Seperti biasa, saya akan membagikan ulasan beberapa buku yang menurut saya bagus dan baik untuk dibaca. Walau buku ini adalah buku terjemahan, tapi insyaaAllah isinya tetap nyaman untuk dibaca atau kita perhatikan. Namun, sebelum ulasan ini saya berikan, perlu saya bahas dulu, WHY. Mengapa buku ini perlu saya baca atau mungkin teman-teman pembaca perlu baca.
Berikut alasan mengapa buku Kitab At-Tanwir ini penting :
- buku ini ditulis oleh penulis kitab al-hikam, yang sudah kita ketahui bersama. Kitab al-hikam merupakan kitab tasawuf sepanjang zaman.
- buku ini bukan sekadar ‘kosong’ atau sekadar opini, melainkan dilengkapi dengan teks Arab ayat-ayat suci Alquran, hadist dan juga diperindah oleh syair-syair sehingga tidak kering dan jadi lebih seimbang.
- walau ini buku terjemahan, bacaannya enak, lebih melekat. Dan tentu akan lebih sulit jika kita cerna dalam bahasa aslinya (Arab) dimana kita tidak menguasai bahasa tersebut.
- buku yang super cocok untuk menghadapi berbagai tantangan hidup, karena ia menegakkan pola pikir tauhid yang lurus, tenang, nyaman. Bahkan, setiap menuju bab berikutnya senantiasa terselip kata-kata mutiara dari penulis yang semakin menguatkan kesadaran kita sebagai manusia.
- penulis buku ini merupakan ulama (kita tahu bahwa ulama artinya orang-orang yang berilmu – cenderung memiliki ilmu lebih dari satu subyek). keilmuan yang dikuasai oleh Ibnu Atha’illah adalah Fiqih, Adab, Tafsir Alqur’an, Hadis, Tasawuf, Teologi.
Detail Buku
Judul aslinya, At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir karya dari ulama besar yang bernama lengkap al-imam al-arif ar-Rabbani Ahmad bin Muhammad bin Abdul karim bin Atha’illah asy-Syeikh Tajudin Abu al-Fadhl al-Jazami as-Sakandari as-Syadjili atau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Beliau berasal dari Iskandariyah (as-Sakandari), Kairo, Mesir. Buku ini saya beli di tahun 2021 lalu, beberapa pekan setelah dilaunching. Harganya 135,000 rupiah untuk pulau Jawa. Saat itu saya membelinya di Gramedia sehari sebelum lahiran anak kedua.
Buku ini terdiri dari 21 bab, dimana setiap babnya memberikan kesadaran akan keyakinan bahwa manusia memang tak memiliki kuasa apapun atas kehendak Allah yang Maha Mencipta. Bahkan untuk mengatur pikiran serta kapan bisa bernapas pun, manusia tidak mampu mengatur itu semua. Apalagi hal-hal yang ada di luar badan kita, mustahil bisa kita kuasai atau kendalikan seutuhnya. Namun, buku ini bukan buku yang membuat orang pasrah – aliran Qadariyah atau bahkan merasa bisa berusaha sendiri – tanpa bergantung pada Allah – aliran Jabbariyah. Kitab ini mengajak kita sebagaimana Rasul memberikan teladan, bahwa umat islam adalah umat pertengahan (ummatan wasathan), seimbang, tawazun.
Isi bab buku ini (21 Bab) :
- Berserah Diri dan Tidak Ikut Mengatur (Tadbir)
- Kepasrahan Total
- Ragam Maqam Yakin
- Cara Tidak Ikut Mengatur Urusan Allah SWT.
- Tidak Ikut Mengatur Rencana Allah adalah Hakikah Karamah
- Berserah Diri pada Ketetapan-Nya
- Jenis-Jenis Pengaturan
- Maqam Asbab dan Tajrid
- Manusia Berencana, Allah yang Menentukan
- Pengaturan Rezeki
- Rahasia Dibalik Penciptaan Jin dan Manusia
- Jaminan Rezeki Allah untuk Hamba-Nya
- Mengapa Penciptaan dan Rezeki Disebut Bersamaan?
- Tugas Memerintahkan Keluarga untuk Shalat
- Allah Bertanggungjawab Menyediakan Rezeki bagi Makhluk-Nya
- Sifat-Sifat Rezeki
- Hikmah Dibalik Ikhtiar Mencari Rezeki
- Ikhtiar Sembari Tawakal
- Ibrah dari Syekh Abu Abbas al-Mursi
- Perumpamaan Orang yang ikut Mengatur Rencana Allah
- Panggilan Allah kepada Hamba-Nya
Tentu disini, saya tidak akan membahas semua babnya. Jika ingin membaca detail, bisa membaca langsung pada bukunya. Walau jumlah halamannya cukup tebal, sekitar 400-an halaman, tapi isinya sungguh memukau dan patut untuk kita renungkan. Saya hanya akan membahas beberapa hal yang penting untuk kita renungkan.

Hikmah (Pelajaran) dari Kitab At-Tanwir
Allah telah mengatur semua urusan manusia bahkan sebelum manusia itu diciptakan oleh-Nya
Ya, keyakinan ini penting untuk kita tancapkan. Para ‘alim ulama, seperti Abu Husain al-Hallaj sampai berkata, “Ya Alllah, jadilah Engkau ada untukku sebagaimana Engkau telah ada untukku pada saat aku belum ada.”
Dalam Alquran disebutkan, surat al-‘Araf ayat 172, “Bukankah Aku ini Tuhamnu? Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami)’…”
Terlalu percaya pada diri sendiri, sebagai manusia merupakan bentuk ketidakpahaman diri dan ketidaktahuan terhadap Allah.
Ada sebuah kalimat yang sangat saya sukai pada pengantar bab pertama buku ini, yaitu perkataan Ibnu Atha’illah sendiri berkaitan dengan inti buku ini. Seandainya seorang hamba mengenal Allah, tentu ia akan malu ikut mengatur rencana Allah.
Tingkat Maqam Yakin
Kita seringkali mengatakan bahwa diri ini beriman, padahal masih saja meragukan takdir Allah. Dalam buku ini disebutkan bahwa ragam maqam yakin terdapat sembilan.
- tobat
- zuhud
- sabar
- syukur
- takut (khouf)
- berharap (roja’)
- tawakal
- cinta (mahabbah)
- ridha
Setiap maqam itu, tidaklah sah jika kita belum mampu menjauhi sikap ikut campur terhadap urusan dan pilihan-Nya. Sebab sikap mencampuri urusan Allah adalah dosa besar yang letaknya ada didalam hati.
Memaknai diri sebagai Hambanya Allah
Hamba memiliki definisi ‘sesuatu yang dimiliki oleh tuannya, atau seseorang yang tidak punya kuasa apapun terhadap dirinya’.
Di islam tidak ada hamba sahaya, namun sebelum islam hadir, perbudakan merajalela. Ketika seseorang jadi budak, ia tak punya otoritas atas dirinya. Saat majikan minta sesuatu, ia tak bisa menolak. Berbeda dengan zaman sekarang, seseorang bekerja mendapatkan kafalah, dapat fee.
Ketika tuan pemilik memukul hambanya, ia tak bisa menolak. Bahkan sangat fenomenal kisah ketika Bilal masuk islam, tak seorangpun mampu membantu, hanya mematung melihatnya tanpa bisa bebruat apa-apa, karena ia milik tuannya. Sebegitunya, orang gak berani komplain ketika budak diapa-apain, sebab ia milik tuannya, mirip dengan kepemilikan barang.
Padahal seberapa besar sih manusia bisa punya andil terhadapnya? Menanggung oksigen? Apakah mampu mengatur pikirannya? Atur jantungnya? Atur kesehatannya? Tapi segitunya, manusia sebelum islam datang memperlakukan per-hamba-an (perbudakan) pada manusia. Maka, islam datang menghapuskannya.
Makna diri kita sebagai hambanya Allah tentu lebih dari itu. Hamba (abdun) artinya milik Allah. Bilal yang menjadi budak tuannya saja, bisa segitunya nurutnya. Apalah kita milik Allah yang gak bisa apa-apa tanpaNya. Lantas, mengapa ibadah yang kita lakukan setiap waktu tidak menghasilkan penghambaan pada Allah? dan mengapa masih saja ‘komplain’ sama Allah?
Mengapa setelah beribadah, hatinya tidak tenang? Padahal Kata Allah, “bersabarlah dan sholat.”
Apakah kita salah menafsirkan? Apakah kita sering dibantu sama Allah tapi kitanya sendiri yang suudzon pada Allah terhadap takdir-takdir dari-Nya. Padahal takdir-Nya itu dalam rangka menjaga kita.
Bagaimana dengan shalat kita, setiap waktu kita berikrar pada Allah. Hidupku, matiku, untuk Allah. Yang apabila dimaknai, artinya “Hanya kepadaMu aku meminta pertolongan, menghamba padaMu, dan hanya kepadaMu hamba minta tolong.”
Tapi nyatanya, benarkah kita selama ini tidak benar-benar utuh menghamba dan meminta tolong (hanya) pada Allah? padahal kita sebagai hamba, tidak punya otoritas terhadap diri, seharusnya ngikut apa kata Allah, Tuhan Robb kita.
Karena Robb kita Maha Baik, bahkan Allah mengenalkan terlebih dahulu sifat Maha Rohman-Nya, maha perhatian, maha mengetahui, di awal dibandingkan asma-asma Allah yang lain. Ini menunjukkan Allah tidak pernah mendzolimi hambaNya, tidak pernah menyakiti hambaNya.
Kenapa kita selama ini sakit?
Karena kita melawan fitrahNya. Fitrah sebagai hamba.
Kita merasa diri kita ini milik kita sendiri, sehingga kita ini mau atur, mau ambil porsinya Allah. Padahal kita ini jelas : hamba, kita tak punya otoritas, tidak memiliki diri sendiri, bahkan kita sedetik pun tidak mampu mengatur isi pikiran kita, bahkan kita tak bisa atur apapun yang akan hadir didalam kepala, di depan mata, saking lemahnya kita.
Tugas kita adalah menyadari kita hamba, sadar penuh, bahkan kita atur hidup kita sendiri saja tak mampu. Kita tak bisa mengatur, kita lahir di rahim siapa, hidup ketemu siapa, besar dan berkembang dengan pengasuhan siapa, seperti apa. Kita tak memiliki wewenang terhadap diri kita sendiri apalagi terhadap oranglain.
Tujuan Manusia Diciptakan
Allah mengatakan, ‘Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah pada-Ku.’ – Q.S Adz-Dzariyat : 56
Ibadah itu bukan sekadar ritual atau formalitas, ibadah itu penghambaan. Apapun yang lahir didalam aktivitas kita pastikan menghasilkan penghambaan.
Misal, kita makan, apakah makanan itu menimbulkan penghambaan kita kepada Allah.
Ketika kita dititipin amanah, anak, oleh Allah akan tetapi kok membuat diri kita semakin senewen karena ingin mengatur, mengontrol semuanya? Pertanyaan dasarnya adalah apakah peran kita sebagai istri dan ibu menyadarkan diri bahwa kita ini hanya seorang hamba?
Ketika kita sadar bahwa kita ini hamba, maka ketika kita diberi amanah anak, maka kita akan sama seperti hamba yang merawat titipan milik tuannya.
Apapun akan bernilai ibadah pada Allah jika kita merasakan diri ini hamba.
Disini kita sadar bahwa diri kita tak punya kuasa apapun terhadap diri kita, bahkan kita tak punya wewenang mengatur hidup kita. Kapan kita mau pipis, kapan kita mau merasa capek, kapan kita atur biar enggak datang rasa sedih, kapan kita enggak nyaman, kita tak mampu atur itu. Karena kita ini hamba, tugas kita ini ya manut. Mujahadah kita di dunia ini, ridha terhadap apapun yang Allah tetapkan pada kita.
Kenapa Allah juga menciptakan manusia selain malaikat?
Karena malaikat itu makhluk Allah yang taat, malakut-al-malak, konsisten. Ketika Allah perintahkan A, ia akan terus A. Dzikir, dzikir saja. Nyabut nyawa, ya nyabut nyawa. Enggak ada ego, enggak ada pikiran. Berbeda dengan manusia.
Manusia diberikan ego itu, untuk bermujahadah bahwa posisinya hamba. Prosesnya tentu naik turun, antara sadar-lupa-sadar-lupa. Bukan yang Allah nilai di diri manusia itu, taatnya terus. Tapi proses bermujahadah itulah yang Allah nilai, manusia yang-sadar-lupa-sadar… tapi dengan ketika lalai, manusia bisa langsung menyadari, menyegerakan taubat. Itulah yang Allah suka. Karena sifatnya manusia jelas, salah dan lalai (lupa). Semua ini berkaitan dengan keimanan diri sebagai hamba.
Ada sebuah kisah seorang ayah mengadukan anaknya pada Rasulullah. Anaknya berjihad, dan sedang ditawan. Kalau tidak segera ditebus, diancam oelh musuh, anak itu akan dibunuh. Rasul menjawab bahwa semua orang kaya disini sedang berjihad, solusinya hanya satu, dzikir : laa hawlaa quwwata illaa billah. karena ia seorang mukmin, seorang Ayah ini pulang dengan optimisme.
Kita bisa berkaca, bahwa kadang kita merasa solusi itu harus riil, wujudnya. Misalnya sesuatu yang jelas tampak di mata (sebab kurangnya iman). Misal ketika diberi nasihat, laa tahzan, auto pilot ngeyel dengan berucap “iya tahu ada Allah, tapi sousinya apa?” (padahal Allah Maha dekat).
Suami-istri dalam kisah tadi akhirnya berdzikir hingga larut malam. Mereka membaca laa hawlaa quwwata illa billah dengan penuh keyakinan. Kemudian esok harinya, anaknya ini datang, mengetuk pintu. Ortunya jelas kaget, bergetar. Anak itu berkata, “ada yang melepaskan ikatan saya, sosok tinggi besar putih bersinar, saking nyenyaknya pasukan tidur, aku bisa mengendap-endap pergi dan juga membawa banyak ghonimah..” MasyaaAllah.
Ketika kita menyadari bahwa di langit dan bumi ini milik Allah, mudah bagi Allah mengatur sebuah kondisi, mudah bagi Allah membolak-balikkan hati, mudah bagi Allah melempar seseorang kemana dan mengganti kemana. Kuncinya : cukup sadari bahwa semua dalam genggaman Allah.
Segala Solusi Sudah Allah Berikan
Mengapa banyak orang potong kompas ketika menghadapi suatu problematika? ingin langsung beres, tanpa melewati proses-proses.
Setiap diberi ayat, selalu mengatakan, “jadi, mana solusinya?”. Dianggap makhluk mampu memberikan solusi, dan dia kira menyelesaikan permasalahannya. Sama seperti orang sakit keras, kronis, inginnya cepat sembuh tanpa mengilhami setiap proses yang telah dia lakukan, tidak sadar dan tidak hadir utuh untuk bersabar. Misalnya orang ingin sembuh dari diabetes, tidak mau mengubah pola makan dan memasukkan nutrisi sehat kedalam badan. Yang ada, patogen semakin besar dan ia harus ketergantungan pada obat-obatan. Padahal Allah sudah berikan jaminan bahwa setiap penyakit ada obatnya, dan setiap proses penyembuhan adalah berkaitan dengan layer tubuh yang lain.
Tubuh manusia ada 5 layer yang semakin kebawah semakin halus. Kesemuanya saling terkait, jika satu saja bermasalah maka semua akan sakit. Jika satu disembuhkan, maka yang lain akan mudah untuk sembuh :
- Tubuh Fisik.
- Tubuh Energi.
- Tubuh Emosi.
- Tubuh Mental/ego body.
- Tubuh Spiritual.
Dan Spiritual itu merupakan tubuh paling halus, yang jika kita dzikurullah, dengan menyadari bahwa kita ini abdun, hamba. Kedua langit dan bumi ini milik Allah. Apa yang sulit bagi Allah? kita tinggal meminta pada pemiliknya. Pertanyaannya adalah, apakah kita sudah belajar mengenaliNya, sudah belajar ilmu-ilmu milik-Nya?
Kenapa kita susah banget untuk menjadi hamba yang SADAR?
Karena manusia itu dikasih sesuatu oleh Allah yang dinamakan think (pikiran ego), sifatnya sebagai ujian (makanya kita bermujadahadh atasnya).
Semakin kita mengatur pikiran kita, maka akan semakin kita kepikiran. Misal enggak ingin egois, rasanya malah semakin egois. Ketika kita terus-terusan, apa-apa harus dipikirin, direncanakan yang terjadi adalah thought (kepikiran).
Ego sebenarnya ada manfaatnya, menunjukkan manusia masih hidup (eksistensinya masih ada). Ketika manusia tidak punya ego/ think, wujudnya akan seperti malaikat. Ego ini akan baik asal porsinya tepat. Asal kita bisa kelola dengan baik. Terkadang kita merasa memiliki sesuatu juga karena ada ego. Ini tumbuh secara alami, terutama, di fase 2-3 tahun anak-anak dinamakan fase egosentris. Dimana ia tahu barang miliknya, ‘ini punya aku’. Itu sudah Allah kasih otomatis. PRnya kita latihan bahwa kita ini manusia, kita belajar bagaimana kita bisa mengelola ego itu. Berlatih mengendorkan ego.
Sistem pendidikan kita pun juga mengutamakan think (ego), apa-apa sesuai planning. Misal bikin resolusi. Semua harus kaku, terjadwal, harus seperti ini-itu [hidup dalam sebuah keharusan]. Mestinya [harus] begini dan begitu. Kita hidup di keharusan dan kemestian.
Maka yang terjadi akan selalu prasangka, semakin kepikiran – thought. Alhasil, semakin kita ingin bahagia/senang, biasanya semakin menderita. Semakin ingin senang, maka semakin sakit. Maka ciri-cirinya >> selalu menolak sesuatu yang tidak bikin nyaman, dan hanya merangkul dan menerima yang nyaman untuk egonya.
Selama ini kita terbiasa membesarkan otot think, otot ego, otot kontrol, otot mengatur, tapi jarang menguatkan otot aware (kesadaran). Kita merasa bahwa kita hidup namun tidak benar-benar hidup. Kita merasa bahwa kita ini hamba namun tidak benar-benar hamba. Kita makan, kita tidak benar-benar sadar kalau kita makan, kita mandi tapi kita tidak benar-benar sadar kalau kita mandi. Hidup seperti robot.
Makan di meja makan, misal, tapi pikiran kita lagi kemana-mana, tidak fullfilled di meja makan, kita tidak benar-benar sadar apa yang kita lakukan. Kita solat, tapi pikiran kita kemana-mana, sibuk di think. Kita tidak sadar lagi solat. Dan anehnya, kadang malah bertanya-tanya, “kenapa sih Allah kasih masalah ini.” Padahal jelas dari dalam diri kita. Kita berdoa tapi tidak tahu apa yang kita ucapkan, sekadar formalitas. Berdoa tapi pikiran kita komplain (kok dia begini, ya Allah kasih solusi, kok dia begitu dst), menggerutu.
Mindset [harus] ada solusi juga seringkali muncul misal kalau capek, harus ada yang bantuin. Kalau ada hutang, solusinya harus ada uang. Anak lagi rewel, anak harus diam. Solusi dalam bentuk wujud/sesuatu/ kita pikir dengan itu, menganggap bahwa pasti ketidaksenangan itu segera lepas.
Karena kita hidup dengan otot think, yang apa-apa misal bikin happy, menyenangkan, yaa ayo, yang enggak bikin senang, minta segera pergi. Bukan membesarkan otot aware (sadar).
Rezeki Sudah Diatur, Sudah ada Takarannya, yang Allah Nilai adalah Respons Kita
Allah mengatakan, ‘Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku.’ – Q.S Adz-Dzariyat : 57
Maksud dari : Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka, adalah Allah tidak ingin kita memberi rezeki diri kita sendiri, karena Allah sudah mencukupi kita dengan sebaik-baik pencukupan dari-Nya dan jaminan dari-Nya, sebab Allah-lah yang sudah mengatur rezeki ini.
Maksud dari : an Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku, adalah sebab allah Dzat Maha Kuat yang tidak butuh makan dan tidak butuh diberi makan.
Intinya adalah, Allah menghendaki kita seorang mukmin untuk mengesakan-Nya dalam urusan rezeki (hanya meminta rezeki kepadaNya), tidak menyandarkan sedikitpun soal rezeki pada makhluk. Tidak menggantungkan diri dan jiwanya pada faktor-faktor datangnya rezeki ata upada usaha dirinya.
Jenis-Jenis Rezeki
- Rezeki yang sudah ditetapkan sejak zaman azali.
- Rezeki yang kedatangannya diawali setelah momen pertama keberadaan hamba.
Dalilnya surat Ar-Rum ayat 40. Dimana rezeki dan penciptaan disebutkan bersamaan.
ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ۖ هَلْ مِن شُرَكَآئِكُم مَّن يَفْعَلُ مِن ذَٰلِكُم مِّن شَىْءٍ ۚ سُبْحَٰنَهُۥ وَتَعَٰلَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Referensi : https://tafsirweb.com/7404-surat-ar-rum-ayat-40.html
“Allah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, lalu mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara mereka yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu yang demikian itu? Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan.”
kata ‘tsumma’ pada Arabic surat di atas (yang di-bold), memiliki arti kata ‘kemudian’.
Disana memiliki fungsi untuk menyampaikan urutan kejadian. Jika yang dimaksud adalah rezeki yang telah ditampakkan, kata ‘tsumma’ itu berfungsi sebagai peringatan untuk direnungkan.
Intinya adalah di ayat tersebut, Allah hendak menegaskan : ADAKAH MAKHLUK HIDUP YANG MEMILIKI SIFAT-SIFAT SEPERTI ITU? Sebab hanyalah Allah yang patut diakui yang hanya memiliki sifat-sifat tersebut.
Kisah Dzikir Sebelum Tidur Fatimah ra.
Putri Rasulullah ini sama seperti perempuan pada umumnya, kayak kita. Nggak leyeh-leyeh. Menjadi seorang istri, ibu, anggota masyarakat. Melakukan pekerjaan rumah tangga, seorang diri, karena Ali juga sibuk berdakwah dan bekerja. Dimana zaman itu, sangat berbeda dengan kita yang segalanya mungkin dimudahkan, ada pakai mesin cuci, air minum tak perlu menimba ke sumur, dst.
Fatimah meminta seorang asisten yang bisa membantu pekerjaan rumahnya, namun, Rasulullah justru memberikan sesuatu yang lebih besar dari itu semua. Yaitu dzikir. Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x dan AlluhAkbar 34x.
Dzikir itu dibaca sebelum tidur malam. Dan tentu perlu diresapi maknanya. Ingat, ada makanan untu ktubuh spiritual kita, salah satunya dengan berzikir ini.
Arti zikir :
Subhanallah : Allah itu terbebas dari segala bentuk kesalahan memberikan takdir, juga dari kesalahan-kesalahan yang lain. Termasuk kesalahan memberikan takdir, termasuk ‘kenapa kehidupan saya seperti ini?’ >> Allah itu terbebas dari itu. Maha Suci Allah atas segala keputusanNya. Maka, ketika kita sedang bertasbih maka kuatkan ini, karena proses pembersihan hati (tazkiya tun nafs) itu proses penyucian hati dari prasangka buruk pada Allah dan proses pembibitan prasangka-prasangka yang baik kepada Allah.
Setelah prasangka kita baik sama Allah, meyakini bahwa Allah terbebas dari kesalahan-kesalahan takdir (takdir kita tidak pernah salah), maka disempurnakan dengan tahmid. Alhamdulillah… Jadi benar-benar aware, sadar, mindful. Tidak disambi apapun, itulah mengapa zikirnya sebelum tidur, karena insyaaAllah kondisi terbaik untuk melatih kesadaran diri.
Alhamdulillah : banyak banget nikmat Allah yang masuk ke tubuh hari ini, bisa minum, bisa napas, dan banyak lainnya. Intinya nikmat Allah tidak bakal bisa kita hitung.
Allahu-Akbar : segala sesuatu itu milik Allah. Allah Maha Besar atas segala sesuatu. Allah itu Maha Kuasa atas sesuatu apapun. Allah memiliki langit dan bumi. Allah Maha Hebat. Maka, mudah bagi Allah untuk menciptakan semua ini, mudah bagi Allah untuk membolak-balik kondisi, mudah bagi Allah yang membuat awalnya kita sempit menjadi lapang, maka mudah bagi Allah yang awal mulanya menjadikan capekk, menjadi hilang capeknya.
Jadi solusinya bukan ART jika kita lelah, solusinya : sadar (awareness, dzikir).
Berat dan enteng/ringan itu urusan persepsi
Kalau kita menyadari kalau Allah itu Maha Hebat, Maha Besar, bisa ngasih kekuatan berlipat-lipat pada kita. Maka kita akan bersandar pada Allah, karena Allah yang pasti bakal ngebantuin.
Kenapa selama ini kita merasa kurang, lelah, tidak sesuai dengan jiwa? karena kita TIDAK SADAR bahwa hidup kita ini penuh keteraturan, ada yang mengatur, tidak ada yang keliru bagi Allah. Dan ingat, kita tidak pernah salah terlahir dari siapa dan dimana. Ketika kita sadar, maka Allah akan berikan hikmah. Dan hikmahnya ini masyaaAllah jika kita renungkan. Setiap diri kita bisa menggali masing-masing.
Penutup
Ini menjadi reminder diri, sebagai penutup. Quotes dari salah satu halaman buku ini. Mudah-mudahan kita senantiasa dalam petunjuk dan rahmat Allah ya.
“Agar ujian terasa ringan oleh engkau harus mengetahui bahwa Allah-lah yang memberimu ujian. Dzat yang menetapkan beragam takdir atasmu adalah Dzat yang selalu memberimu pilihan terbaik.“
Ibnu Atha’illah as-Sakandari