Sebenarnya ini hanya untuk catatan pribadi, namun sangat disayangkan kalau hanya saya simpan sendiri. Post blog kali ini merupakan rangkuman yang saya catat dari kajian Ustadzah Poppy di Kuttab Al-Fatih Jombang, yang disiarkan melalui live instagram akun @masjidalfatihjombang .

Setidaknya ada beberapa hal yang saya highlight dari kajian ini.
Dimulai dengan kisah bagaimana kedua orangtua Ustadzah Poppy menjaga beliau walau pengetahuan atau ilmu agamanya standar, seperti memerintah untuk ibadah mahdhah seperti kewajiban salat walau memang belum sampai menutup jilbab dan seterusnya.
Kata beliau, “ibu saya seorang yang sangat keras tapi beliau baik, makanya baik itu enggak cukup, tapi harus tahu ilmu. Beliau baik banget, suka ngebantu orang dan seterusnya, tapi memang kalau secara syariat belum paham sehingga ketika saya pakai jilbab, Ibu saya panik, ‘nanti kamu kerja gimana, kawin gimana, aku nggak mau kamu nanti nikah enggak pakai pacaran, moal aku udah tahu loh orang-orang kalau pakai jilbab terus nanti nikahnya pakai apa itulah ‘kenalan-kenalan’, terus beli kucing dalam tarung itu, aku gak mau loh yang gitu‘. Mama tuh udah gitu duluan.”
Dan kemudian Allah berikan takdir yang terbaik pada Ustadzah Poppy (yang di awal tidak mau disebut ustadzah, namun pada akhirnya diingatkan oleh Ustadz Budi Ashari bahwa itu bisa jadi ‘panggilan berupa doa, doa yang baik, maka beliau pun meng-amini). Allah takdirkan Ustadzah Poppy menikah dengan taaruf, menikah dengan cara yang sebaik-baik cara insyaAllah.
Allah Sudah Pasti Memberikan Jalan pada Orangtua yang Meminta Pada-Nya
Pada intinya, beliau menyampaikan bahwa kita enggak usah terlalu banyak khawatir, sebenarnya kalau kita tulus ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita, enggak mungkin Allah enggak tunjukin jalan.
Kalau kita salah, kita itu manusia (pasti pernah berbuat salah), yang paling penting enggak usah ngotot kalau salah. Kalau salah pastikan langsung istighfar, tobat enggak usah ngulangin lagi, memperbaiki diri.
Misalnya ada kejadian salah mendidik anak, karena kurang ilmu, dan ketika kita dapat ilmunya, terus kita ngerasa kayak ‘Aduh aku tuh ternyata ibu yang gagal’, jangan risau. Selalulah percaya bahwa enggak ada istilah gagal, selama Ibu tulus, Ibu enggak pernah gagal insyaallah. Kenapa? Karena Allah itu Maha Mengetahui, Allah maha tahu apa yang ada di hati-hati kita. Mungkin kita tidak cukup ilmu, tapi Allah tahu apa yang ada di dalam hati ibu ketika mendidik anak-anaknya. Ini karena beliau mencoba memahami demikian, kenapa Ibu beliau kala itu enggak memperbolehkan beliau memakai jilbab ketika itu, wajar, karena ketika itu memang ukurannya ‘bekerja’ dan kalau mau nikah ya harus pacaran dulu. Karena persepsi kala itu, kalau enggak pacaran ya nanti beli kucing dalam karung.
Orangtua Kita – Apapun Sikapnya- adalah Orangtua Versi Terbaik untuk Kita
Lebih daripada itu, beliau bersyukur beliau dilahirkan dari seorang ibu yang luar biasa, ibu beliau bekerja keras, ibu beliau selalu memotivasi beliau dengan berkata, “kamu the best, kalau orang lain bisa, kamu bisa, bahkan lebih baik”. Itulah bahasa ibu beliau.
Adapun kalau bahasa ayah beliau Allahu yarham adalah ‘Jangan pernah menghalangin orang lain, jangan pernah ngalangin orang lain’. Maksudnya ‘ngalangin orang lain’ itu apa?
Beliau menjelaskan lagi, “Jadi gini, misalnya saya jalan, ada mobil lewat, maka saya disuruh berhenti karena ketika kita jalan, Itu mobil tuh jadi kagok.”
Terus beliau bertanya kepada Papanya bahwa kita berjalan benar, dan mobil juga harus menghormati pejalan kaki. Namun Papa beliau mengatakan,”iya, memang aturan mainnya gitu. Tapi Papa ingin kamu enggak ngalangin orang lain. Jadi kalau berdiri di pinggir, kalau jalan di pinggir.”
Selain itu, Papa beliau juga mengajarkan tentang ketepatan waktu. Sehingga kalau beliau hadir di suatu acaranya jam 08.00, maka jam 07.00 atau 07.30 beliau sudah tiba di tempat. Begitu besarnya peran Papa beliau bahkan kalau beliau mau ke rumah orang tua beliau, janjian jam 9 pagi, Insya Allah Papah beliau itu sudah buka pagar nunggu di pagar sebelum jam itu. Jadi bisa kebayang kalau beliau terlambat karena bilang jam 09.00 janjiannya, itulah mengapa beliau selalu berusaha terbiasa untuk tepat waktu karena Papa beliau yang seperti itu.
Termasuk Papa beliau adalah orang yang sangat dalam untuk membebaskan beliau berkarya dan bekerja tapi sekaligus juga orang yang protektif. Walau Ustadzah Poppy sudah mengendarai mobil sendiri sebelum menikah, saat bekerja, beliau nyetir sendiri dan suatu ketika harus pulang malam maka Papa beliau langsung telepon untuk memastikan pulang jam berapa.
Beliau menyimpulkan, “Bapak Ibu saya mungkin bukan orang yang paham syariat. Tapi saya tahu benar bagaimana perlindungan Papa untuk anak-anak dan bagaimana Ibu saya selalu ingin yang terbaik untuk kami. Makanya kami dari dulu kalau juara umum itu biasa buat kami, karena memang harus begitu. Karena gambaran di keluarga bahwa saya percaya setiap orang tua ingin yang terbaik bagi anaknya, kalau di keluarga kami, terbaik itu artinya become the best (saat itu) jadi juara umum, masuk universitas negeri favorit, meraih pendidikan setinggi-tingginya, dapat jabatan yang mantap, punya rumah, punya mobil itulah prestasi terbaik ketika itu di mata orang tua kami. Dan qadarullah memang kami semua ingin mencapai itu demi untuk menyenangkan orang tua kami, seberat apapun itu.”
Anak Pasti Ingin Membahagiakan Orangtuanya, itu Fitrah yang Allah Beri untuknya
Ustadzah Poppy melanjutkan, “seenggak sepakat apapun itu, seorang anak pada hakikatnya, enggak ada yang mau ngecewain orang tuanya. Kita mau bentrokan kayak apapun itu.”
“Bu, anak itu bagaimanapun, belajar setinggi apapun, dia belajar sepaham apapun, dia itu hakikatnya tuh cuma satu : pengen nyenengin orang tua, dan itu fitrah dari Allah. Makanya kalimat ‘Ibu tempat kembali yang terbaik‘ itu ya yang begitulah, tempat kembali yang terbaik. Ketika seorang anak tuh pengennya kasih yang terbaik untuk ibu, di luar ibunya kecewa atau enggak sama dia tapi dia tuh selalu pengen terbaik untuk orang tuanya, selama orang tuanya tulus ikhlas mendidiknya”
MasyaaAllah ya, intinya adalah ikhlas mendidiknya.
Kisah Teladan Terbaik Ibu dalam Alquran
Kisah Ibunda Nabi Musa.
“Dan sesungguhnya Kami telah memberi nikmat kepadamu pada kali yang lain. Yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan.
Yaitu: ‘Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu akan membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya; Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.
(yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada (keluarga Fir’aun): ‘Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?’ Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita. Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan,” (QS Thaa-Haa: 36-40).
Ustadzah Poppy berkata, “Aduh ini gimana, anak ini lahir pasti disembelih. Kita tahu bahwa enggak ada seorang ibu yang ingin anaknya celaka, enggak ada sama sekali apalagi ibunda Solihah, ibunda Musa. Kebayang ya jadi seorang ibu yang 3 anaknya, ketiga-tiganya disebutkan dalam Alquran.”
“Jadi, kalau nggak belajar tentang ibunda Musa, itu rugi luar biasa. Ketiga anaknya disebut dalam Alquran. Dan maka lahirlah Musa dan Allah takdirkan Musa bukan anak yang rewel, jadi enggak nangisan gitu. Tapi memang apa ya, namanya ibunya gelisah dan tahu bahwa kalau sampai ketahuan dia melahirkan Musa pasti dibunuh maka Ibu Musa berdoa kepada Allah, ini harus melakukan apa.”
“Jadi, kalau ibu-ibu suka banyak khawatir mempermasalahan hidup, saya mau bilang permasalahan hidup macam apa sih Bu? yang paling berat selain anak mau mati dibunuh orang? Ya, anak sakit aja kan kita gelisahnya kayak apa. Padahal mungkin dia cuma batuk, pilek, agak anget, itu aja kan, kita rasanya pengennya, kalau saya nih begini lagi keluar begini, terus tau dengar kabar anak sakit, panas. Wah rasanya pengen terbang langsung Bu. Nah, ini intermezo aja ya.”
“Nah, saya balik lagi ke Musa. Jadi, apa rasanya seorang ibu yang cuma demam aja tuh kita udah feelingnya, udah nggak nyaman. Apalagi Ibu Musa. Dan juga Allah kasih kayak gitu, apalagi ibu-ibu menyusui yang masih menyusui anak. Dimana kita kok ya bisa-bisaan kebangun kalau malam-malam itu yang bangun pasti Ibu duluan, karena Allah udah kasih sinyal”
Hebatnya Bonding Ibu dan Anak yang Allah setting Melalui Breast Feeding
Beliau melanjutkan, “Wah Allah tuh nyiptain bonding yang luar biasa ya (melalui menyusui). Makanya saya sering bilang, ‘Ibu Pulanglah’, bonding itu loh sudah Allah kasih luar biasa antara ibu sama anak tapi kita kok ya kayaknya kita yang mutusin bonding itu pelan-pelan. Kita yang memaksakan bonding itu putus, padahal bonding itu sebenarnya sama Allah diciptain untuk kita, ibu sama anak, itu murni Allah yang kasih”.
“Coba bayangin ya Bu, Ibu kalau waktu bayi nyusuin 2 jam sekali, kalau 24 jam dalam sehari berarti kira-kira 12. Ibu kalikan dua tahun sekali 365, berapa? delapan ribu tujuh ratus enam puluh kali. Allah kasih seorang ibu untuk bermesraan sama anaknya, tapi ibu-ibu memilih untuk meninggalkan anak-anaknya pada 8.760 moment.”
“Allah ciptakan supaya anak itu mengagumi ibunya. Kok bisa? saya tuh selalu bilang ‘Ibu pernah lihat anak yang nyusuin enggak?’ dia tuh kagum sama ibunya, apakah pernah ngelepeh ibunya gitu sambil nyusui nih, misalnya anaknya nyusui, terus gini enggak mau lihat ibunya. Apakah ada? ya, enggak ada anak nyusu gitu kecuali dia tidur ya karena dia tuh saking nikmatnya sampai tertidur. Tapi kan apa yang dia lakukan juga ngeliatin ibunya dengan penuh kebanggaan, dengan penuh kasih sayang.”
“Saya sampai selalu bilang kalau kita lagi nyusuin Bu, itu rasanya kita (jadi) wanita paling cantik sedunia betul ya Bu? Kok ya kagum sama ibunya sampai gini banget ya kan? kadang-kadang saya bilang sama anak saya sambil nyusuin, ibumu loh biasa aja enggak cantik-cantik amat kok ya kamu ngelihat Ibu kayak ibumu tuh cantik luar biasa, kayak yang kagum tuh – kan mata kagumitu mata yang penuh Terima kasih ya – itu Allah kasih momen itu, tapi kita memilih untuk putusin itu, padahal momennya diciptain 8.760 moment yang sulit untuk kembali lagi, bahkan tidak mungkin kembali lagi“.
Nah, ketika Ustadzah Poppy bilang begitu, saya jadi ingat materi (salah satu hal basic) yang pernah saya pelajari bahwa ketika menyusu, sebaiknya tidak disambi. Dan ini memang ada penelitian ilmiahnya, perbedaan otak anak yang disusui ketika ibunya nyambi dengan yang tidak. Bahkan ada perbedaan ketika ibunya sambil ngaji dengan sambil nyanyi, itu beda jauh lagi. MasyaaAllah, terkadang memang yang mahal bukan bendanya melainkan ilmunya. Dan mencari ilmu itu memang kewajiban kita sebagai seorang muslim, wabilkhusus muslimah ya.
Mari, kita lanjutkan. Catatan dari rangkaian tausiyah Ustadzah Poppy.
Beliau melanjutkan, “Jadi, kalau ibu-ibu nanya ada permasalahan, kok anakku enggak mau nurut sama aku? kok anakku melawan? biasanya loh bu, biasanya saya selalu tanya ibu dulu nyusuin atau enggak? biasanya saya tanyanya sampai hal basic kayak gitu.”
“Kalau ibunya nyusuin biasanya jarang anak yang ngelawannya tuh keterlaluan, kalau ngelawan kan kadang-kadang karena mungkin dia nggak tahu cara menyampaikan sama orang tuanya, gitu kadang-kadang mereka tuh pengen nyampein ide tapi dia ngelihat kok Ibuku ngaturnya sampai kayak gini banget? aku loh udah gede, aku loh punya pemikiran sendiri, Mbok didengar, aku loh nggak akan masukin Ibu ke neraka. Aku loh enggak mau masuk neraka, tapi kok Ibu kalau maksa loh sampai gitu banget, bahkan enggak mau loh dengerin aku?”
“Kadang-kadang ada anak-anak yang kalau diskusi sama saya bilang gini, ‘percuma Ustadzah ngomong sama ibu mah’. Kenapa? dijawabnya, ‘Ibu kan mau-maunya sendiri, sudah paling benar, kan Ibu, mana mau dia dengar kita berpendapat, intinya pokoknya terakhirnya ibu yang pasti menang, enggak mau dengerin itu syarat tapi akhir-akhir ini terserah ibu, jadi percuma kita ngomong'”
“Dan ketika anak bicara kayak gitu. Terutama anak-anak usia baligh, anak-anak yang sudah dewasa apalagi memang udah kita ajarin agama syariat dari kecil, Insya Allah mereka akan tahu kalaupun mereka belok dikit tuh nggak lama-lama, cepet tobat ya Insya Allah selama kitanya rajin berdoa.”
Insting Ibu Sholiha
Kembali lagi ke kisah Musa, Ibunya gelisah. Nah ibu yang benar pasti ngerasa gelisah ketika ia meninggalkan anak, ketika anaknya ada apa-apa itu pasti gelisah, itu enggak mungkin ada ibu yang sebenarnya enggak seperti itu, kecuali rasa keibuannya sudah hilang ya itu beda lagi.
Ustadzah Poppy melanjutkan, “Tapi enggak ada satupun Ibu menurut saya yang kalau pisah sama anaknya tuh enggak campur aduk rasanya.”
Maka ibu Nabi Musa berkata kepada Allah, berdoa kepada Allah, “ya Allah bagaimana cara saya menyelamatkan anak ini?”
Kemudian Allah kasih petunjuk, para ulama membahasakannya itu adalah Wahyu.
Kemudian beliau menceritakan kejadian darurat ketika gempa Cianjur ada keluarga dari akademi keluarga Al-Fatih lulusan Teknik Elektro, jadi konsultan menyusui yang tiba-tiba diminta membantu seorang ibu yang lahiran. Walau bingung akhirnya mau ngebantuin juga dan qaddarullah kondisinya tidak mudah, sudah kelihatan kepalanya tapienggak keluar-keluar, ternyata ada lilitan dan mulai memikirkan sejenis kabel, ibarat kabel melintit jadilah dia pandu dan alhamdulillah. Ketika lahir, begitu bayinya enggak nafas, seperti dikasih tau kalau bayi perlu ditepuk-tepuk itu punggungnya. Alhamdulillah anaknya selamat.
Ikhtiar itu Perlu Tapi Urusan Hasil, hanya Allah yang Maha Penentu
Ustadzah Poppy mengingatkan bahwa itu semua atas izin Allah, maka jangan pernah merasa bahwa usaha itu tidak akan menghianati hasil. Pertanyaannya adalah hasil yang mana sih ini sebenarnya? Karena semua hasilnya sudah dari Allah bahkan ketika hasilnya kita udah merasa berusaha, misalnya jaga banget sama kandungan, jaga makanan juga tapi Allah takdirkan kita keguguran terus kita ngerasa kayak ‘wah gimana’?
Jadi, konsepnya adalah qadarullah wa maa syaa-a fa ala (artinya Allah telah menakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat). Maka kita ini perlu ikhtiar, tapi hasil itu hanya Allah yang menentukan, karena itulah yang akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah (proses ikhtiarnya). Adapun urusan hasil, Allah yang menentukan hasil terbaik untuk anak-anak kita.
Ustadzah Poppy melanjutkan, “kadang-kadang Bu, kita yang ngelihatnya tuh pengennya dia besok baik. Kalau hari ini nakal besok langsung baik maunya gitu. Padahal kemudian kalau saja kita agak mundurin dikit 3 bulan lagi lah, Bu, tunggu tiba-tiba berubah atau tarik lagi kalau 3 bulan belum berubah, doain lagi, doain lagi, doain lagi sambil kita berusaha pengen kita bisa usahain. Tiba-tiba setahun kemudian ada perubahan, belum juga lihat 5 tahun ke depan, ibu-ibu akan kaget hasil yang terbaik yang Allah berikan ternyata harus melalui yang salah-salah itu tadi dulu.”
Nah maka ibunda Musa mendapatkan petunjuk untuk melarung anaknya ke sungai. Sungainya itu bukan sungai kecil tapi sungainya ini seperti laut besarnya, tapi memang tidak garang seperti lautan ombaknya. Maka satu-satunya usaha yang dia lakukan cuma satu, kalau dia keluar, orang akan tahu (ketahuan orang). Maka dia minta kakaknya Musa yang ketika itu usia 10 tahun untuk membantunya.
Ustadzah Poppy membayangkan kalau kakak Musa itu anak-anak zaman sekarang yang kebanyakan detail-detail itu, karena telah dilatih oleh pendidikan barat yang segala sesuatu harus detail. Misal, membuka pintu. Bagaimana cara membuka pintu, jadi googling weh. Zaman ini memang kadang jadi ortu seolah kayak mati gaya, kalau enggak ada gadget, gak tau caranya. Kata Ustadzah Poppy, “makanya kenapa sekarang tips menghindarkan anak dan gadget dia aslinya ya dicabut aja gadgetnya. Kok ya repot pakai ada tipsnya juga, aneh ya, yang ngasih gadget kan ibunya. Kok pakai cara menghindarkan anak dari gadget ya? ajaib ya.”
Melatih Kemandirian Anak Tapi Kenapa Ibu yang Repot
Pada kisah kakak Nabi Musa, begitu mendengar kalimat perintah dari ibunya, sang kakak yang usianya 10 tahun itu langsung tahu apa yang dimaksud oleh ibunya. Untuk mengikuti arus aliran air sungai juga.
Ustadzah Poppy saat itu langsung membayangkan bagaimana kalau ini dilakukan oleh anak-anak zaman sekarang, mungkin mereka akan bilang ikutin ke mana, dan sang Ibu akan menjelaskan detail, tapi bisa saja si anak juga akan perhitungan, kebingungan dan juga pasti minta ongkos. Atau di perjalanan nanti dia duduk di pepohonan, terus tiba-tiba dia lari-larian. Wkwkwkwk, kira-kira begitulah.
Tapi ajaibnya, anak-anak dari Ibu Musa tida kseperti itu. Sang Ibu nggak perlu ngomong panjang lebar. Ini karena apa kalau bukan didikan yang tepat sesuai fitrahnya.
Ustadzah Poppy juga membahas bagaimana kondisi pola pikir anak zaman ini, dimana ketika mereka yang mau kemping aja, ibunya yang nyiapin ransel. Bagi Ustadzah, itu hal yang aneh.
“Bu, ibu yang ribut nyiapin ini-itu. Jadi gimana? begitulah ibu-ibu sekarang, kata teman saya, dia bilang, sekarang ini pelajaran aneh loh, kalau anak sekolah, ibunya yang repot. Dan lihat, kita zaman kita dulu, ibu kita kan enggak ngurusin apa-apa. Ya udah jalan sendiri.”
Ustadzah Poppy disini hanya ingin menyampaikan bahwa kita ini jadi ibu, tujuannya mulia tap ikenapa kitanya yang malah mau merepotkan diri sendiri untuk hal-hal yang sejatinya enggak perlu direpotin.
Ustadzah Poppy melanjutkan, “Bu, misal anak mau drama nih, kok ibunya yang bikin scenario? Itulah itu begitu terus. Nah, kalau memang itu disuruh sama gurunya, ya mungkin beda lagi. Jadi sudut pandangnya beda nih ya, kalau anak enggak belajar prepare, katakanlah camping ada yang tertinggal, biarin ketinggalan, biar dia belajar apa rasanya kalau ketinggalan barang. Kalau enggak kan, dia enak bisa tinggal nyalain Ibunya. Misal ‘Ibu kenapa enggak masukin telur’. Akan tetapi kalau dia ketinggalan sendiri kan dia nangis sendiri, ntar biar dia tahu (lain kali) jangan ketinggalan.”
Melatih Critical Thinking, Skills dan Kepekaan Anak
“Cara mendidik anak yang zaman sekarang itu kayak apa ya? anak tuh kayak semua-semua harus disiapin, anak umur 5 tahun masih disuapin, itu kenapa coba? Kita belajar dari kakaknya Musa, anak 10 tahun itu sudah Mandiri, dia udah tahu bagaimana cara melindungi adiknya, bahkan kemudian dia tahu bahwa adiknya ternyata berhenti di istana. Sampai dia berpikir, kan adikku tuh yang malah masuk ke istana itu gimana nasibnya, dia berpikir, gitu kan?”
“Wah dia (kakak Musa) langsung cari ide apa yang harus saya lakukan?” Lanjut Ustadzah poppy.
Disini, beliau menceritakan ada dua kisah atau versi.
Ada yang bilang kakaknya Musa ini Ahli Bekam, maka dia biasa punya akses masuk ke dalam istana.
Ada yang bilang, dari pendapat lain yang mengatakan dia ini bersahabat sama bayang-bayang Istana. Jadi dia menghubungi temannya itu, lalu temannya membolehkan dia masuk.
Kunci Anak Mampu Mengarungi Kehidupan : Skill dan Relasi
- Kunci dari semua ini jelas, menjadi amal buat kita para ibu, agar anak-anak kita minimal punya life skill sehingga apa yang dia dibutuhkan, mudah. Dan dia gampang kemana-mana juga karena dia dibutuhkan oleh orang lain, bermanfaat.
- Anak punya teman yang banyak.
Punya teman yang banyak itu bukan berarti dia enggak boleh pilih teman, dia harus pilih teman karena teman tuh harus dipilih. Tapi ketika dia punya teman, siapapun itu, jangan hilangkan silaturahmi di antara mereka.
Jadi, kadang-kadang Ibu perlu juga ngecek ke anak, ‘kamu masih kontak nggak ya sama sahabatmu yang dulu si fulanna, Si Fulan’ gitu misalnya. Karena ini penting.
Akhirnya masuklah kakaknya Musa kedalam istana dan kemudian dia menyaksikan bagaimana Musa yang ditemukan dan bagaimana seorang Asiya Binti Muzahim itu jatuh cinta pada bayi Musa. Wah Masya Allah. Jadi dari awal tuh udah langsung kelihatan bahwa wajahnya berbinar, berseri-seri, wajah-wajah bersinar baik yang luar biasa. Maka ketika itu, Asiya merasa bahwa bayi ini harus jadi anaknya, lalu dia langsung mencarikan ibu yang menyusui.
Qoddarullah oleh Allah semua ibu menyusui itu ditolak oleh Musa. Melihat kondisi seperti itu, si kakaknya Musa yang cerdas ini langsung dengan beraninya bilang bagaimana kalau dia tawarkan seseorang yang mungkin ada seorang ibu kayaknya bisa nih nyusuin anak bayi ini. Maka, ia pun mengumpulkan semua ibu menyusui yang bisa menyusui Musa ini. Dan Musa menyusu pada ibunya sendiri. Maka, itulah akhirnya dia balik pulang, balik pulang ‘menyusu’ sama ibunya.
Ustadzah Poppy melanjutkan, “Wah, masyaaAllah ya, kok bisa ini kakak Musa, anak umur 10 tahun itu. Maka dari itu, jangan dianggap anak 10 tahun itu anak bayi. Makanya, saya bolak-balik bilang anak kok mau kemping masih disiapin ibunya? Anak mau jalan-jalan ibunya? Astagfirullah, saya lihatin ibu-ibu tuh kasihan loh bu. Kadang-kadang saya miris melihat ibu-ibu tuh mau jalan-jalan, Ibu repot, udahlah ngurusin bekal, baju suaminya, baju anaknya, baju ininya, baju itunya, semua banyak printilan. Belum bekel siang, lelah banget Bu. Misal aja Bu, bisa enggak sih Ibu percaya aja sama anak, Ibu tinggal ngomong ‘Nak siapin baju pergi segini, baju pulang, baju tidur segini’. Udah ibu cuma tinggal nyiapin baju suami, untuk koper gede digabung. Tapi begitu masuk anaknya yang udah kuliah, bajunya jelek yang dibawa. Dan ibu misal takut kalau difoto gimana, yaudah tinggal bilang, enggak pakai diomelin juga. Ya kan enggak enak diomelin?”
Keyakinan Doa Dikabulkan itu Penting
Maka Ibunya Musa datang ke istana, karena ini krusial dan merupakan keputusan yang besar. Enggak main-main, penuh keraguan dan kebimbangan. Takut ketahuan dan seterusnya.
Belajar dari Ibu Musa, setiap mengambil keputusan-keputusan besar selalu tanya sama Allah, Allah Ridho nggak sama keputusan yang ini?
“ya Allah, aku Aku ingin berjalan di atas ridho-Mu, kalau ini keputusan yang buruk, Ya Allah gagalkan.”
Enggak mungkin Allah enggak dengar, kecuali Ibu nggak yakin sama doa ibu sendiri. Apakah ada?
Ada banyak orang yang berdoa tapi tidak yakin bahwa Allah akan mengabulkannya. Jangan-jangan itu kita dan ini yang paling bahaya : berdoa tapi tidak yakin Allah mengabulkan.
Ustadzah Poppy melanjutkan, “Emang ibu kira Ibu siapa? Udah Terlalu hebat sampai ragu bahwa Allah akan mengabulkan? Mudah-mudahan kita bukan menjadi bagian yang seperti itu. Jadi kalau doa tuh yakin Allah pasti memberikan yang terbaik.”
Kisah Nyata Ibu Kembali ke Anaknya : Ibunya Musa dan Imam Asy-Syafi’ie
Inilah kisah pertama dimana Ibu adalah tempat kembali yang terbaik, dimana bayi Musa menyusui dengan lahap dalam penuh kasih sayang orang tuanya sendiri dengan takdir takdir Allah yang unik.
“Allah itu kalau kabulin doa kita itu memang jalannya nggak kayak jalan tol lurus, enggak ada hambatan, enggak begitu. Justru kenapa Allah kasih ujian dulu? supaya apa? supaya kita bersyukur dan kita tahu benar bahwa tanpa Allah, kita tidak ada apa-apanya. Masalahnya kita tuh jadi manusia tuh seringkali sombongnya luar biasa, udah sombong, suka ngeluh lagi? kan ngeselin ya.” Tutur Ustadzah Poppy lagi.
Kisah yang kedua, kita belajar dari ibunda luar biasa yaitu ibunda Imam Syafi’i.
Ibunda Imam Syafi’i ini sudah kita ketahui kisahnya seksama dan kita tahu siapa Imam Syafi’i ini? Karena kita ini di Indonesia kebanyakan pakai fiqih Mazhab Syafi’i, sebabnya saking luasnya ilmunya.
Imam Syafi’ie ini, beliau juga belajar pada Imam Malik bukan tanpa sebab. Walau dulu tinggalnya di Gaza Palestina tapi ibunya memiliki peran disini, ibu beliau tahu bahwa anaknya harus disekolahkan di sekolah yang terbaik. Sekolah terbaik itu di mana? di Mekkah, kota yang dekat dengan keluarganya Imam Syafi’i dari keluarga bapaknya Imam Syafi’i. Jadi dalam hal ini, perhatiannya Ibu seperti itu. Ibu rela hijrah ke Mekkah untuk mengarahkan pendidikan sang putera tecinta.
Pola Pendidikan Nabi, Tidak Memutus Silaturahmi
Kita bisa berkaca pada pola orang sholeh zaman dulu, seperti melihat bunda Rasulullah, Aminah. Beliau itu dulu ngebawa Rasulullah ke Yatsrib Madinah di tempat yang ada keluarga bapaknya juga.
Ustadzah Poppy melanjutkan, “Jadi kadang-kadang, kita jangan putus silaturahim hanya karena apa? hanya karena -maaf saya kutipin ini- hanya karena kita ini fitrahnya sudah berbeda misal. Ini kadang-kadang banyak orang yang ngaku enggak mau ke sana, sebab mereka gitu sih – pakai baju aja mini-mini, jadi enggak mau anak terkotori matanya misalnya gitu? Sadar enggak sih? kadang-kadang tuh kita lupa jangan-jangan kita menjadi Jalan Dakwah bagi mereka, Jalan kebaikan bagi mereka, Jalan hidayah bagi mereka. Kalau cara melindungi anak, mudah Insya Allah, asal niatnya lurus. Karena kadang-kadang kita perlu mundur sedikit, untuk maju lagi.”
“Ustadz Budi dulu pernah cerita, dan ini yang saya jadi merasa ‘iya bener ya?’. Ceritanya waktu itu beliau mau salat Jumat, terus beliau itu sudah ada di shaf pertama gitu. Tapi kalau anak-anak muda tuh ribut di belakang itu bapak-bapak bisa terganggu, itu pertama-tama. Kedua, anak muda ya Bu ya enggak ada yang berbuat sama sekali karena yang ada Mereka cuma marah-marah. Akhirnya Ustadz Budi Itu cuma mundur ke belakang untuk kemudian ngerangkul anak-anak itu ‘yuk, yuk, yuk Kita maju, yuk siap-siap salat’. Dan beliau mundur ke baris ke-sekian, bukan lagi pertama. Padahal kita tahu keutamaan salat bagi laki-laki ada di shof pertama. Kenapa beliau justru begitu? karena beliau yakin ini untuk menyelamatkan semuanya, kalau keutamaan bagi diri sendiri itu mudah Insya Allah. Ustadz Budi mengatakan, ‘Allah tahu kok niat saya tadi ada di shof pertama. Dan Allah tahu itu enggak mungkin diukur oleh matematika satu tambah satu sama dengan 2, enggak begitu, Allah tuh enggak kayak matematika. Allah tuh tahu isi hati kita. Dan Allah tahu apa yang kamu lakukan dan apa niatmu. Makanya jangan bohong sama Allah.”
Teladani Generasi Sholih, Generasi Terbaik
Kalau kita pengen hidupkan kembali kegemilangan Islam, karena dari kuttab itulah dulu lahir ulama-ulama besar, imam-imam mazhab dan itu yang ingin kita kembalikan menjadi awal generasi cemerlangnya Islam, maka itu yang kita usahakan kembali lagi. Karena Siapa yang paling layak ditiru?
Yang paling layak ditiru adalah pola pendidikan generasi-generasi awal generasi-generasi terbaik.
Kembali ke kisah Imam Syafi’i.
Maka Imam Syafi’i belajar ke Madinah, ke Imam Malik tapi ditolak karena :
- Imam Malik sudah kebanyakan murid.
- Imam Syafi’i terlalu muda ketika itu.
Akan tetapi Imam Syafi’i enggak enggak putus asa, enggak menyerah. Kemudian beliau bilang, ‘ya Imam Malik aku sudah hafal kitab Anda’.
Ilmu itu : Apa yang Dibutuhkan Hari Ini dan Diamalkan
Nah itulah mengapa, belajar itu diusahakan untuk hafal. Karena dia punya bagian position untuk masuk ke mana saja dia mau, karena dia udah hafal kitabnya. Kenapa? memangnya mau kayak kita? ilmunya cuma ada di catatan doang, ilmu nggak hafal. Misal nih yang kuliahnya di administrasi, semua ilmu dihafal.
Ustadzah Poppy menceritakan diri beliau sendiri, “Saya itu di teknik mesin Bu, saya tuh masuk teknik mesin sebenarnya karena pengen masuk di teknik mesin dulu, sebab ada program studi teknik industri Bu. Makanya saya selalu nulis teknik mesin-industri. Kenapa? karena saya masuk sebagai mahasiswa teknik mesin, keluar sebagai sarjana teknik industri. Disana itu ada fisika mekanisasi jika gelombang optik diitung, di sisi lain juga ada matematika. Kalau kalkulusan tuh kalkulus dua, aljabar 1, aljabar 2, analisa vektor dan seterusnya. Kalau ibu tanya sama saya sekarang, ‘bisa nggak sekarang ngerjain soal?’. Ya, intinya saya tuh ya, karena suka matematika, saya nilainya 10 Bu di raport STTB. Nampang nilai 10, kebayang ya buat SMP tuh begitu? nilai saya sampai pas kuliah itu juga baik. Jadi kalau ibu tanya sama saya itu adakah sisa-sisa matematika? Ya, enggak ada Bu, tiba-tiba hilang loh Bu.”
Kegigihan Imam Asy-Syafi’ie
Imam Syafi’i bilang ke Imam Malik, “Saya sudah hafal Imam Malik, saya sudah hafal kitab Anda. Tapi saya itu butuh dijelaskan, kan saya sudah hafal, butuh penjelasannya untuk paham.”
Maka akhirnya Imam Malik menerima Imam Syafi’i, Masya Allah. Kenapa? Sebab itu ibunya nggak puas terhadap ilmu, maka ibunya setelah itu selalu bilang sama Imam Syafi’i bahwa dimana ada ilmu terbaik, di situ kamu berada.
Target Ibu Sholiha
Ibunda Imam Syafi’i ini cita-citanya besar, “Ibu mau kamu menuntut ilmu sampai kamu bisa bermanfaat untuk umat. Jangan pernah kembali, jangan pernah kembali, tuntut ilmu sampai kamu jadi bermanfaat buat umat.”
Jadi memang targetnya ibu-ibu Sholihah itu bukan kekayaan duniawi, tapi bagaimana ilmunya itu bisa bermanfaat untuk umat, ilmunya dirasakan oleh masyarakat.
Kemudian Ustadzah Poppy kembali mengulik kisahnya, “Apalagi perusahaannya kemudian perusahaan luar lagi, ya kan, maka bayangin skripsi skripsi yang susah payah kita kerjain itu akhirnya cuma jadi penghias perpustakaan. Padahal ilmu itu, kita bisa diamalkan dan langsung berwujud, dan mudah-mudahan anak-anak kita nanti tidak seperti itu.”
Nah kembali lagi Imam Syafi’i, kemudian akhirnya diketahui ketika itu di Irak. Dimana Irak yang menjadi peradaban ilmu kala itu.
Ketika imam Syafi’i sudah selesai dari majelisnya Imam Malik, maka dia disuruh berangkat lagi. Intinya adalah jangan kembali sampai kamu jadi orang terbaik, jadi murid terbaik. Seperti itulah ibunya memberi dukungan, bukan yang kemudian ‘kamu harus dikenal oleh masyarakat’, bukan itu targetnya.
Inti pokoknya dari Ibu Imam Syafi’i adalah bermanfaat, ‘kamu punya ilmu yang terbaik, yang kemudian kamu itu bermanfaat sebab ilmu untuk bermanfaat’.
Maka, pada suatu ketika sudah berlalu sekian tahun dan emang anak yang sholeh, ketika kebanyakan Ibu ingin anaknya cepat pulang, itu Ibunya justru menyuruh enggak pulang, maka ya beliau enggak berani pulang dan beliau ini enggak tahu ukuran kesuksesan buat ibunya ini sampai mana.
Bukti Bakti pada Ibu
Seorang Syafi’i yang selalu ingin menyenangkan orang tua, terutama ibu. Karena ibunya bilang jangan pulang sebelum manfaat, maka kemudian Syafi’i menjadi perbincangan. Hingga semua murid-muridnya Imam Syafi’i itu pulang dan berangkat umroh ke Mekah. Imam Syafi’i ini menjadi topik perbincangan berat di semua kalangan. Bahwa memang sekarang itu di Irak ada ulama besar, ulama yang Fakih, paham semua ilmu dan dia mampu menjawab permasalahan-permasalahan umat. Beliau itu orang hebat dan ternyata beliau itu ternyata aslinya orang Mekkah. Obrolan itu bisa sampai ke ibunya. Dan mencari tahu apa yang didengar ini adalah Imam Syafi’i.
Ibu Imam Asy-Syafi’i pun tersenyum, “Oh berarti itu Anakku, Oh Masya Allah.”
Begitu mudah bagi Allah mengangkat derajat seorang hamba, semua orang memuliakannya. Dalam Alqur’an Allah sudah menjamin mengangkat derajat orang bertakwa dan berilmu. Apalagi jika keduanya dikombinasikan, masyaaAllah.
Ustadzah Poppy melanjutkan ibrahnya, “Jadi kita ini jika cuma cita-cita pengen punya anak pintar aja itu orang langsung mengangkat kita, ketika paham syariat, derajat kita langsung naik juga di hadapan orang-orang. Masya Allah bukan cuma Imam Syafi’i yang dipuji, tapi ibunya juga dipuji-puji.”
Ibunya memetik hasil yang masyaaAllah, Imam Syafi’i, siapa yang enggak kenal Imam Syafi’i?
Kalau ada permasalahan, beliau adalah satu-satunya orang yang bisa menjelaskan dengan detail dan orang tuh paham apa yang dimaksudkan, Masya Allah.
Ibunya Imam Asy-Syafi’i berkata, “kalau nanti ketemu anak saya, tolong beritahu dia, dia boleh pulang.”
Ibu, Tempat Pulang Terbaik
maka, ketika itu disampaikan oleh Ibu Imam Asy-Syafi’i, maka itulah kesempatan bagi murid-muridnya untuk bertemu Imam Syafi’i langsung.
Imam Syafi’i mendapat kabar itu, langsung packing, langsung berkemas. Dan inilah hikmahnya, murid-muridnya pun enggak mau kalah, langsung bawain unta semua, sehingga terkumpul sekitar 100 unta lengkap dengan bawaan oleh-olehnya. MasyaaAllah.
Ibunda Imam Asy-Syafi’i takjub karena bukan dunia yang dicari.
Ibrah dari kisah ini, kata Ustadzah Poppy, misalnya terbersit pikiran, Anakku kerja apa? masa iya cuma jadi guru Quran? masa cuma jadi guru ngaji? Jadi kita panik sendiri karena memikirkan dunia, makanya anak kita jadi nggak besar-besar karena ibunya mikirin dunia yang kecil ini.
Kesimpulan
Ustadzah Poppy menutup materinya dengan berkata, “mudah-mudahan kita semua bisa nyontoh menjadi Ibu tempat kembali yang terbaik ya, kita belajar dari Bunda Musa dan kemudian belajar dari Bunda Imam Syafi’i, mudah-mudahan Allah mudahkan kita semua. Karena ketika kita guncang, ketika kita goyah, Allah mudahkan perjalanan kita, Allah teguhkan langkah-langkah kita di koridor-koridor yang Allah kalau anak-anak kita salah, semoga mereka cepat bertobat. Saya berulang kali mengucapkan ini sebagai akhir dari kajian saya, saya selalu bilang saya sering berdoa kepada Allah, ya Allah jangan hukum anak saya karena kebodohan itu. Di satu sisi Muhasabah terus, tapi berjuang dan yakin bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik, juga Percayalah Allah Maha pengabul doa dan Allah maha tahu apa yang ada di dalam hati-hati kita, jadi jujur sama Allah, berusaha sebaik yang kita bisa, berdoa, berdoa dan berdoa. Allahu a’lam bishowab Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”