INNER CHILD

Hujan (lagi)

 

Sengaja menuliskan judul hujan (lagi) sambil cleansing masa kecil. Karena setiap orang memiliki perasaan, pun dengan kita di masa kecil. tertanam tanpa sadar.

Hujan.

Ketika mengingat hujan secara mendalam, kala itu aku ingat diri kecilku. Lahir dengan tubuh seukuran botol alias prematur, 7 bulan dari perut langsung keluar. Indikasinya ibuku stress berat. Sejak pernikahannya yang tanpa disadari (karena diguna-guna oleh bapak) maka saat mengandung diriku pun tanpa sadar dan penuh emosi setelah menyadarinya.

Terlahir prematur di dukun beranak ternyata Allah berikan umur untukku, dengan nama panjang : Khoirun Nikmah Latifatul Jannah. Sejak saat itu pula aku resmi menjadi bayi mungil yang tidur di keranjang baju (agar hangat) dan dijemur setiap hari.

Ibuku pernah tinggal di Pasuruan, ikut bapak. Waktu itu belum punya rumah, ngontrak petakan setengah bambu setengah tembok. Hampir terbakar diriku jika seandainya ibuku tidak bangun malam itu. Akibat obat nyamuk bapak yang tertiup angin membakar selendang dan kayu boxku tidur (tidur terpisah). Suara tangisku terdengar keras, dengan serta merta ibuku lari dan menggendongku yang mulai kepanasan (di sekitar keranjang tidurku sudah penuh api). Allah selamatkan nyawaku melalui ibuku.

Hujan.

Penuh kesdihan kala itu, entah usiaku berapa aku tak mengerti kenapa ibuku menangis sedih. Sambil tergopoh-gopoh mneghitung uang receh, ibu membawaku lari ke jalan dan naik becak menuju terminal. Pulang ke kampung halaman. Kulihat ibuku memar berdarah, mungkin bertengkar dengan bapak yang suka emosi.

Genap usia tiga tahun berpisahlah ibu bapak. Ibuku sakit hati tatkala adikku mati lemas disampingnya (aku punya adik laki-laki selisih 1tahun yang sehat montok) namun meninggal ketika masih bayi. Kabarnya didekap oleh bapakku sendiri. Ketika pemakaman adikku itu (Muhammad Rifa’i- namanya) yang baru berusia sebulan, bapakku malah kabur.

love-inner-child-burning-man-sculpture-6

Sejak detik itu pula aku dirawat kakek-nenek dari ibuku. Ibuku yang masih sangat muda pergi mencari pekerjaan entah kemana, bapakku (yang ketahuan sudah punya istri -mengaku perjaka- ternyata duda) menikah ketiga kalinya dengan tetangga di daerahnya. Sudah hilang jiwa kedua orangtuaku kedalam dada, aku tak pernah merasakan sentuhan kasih sayang mereka berdua. seolah mati rasa, namun masih ada jasadnya.

Pernah kubenci ibuku, saat masih kecil (ini yang paling membekas) aku sakit panas, tinggi, belum sekolah. Kakek nenekku menghadiri hajatan ke kampung sebelah, tinggal aku dan ibuku yang menjaga rumah. Namun detik itu juga ibuku membawa tas besar dan pergi, tak menghiraukan diriku yang panas tinggi menangis meminta tolong. TEGA! aku ditinggal sendiri dalam keadaan sakit. Sejak itu pula aku bertekad tidak akan pernah mencari/ membutuhkan ibuku lagi. Pun ketika masa SD, pernah sakit thypus karena keluargaku gak punya biaya, jadilah perawatan tradisional dan rawat jalan, hampir botak ini kepala saking panasnya dan kurung kering saking gak kuatnya. Di saat itu juga jauh dengan ibu, hanya emak (nenekku) yang setia mendekap mendampingi diriku hingga sembuh total.

Bapak? Apa Kabar?

Sejak kecil aku tak pernah melihat sosoknya, sudah lupa perawakannya bahkan wajahnya seperti apa. aku tak ingat sama sekali. Maka ketika kelas 2 SMA, aku berniat mencarinya. Dengan seorang teman sebangku, aku pergi ke luar kabupatenku untuk mencari alamat bapak. Dengan modal bertanya sana-sini kutemukan rumahnya. dengan pekerjaan jadi bang cetil (bank kelling) kulihat hidupnya sudah terbilang lebih dari cukup.

Saat kesana kujumpai anak perempuan dan laki-laki yang melihatku dengan tatapan melotot. Sepertinya mereka tahu kalo aku anak bapaknya -wajahku mirip bapak- katanya. Kutunggu bapak pulang, aku tidak diperkenankan masuk, maka aku pergi ke rumah sebelahnya- (mantan) kakek. Disana kutunggu dengan dag dig dug, ketika berjumpa, gimanakah reaksinya? Apa bapak kangen aku? apa bapak senang melihatku? aku tak sabar.

Sosok itu datang di hadapanku dengan mata melotot tajam, marah, dan dia berkata, “LHO, KAMU KOK MASIH HIDUP?”

What? bapak macam apakah ini? GILA! ini aku tidak sedang bermimpi kan, aku menghibur diri. Ya Allah, benar-benar aku dikira olehnya udah mati- kayak nasib alm. adikku- benar kata ibuku “seharusnya kamu tidak perlu membohongi ibu untuk pamit mencari bapak, karena kamu pasti kecewa”.

Namun aku tidak putus asa, sejak saat itu aku justru bertekad untuk mau menemuinya lagi.

Kupergi kesana kembali dengan seorang guruku yang peduli denganku, Pak Syafi’e (alm). Tujuannya agar uang nafkah yang sejak kecil tidak kuterima bisa kuminta walaupun tidak ada seperempatnya. Kenyataannya? aku tidak membawa uang sepeserpun darisana.

Suatu hari, saat pulang sekolah aku mendapatkan surat. Kata nenekku dari bapak, nenek gak berani membukanya takutnya berharga (harapannya berisi uang untukku). Setelah kubaca dengan teliti, sejak awal kalimat bernada ancaman, gak tanggung-tanggung : isinya surat pembunuhan, jika aku masih tetap menghubungi bapak. Oh, ternyata aku tidak diharapkan. Ya, aku tahu. dari sana akupun melaporkan bapakku ke polres dengan modal surat ancaman pembunuhanku itu.

Ujian nasional SMA. kasus diatas menghilang dengan sempurna. aku fokus belajar dan mencoba (bermimpi) untuk kuliah.

Semua temanku mencibir, aku memang dikatakan unggulan (ranking 1) tapi tanpa uang mana bisa lanjut kuliah? katanya. Waktu itu belum ada bidik misi. Walupun di kampus banyak beasiswa tapi untuk masuk kesana juga butuh biaya, minimal pendaftaran test dan jika diterima wajib daftar ulang (uang lagi). Jangankan teman, gurupun mencibir (gila! ini guru benar2 mata duitan apa ya, gak mendukung muridnya bisa ke perguruan tinggi malah dimatikan semangatnya).

aku tetap optimis, terpenting aku yakin Allah akan berikan jalan terbaik. Alhamdulillah aku diterima beasiswa full di universitas negeri jember karena menang lomba 10 besar karya ilmiah, di malang juga. Namun aku tak mau masuk PTN hanya karena nilai raport ataupun lomba, aku ingin uji otakku sendiri. Ikut test serentak ke PTN. beli formulir IPA dan mencoba mengikuti test, walaupun saat itu beberapa dosen UNEJ menelpon memastikan diriku menyetujui beasiswa itu, tinggal pilih jurusan apa. Kujawab dengan santai, “saya masih menunggu pengumuman SNMPTN Pak, jika saya tidak lolos maka saya setujui itu beassiswa di UNEJ”

di sela-sela usaha itu juga aku berusaha mencari info beasiswa, aku mendaftar beastudi ETOS. kudapatkan info dari guru BK dengan berbagai syarat (termasuk home visit) dan syarat harus diterima di PTN yang direkomendasikan oleh Etos. Namun walaupun senadainya diterimapun, memang harus daftar ulang menggunakan uang sendiri, ditebus/digantinya setelah beberapa bulan masuk kampus.

Alhamdulillah qadarulloh LOLOS SNMPTN di ITS (kampus teknik terbaik setelah ITB- jagoannya bidang kelautan di Indonesia) Surabaya, Jawa Timur. aku sujud syukur, sementara waktu itu ibuku menangis “darimana uang untuk pendaftaran kesana dan biaya disana nduk?” >>rasa gembiraku meredup. Benar juga. Pikirku.

dengan modal uang dua ribu, aku naik angkot. Tujuan ke sekolah, meminta tolong ke guru-guru. Namun tidak ada yang menolongku, mencibir iya. wkwk.

Karena aku kerja di koperasi siswa (waktu masih sekolah) maka iseng aku kesana. Disana kutemui pak Rahmat, katanya kenal dengan anggota DRPD kabupaten. Kucoba bicara dengan beliau dan meminta pendapat, minimal aku bisa dapatkan uang untuk ongkos ke Surabaya. Beliau menyetujui. Karenaaku gak punya HP maka aku diberi tulisan alamat rumah dinas ketua DPRD.

“Nikmah punya uang kesana?”

“Nggak pak, jauh ya”

Beliau mengeluarkan uang dua puluh ribuan.

“Ini untuk naik becak. sampaikan salamku ya, konco deketnya. Rahmat”

“Nggih pak, maturnuwun” mataku berbinar-binar, haru.

Esok harinya, pagi-pagi sekali- sesuai pesan pak Rahmat aku kesana. Menemui ketua DPRD kabupaten. Alhamdulilah beliau ada di rumah, tepat mau berangkat keluar rumah. maka aku disuruh duduk dan menyampaikan maksud kedatangan. berbekal surat pengumuman dari kampus ITS, dan pesan2 pak Rahmat, beliau memahami. Kemudian memberiku amplop coklat dan berpesan “nanti kalo sudah sampai kampus, temui anggota BEM disana bisa menemukan solusi”.

waktu itu aku tidak paham apakah maksudnya BEM? eksekutif mahasisswa? saat di sekolah setauku ada osis, akupun gak masuk osis karena sudah masuk redaktur majalah dan digadang-gadang menjadi ketuanya. Tahun kedua jadi pemred, tahun terakhir aku hanya ikut ajang olimpiade2 matematika biasa.

Alhamdulillah aku bisa kuliah.

Lantas, gimana hubunganku dengan bapak?

Ternyata emang itu bapak mati rasa. Udah gak ada rasa sama sekali ke aku sebaga idarah dagingnya. Waktu kuliahpun kusamperin dengan senior -dengan dalih mau ke Jepang- ternyata gak luluh, malah makin menjadi-jadi, ngamuk, ngata2in aku. Waktu kesana dengan calon suami juga sok-sokan juga sikapnya. Diberi undangan pernikahanku malah gakmau hadir, ya wali hakim jadinya.

Hingga detik ini aku berusaha cleansing. Sama seperti menuliskan kisah ini, salah satu wujud cleansing diri.

BYE INNERCHILD!