lakukan sejak 2018 lalu hingga kini
Mencegah. Mulai dari depan gerbang rumah, memilih untuk lebih aware dan mindful dalam berbelanja. Termasuk usaha untuk berkebun juga, supaya stok sayur mayur dan buah bisa diperoleh dari dalam rumah. Ketika berbelanja pun lebih memilih membawa kantong dan kotak tersendiri. Ketika bepergian juga senantiasa membawa cutlery, tumblr dan alat makan sendiri. Semua itu dalam rangka mencegah sampah, agar tak terlalu berat ketika memilah dan mengolah.

Memilahnya. Cukup sederhana sebenarnya, bikin sistem pengomposan dan tempat khusus plastik/anorganik di rumah. Saya sekeluarga hanya memanfaatkan barang bekas untuk membuat tempat pemilahan sederhana. Namun, bersamaan dengan itu, kami juga belajar bagaimana cara mengolahnya.



Mengolahnya. Hal yang paling terasa manfaatnya adalah mengolah sisa organik. Mulai dijadikan kompos, MOL, POC, ecoenzyme, tepung cangkang telur, hingga membuat sabun dari minyak jelantah. Manfaatnya justru kembali lebih banyak ke rumah. Sejak 2018 itu pula, kami tak lagi membeli detergen pakaian, sabun pel-pelan, karena semua tercover dari olahan sisa organik di rumah. Bahkan untuk berkebun pun, tanaman yang dihasilkan, murni tanaman organik yang menyehatkan.


Menyalurkannya. Ini khusus limbah yang tak bisa dihindari di rumah. Seperti thinwall, wadah sekali pakai yang memang tak bisa dihindari. Namun tak semuanya bisa masuk bank sampah atau daur ulang. Sebab, ketersediaan pabrik pengepul limbah daur ulang, tak banyak dijumpai. Maka, per 2019 lalu, kami mengolahnya menjadi ecobrick. Tentu tak sekadar memerangkapkan plastik kedalam botol.


Memfasilitasi. Selain itu, kami mendirikan bank sampah di komplek. Danah hibah dari DLH Kabupaten Bogor yang awal mulanya ditujukan untuk membuat bak sampah campur. Kini, bank sampah menjadi jembatan warga untuk mau memilah sampah anorganiknya. Adapun organik, kami buatkan tempat khusus pengkomposan.

Zero Waste itu Meringankan Hidup dan Bumi
Sejatinya, kita sebagai manusia membutuhkan tempat tinggal yang nyaman dan aman di permukaan bumi ini. Namun, ketika bumi ini justru kita kotori, kita zalimi, maka secara natural efeknya juga akan sampai ke manusia itu sendiri. Betapa banyak hari ini, hujan turun di perkotaan yang justru membawa petaka alih-alih kehidupan yang menenangkan? Belum lagi permasalahan kesehatan dan lingkungan lainnya yang tak bisa dielakkan. Maka, hidup nol sampah, adalah kebutuhan kita semua sebagai manusia. Mari, kita pilah sampah dari rumah!