Ya, jangan berharap apapun pada manusia, kamu pasti kecewa.
Kalimat di atas terdengar klise, namun memang demikian kenyataannya. Ekspektasi yang ditancapkan pada benda, manusia, harapan, angan-angan dan segala hal berkaitan pekerjaan dan relasi, ujungnya biasanya rasa kecewa.
Terakhir kali saya berharap pada seseorang di masa SMA, faktanya malah mengecewakan dan tak bisa aku lupa sepanjang hidup hingga detik ini.
Berekspektasi itu menyakitkan, itu yang saya simpulkan. Karena dari ekspektasi yang ditorehkan, menimbulkan rasa yang sangat besar berupa lubang kekecewaan.
Berbeda dengan mendoakan. Justru itu yang dianjurkan.
Saya percaya, doa yang baik akan kembali kepada diri sang pendo’a. Jika doanya baik, akan kembali positif, sebaliknya jika doa buruk tentu kembali buruk ke diri sang pendoa. Maka, sebaiknya doa, doa yang terbaik.
Kembali ke ekspektasi.
Setiap saya memasuki lingkungan baru, saya mencoba menurunkan ekspektasi dan bahkan tak ingin berharap sama sekali. Saya hanya mampu mempertahankan diri sendiri dan bagaimana caranya agar diri ini tetap fokus dan menjaga agar sehat jiwa raga dibandingkan dengan menuntut orang lain begini dan begitu, karena menjaga kesehatan secara holistik untuk diri, perlu perjuangan dari dalam.
Pun saat bergabung dengan komunitas tertentu, rasa kecewa itu ada, saya bicarakan dengan beberapa yang memang mengetahui dan memahami bagaimana isinya. Selebihnya, saya biasanya menjaga jarak dan lebih fokus kepada diri dibandingkan mengurus hal-hal yang membuat jiwa lelah. Saya percaya, amanah itu akan diberikan kepada yang mampu dan memang mau. Walau kenyataannya, banyak yang menyia-nyiakan amanah.
Going offline
Hanya itulah obat di saat saya sedang lelah memantau layar karena pekerjaan dan kewajiban dituntut sedemikian rupa supaya tepat waktu, hempaskan ponsel, baca buku, tak perlu memikirkan atau menanggapi pikiran yang tak semestinya meringsek. Karena pikiran itu ‘jahat’ jika kita tak bisa ‘kendalikan sendiri’.
Berperang dengan deadline dan berusaha menepati janji terkadang membawa saya merelung ke dalam diri. Saya jadi kurang menyayangi dengan diri, terasa lebih keras dan tegas ke diri namun lembek ke orang lain, ibarat lilin, merusak diri tapi membuat orang lain terang. Saya lelah seperti itu dan saya tak ingin mengorbankan diri sendiri.
Pada kesempatan ini, saya mulai menyadari, apapun yang kalian harapkan pada saya, tak akan pernah bisa saya penuhi. Saya ini manusia yang lemah. Berharaplah pada Tuhan Sang Pencipta saja.
Saya sungguh bergantung kepada Allah Robb ‘Azza Wajalla. Tanpa izin-Nya, tak akan mampu kedua tangan dan kepala ini berkolaborasi. Tak akan mampu ide yang abstrak bisa direalisasikan. Saya masih ingat, di saat semua manusia mengatakan ‘TIDAK MUNGKIN’ bahkan menjatuhkan harga diri serta nilai jiwa saya, namun Allah turunkan pertolongan dari jemari yang tak bisa saya sangka-sangka. 2009 silam adalah tahun penuh keajaiban, saya tak akan pernah lupakan itu dan akan senantiasa bersyukur karenaNya.
Oleh karena itu, dengan adanya post blog ini, saya hendak menyampaikan, permohonan maaf jika ada yang berkirim pesan namun tak saya balas. Terlalu ‘hiruk pikuk’ dunia digital itu, membuat saya yang tadinya netral, bisa-bisa menyerap energi negatif dari dalam ponsel yang digenggam. Kini, saya lebih memilih untuk tidak membalas apapun dan siapapun (yang tidak dekat dengan saya) untuk menjaga diri dari sebuah ekspektasi yang ditempelkan ke dalam diri. Termasuk instagram.
Menjawab tantangan dari Mbak Desi, saya mencoba untuk offline. Terutama dari media sosial yang tak lagi memancarkan energi baiknya.
Seperti yang Mbak Desi katakan, “sesungguhnya ketika kita terhubung dengan dunia yang ada di dalam genggaman, kita telah kehilangan keterhubungan nyata dengan orang lain yang duduk di hadapan kita, anak-anak kita, tetangga kita, sekitar kita.”
Salam,
Niknik yang masih belajar menata diri.
Thiѕ blog was… how do you say it? Relеvant!!
Finally I have found something which helped me. Thanks a
lot!