Dalam Islam, Allah Subhanahu Wa Ta’ala ingin hambanya tampil sebagai pribadi mulia. Maknanya adalah mulia sebagai orang kaya yang gemar bersedekah, mulia sebagai orang miskin yang pantang meminta-minta. Kita melihat hari ini, beberapa orang memilih untuk menjadi orang yang mudah meminta-minta meski dirinya mampu, padahal Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa meminta-minta padahal dirinya tidak fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (H.R Ahmad)
Perilaku meminta-minta itu bukan hanya dominasi orang tidak mampu, karena kalau itu merupakan perilaku dan itu merupakan sebuah kebiasaan dalam hidupnya. Maka perilaku meminta-minta itu bahkan ada di orang-orang yang berharta. Ada di sifat itu dimiliki oleh orang-orang yang kaya hartanya, banyak kekayaannya luar biasa tetapi mentalnya adalah mental pengemis.
Bayangkan itu ketika dia di level besar sebuah negeri. Bahwa sesungguhnya negeri ini adalah merupakan sebuah negeri yang besar dan kaya. Sayangnya akan tetapi kemudian karena pemimpinnya umpamanya memiliki mental peminta-minta. Maka yang terjadi, dia tidak akan pernah besar dan menjadi memilih negeri yang tidak memiliki ‘izzah, tidak memiliki kemuliaan dan harga diri.
Karenanya Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam mengingatkan betul, agar menghindari meminta-minta itu dan memberikan contoh yang luar biasa di hadapan para sahabatnya dan di hadapan kita sebagai umatnya agar menjauhkan diri dari hal meminta-minta.
Bisa kita lihat, dalam kehidupan sehari-hari kita sering dihadapkan oleh seseorang yang sesungguhnya mampu tapi rela menjatuhkan kemuliaan dirinya untuk menjadi seorang peminta-minta. Hal ini pula yang pernah dirasakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Lalu bagaimana cara Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menghadapi seorang peminta-minta?
Inilah kisah lengkapnya.
Cara Rasulullah Menghadapi Seorang Peminta-Minta
Suatu hari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam kedatangan seorang pengemis dari suku ansor laki-laki tersebut masih muda secara fisik, terlihat mampu melakukan banyak hal, sehat dan tidak sakit.
Inilah yang dicontohkan Nabi di zaman beliau. Karena ketika Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam pada suatu hadits, didatangi oleh seorang anak yang masih muda, anak Madinah masih muda, badannya masih sehat. Kemudian dia meminta karena tidak punya makanan, dia lapar, dia minta-minta makanan. Kemudian Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam mengatakan, “Apa kamu tidak punya sesuatu di rumah yang bisa kamu jual?”.
Dia mengatakan, “Ada ya Rasulullah, hanya ada kain, kain yang itu kadang kami pakai. Kadang-kadang kami pakai untuk untuk gelar di bawah, kadang juga sebagai baju. Dan satu lagi adalah bejana tempat kami minum. Hanya itu yang saya punya di rumah.”
Kata Nabi, “Kamu pulanglah, bawa itu kesini.”
Maka disini kita bisa melihat bagaimana Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ingin memberikan terapi tentang sebuah penyakit sosial. Yaitu kebiasaan atau perilaku mengemis.
Meski larangan tentang pengemis atau meminta-minta itu tegas, Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam menyikapinya dengan bijak.
Kita bisa melihat, Nabi ini bisa saja langsung diberi oleh sahabat lain. Akan tetapi hal itu tidak mendidik karena anak ini masih kuat fisiknya.
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berkata, “Laa tahillu as-shadaqatu lighaniyyin illa likhamsatin; lighaarin fi sabilillahi aw li’aamilin alaiha aw lighaarimin aw lirajulin lahu jaarun miskiinun fatashaddaqa alal-miskini fa-ahdal-miskinu lighaniyyi,”.
Yang artinya, “Tidak halal sodaqoh untuk orang kaya, kecuali lima; yakni yang berperang pada jalan Allah, atau yang menjadi amil zakat, atau yang mempunyai tanggungan utang, atau yang mempunyai tetangga miskin lalu diberikannya sodaqoh itu kepadanya, lalu orang miskin itu memberikan sodaqoh kepada orang kaya,”.
Kata Nabi, kita tidak boleh memberikan sodaqoh kepada :
- orang yang berkecukupan.
- juga tidak boleh diberikan kepada orang yang fisiknya yang masih kuat, mengapa?
dia masih bisa berusaha dia, masih bisa mencari harta, sehingga tidak boleh diberikan pada mereka.
Nah, ketika anak muda itu fisiknya masih kuat, maka tidak boleh dia mengemis. Anak muda ini masih bisa berusaha, maka Nabi minta dia berusaha. Maka, tidak diambil lah dua barang yang tidak berharga itu, kemudian Nabi berkumpul dengan para sahabat dan Nabi melelang barang yang tidak diperlukan dan tidak berharga itu.
Barang itu dilelang oleh Nabi, kata Nabi, “Siapa yang mau membeli barang ini?”
Ada seorang sahabat mengatakan, “saya beli satu dirham Ya Rasulullah.”
Itu uang sangat kecil sekali.
Kata Nabi lagi, “Adakah yang membeli lebih dari satu dirham?”
Udah begitu itu, Nabi berkata sampai tiga kali. Artinya apa? itu barang memang tidak berharga.
“Siapa yang membeli lebih dari satu dirham?”
“Siapa yang membeli lebih dari satu dirham?”
Hingga akhir, “Siapa yang membeli lebih dari satu dirham?”
Kemudian ada seorang sahabat mengatakan, “saya beli dengan dua dirham yaa Rasulullah.”
Kata Nabi, “ambil barangnya.”
Kemudian diambil uang dua dirham, dan uang itu diserahkan kepada anak muda itu. Dan kalimat berikutnya menarik. Sebab menarik karena inilah program dari Rasulullah. Program pengentasan pengemisan, agar tidak ada lagi orang orang-orang yang sesungguhnya tidak boleh mengemis kemudian mengemis.
Apa yang dilakukan oleh Nabi?
Kata Nabi, “ini dua dirham ini sebagian belikan makanan untukmu dan keluargamu. Dan sebagian belikan kampak (alat, senjata untuk memecah kayu).”
Anak muda Ansor itu menuruti nasehat dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, dengan membelikan makanan satu dirham untuk keluarganya dan satu dirhamnya lagi dibelikan kapak untuk peralatan bekerja.
Maka seorang anak muda itu menuruti perintah Nabi, membelikan makanan bagi dia dan keluarganya. Kemudian dia membawa kapak, dan datang lagi ke Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Kata Nabi kemudian, “Pergilah cari kayu, kemudian jual kayu itu ke pasar. Carilah kayu itu dan juallah ke pasar. Dan aku tidak mau melihatmu 15 hari lamanya.”
MasyaaAllah, luar biasa ada banyak pembahasan disini. Tentang bagaimana Rasulullah memberikan panduan detail. Karena :
- mungkin sudah lama dia tidak tahu caranya mencari uang dengan sulitnya keadaan.
- dia juga tidak mengerti tentang cara teknis waktunya, dan bagaimana materi terkumpul. Maka dibuatkan panduan kecilnya itu, sampai kemudian Rasul saw memberikan waktu 15 hari lamanya.
Lima belas hari berikutnya, datang anak muda itu dan sudah membawa uang beberapa dirham, yang dia belikan baju, dia belikan berbagai macam hal kebutuhan didalam hidupnya. Begitulah cara Rasul memandu untuk pengentasan kemiskinan dan tidak boleh ada yang mengemis. Inilah yang seharusnya menjadi panduan kita dalam menghadapi orang-orang yang merendahkan dirinya dengan cara meminta-minta.
Bahkan, para Sahabat Rasulullah, mereka orang yang bisa jadi tidak punya kemampuan (harta). Akan tetapi mereka tidak mau mengemis karena mereka punya harga diri, yang oleh ayat disebut sebagai orang-orang yang mengira mereka mampu. Kebanyakan mereka sampai menduga bahwa orang ini adalah orang yang berkecukupan, bahwa mereka tidak pernah mengemis, tidak pernah minta-minta dengan memaksa kepada orang lain, kepada manusia. Dalam Albaqarah : 273.
لِلْفُقَرَاۤءِ الَّذِيْنَ اُحْصِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْبًا فِى الْاَرْضِۖ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ اَغْنِيَاۤءَ مِنَ التَّعَفُّفِۚ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمٰهُمْۚ لَا يَسْـَٔلُوْنَ النَّاسَ اِلْحَافًا ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ ࣖ
273. (Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui.
Itu artinya bahwa ketika orang-orang mulia hadir di sebuah masyarakat bahkan mereka berkebutuhan atau mereka punya keperluan sekalipun, mereka tidak ‘menjual’ kemiskinannya. Hentikan menjual kemiskinan itu, karena itu merendahkan jiwanya.
Dalam ayat di atas ‘ مِنَ التَّعَفُّفِۚ’ adalah sebuah rasa jiwa, dimana dia menjaga kehormatan dirinya dengan tidak menemukan-minta.
Maka ketika anak muda tadi datang ke Rasul kemudian menunjukkan bahwa ternyata bisa juga punya uang beberapa Dirham. Kemudian nabi mengatakan sesuatu, baru diberikan nasehat oleh Nabi saat itu. Maka, dalam hal ini, nasihat ini diletakkan di belakang, berikan dulu panduannya, berikan programnya dan nasihat diberikan di belakang.
Apa nasihat Nabi pada pemuda itu?
Kata Nabi, “ini lebih baik dibandingkan nanti kamu di akhirat kamu datang dengan titik hitam di wajahmu.” Yaitu dan efek dari dari mengemis itu.
“Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya”
(HR. Bukhari no. 1474, Muslim no. 1040 )
Bahkan generasi Mulia terdahulu mempunyai cara agar mereka tidak menjadi seorang peminta-minta. Yaitu mereka melawan sifat itu, supaya tidak menjadi atau punya perilaku meminta-minta dengan cara memberikan derma. Dengan berbagai macam cara, baik dengan sodaqohnya, dengan infaknya, dengan wakafnya, itu semua adalah dalam rangka supaya menaikkan derajat jiwanya, menjauhkan dari kebiasaan rendah dan mengemis.
Maka harus dibiasakan dan dilatih generasi ini, untuk :
- dia terbiasa berbagi pada orang lain,
- untuk bahkan dia berpikir tentang umatnya, apa yang bisa dipersembahkan untuk umatnya.
Bukan bagaimana dia memeras umatnya (naudzubillahimindzalik).
Kisah Teladan dari Abu Bakr Ash-Shiddiq
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan Abu Bakar keduanya bukan hanya sebatas sahabat, melainkan ada hubungan menantu dan mertua karena Aisyah radhiyallahu anha, Putri Abu Bakar menikah dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Kedekatan tersebut membuat hubungan antara Rasulullah dan Abu Bakar tidak berjarak, mereka sering berdiskusi dan bertukar pikiran bahkan Rasulullah menyampaikan keinginannya untuk hijrah ke Madinah kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Saat itu, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam di siang hari dan dalam keadaan terik Mekkah. Kemudian Nabi SAW menutupi wajahnya mengendap-endap di siang hari karena itu bukan kebiasaan Nabi bertamu di siang hari. Nabi datang siang hari ke rumah Abu Bakar walaupun Nabi bisa dipastikan hampir setiap hari datang ke rumah Abu Bakar tapi tidak di siang hari, karena waktu istirahat.
Tapi kali ini di siang hari karena ternyata Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ingin membicarakan pembicaraan yang rahasia, karena Nabi ketika masuk rumah Abu Bakar Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan, “keluarkan semua yang ada dalam di rumahmu.”
Kemudian Abu Bakar mengatakan, “Ya Rasulullah hanya ada Aisyah. Keluargamu.”
Maka kemudian kata Nabi, “kalau begitu tidak masalah.”
Karena Nabi ingin berbicara tentang rencana hijrah beliau, beliau mengatakan, “Abu Bakar, Allah telah mengizinkan untuk hijrah.”
Abu Bakar bahkan menangis saat itu dan bertanya, “Yaa Rasulullah, apakah ini artinya aku akan menemanimu dalam hijrah?”
Nabi mengatakan, “Iya.”
Maka menangis Abu Bakar karena bahagia dan kemudian Abu Bakr mengatakan, “Ya Rasulullah nanti kita akan menggunakan dua kendaraan saya. Saya punya dua kendaraan dan salah satunya aku berikan kepadamu.”
Lalu bagaimana sikap Rasulullah atas pemberian Abu Bakar tersebut?
Tentu saja Rasulullah menolak pemberian Abu Bakar, justru Nabi menanyakan kepada Abu Bakar berapa harga kendaraan tersebut agar ia dapat membayarnya di kemudian hari.
Nabi mengatakan, “Tidak wahai Abu Bakr, tetapi saya akan membayarnya berapa dulu. Berapa dulu harga beli saat kamu membelinya, maka aku akan bayar seperti itu.”
Dan kemudian Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam membeli nanti ketika sampai di Madinah, baru nabi membeli harga kendaraan yang disebutkan itu adalah unta. Waktu itu Allah memberitahukan, mengatakan harganya 800 dirham. Dan itu dikeluarkan diberikan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada Abu Bakar As Siddiq. Itu adalah untuk menjaga jiwa seseorang dari sifat mengemis, yang ada adalah dia tidak tergantung pada harta orang lain.
Walaupun nanti Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam sesungguhnya menerima terkait dengan hadiah. Nabi menerima hadiah, tidak ada masalah dengan itu. Akan tetapi terkadang Nabi SAW juga menolaknya seperti kisah penolakan Nabi terhadap hadiah Abu Bakar. Karena itu adalah bagian dari cara mendidik jiwa agar tidak selalu tergantung pada harta orang lain.
Para Sahabat Rasul Pantang Meminta-Minta
Pantang untuk meminta-minta merupakan prinsip dasar para sahabat. Salah satunya adalah Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sekalipun kondisinya mengkhawatirkan, sang periwayat hadis termasyhur dalam sejarah ini kemudian pantang menjatuhkan kehormatannya dengan meminta-minta.
Tokoh-tokoh besar dalam Sejarah Islam termasuk diantaranya adalah ada sahabat mulia yaitu Abdurrahman ibn Sakhr Ad-Dausi atau biasa kita lebih mengenal dengan nama Abu Hurairah. Beliau yang telah menjadi tokoh besar didalam periwayatan hadis. Beliau yang menjadi periwayat hadist terbanyak yang meliputi jumlah hadis 5.374 riwayat, beliau sebagai perawi hadist terbanyak.
Abu Hurairah menuntut ilmu, belajar pada Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan dia bercerita bahwa suatu hari dia ada didalam raudhoh, di samping mimbar Nabi SAW, kemudian tiba-tiba dia pingsan. Kemudian Abu Hurairah bangun, kemudian pingsan lagi. Kemudian saat terbangun, dia berkata, “orang-orang menduga saya punya penyakit. Padahal demi Allah saya bukan sakit tetapi saya pingsan ini karena lapar.”
Bisa kita bayangkan menuntut ilmu di zaman itu seperti Abu Hurairah, sampai pingsan gara-gara lapar. Tapi tidak membuat Abu Hurairah kepada orang-orang yang saat itu menemuinya pingsan dengan ungkapan mendramatisir, tidak berbicara berlebihan. Merasa biasa saja, seperti yang perlu sekedar makan untuk menguatkan dirinya.
Jaga Kemuliaan Keluarga dari Meminta-Minta
Selain menjaga kemuliaan diri sendiri dari perilaku meminta-minta, kita juga bisa menjaga kemuliaan anggota keluarga dari perilaku meminta-minta. Caranya dengan meninggalkan harta kepada ahli waris seperti nasihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam kepada Sa’ad bin Abi Waqqash. Ini Kaidah penting dari Nabi untuk para Ayah atau para orangtua.
Suatu hari Nabi menjenguk Sa’ad bin Abi Waqqash yang sedang sakit keras. Waktu itu muslimin sudah hijrah ke Madinah, dan muslimin menaklukkan kota Mekkah 8 Hijriyah, kemudian Sa’ad Abi Waqqash sakit keras dan dijenguk oleh Rasulullah. Sa’ad merasa bahwa sakit keras ini sepertinya adalah sudah mendekati hari terakhirnya di dunia. Maka dia berkonsultasi, berkata dan menyampaikan pesan ke Rasulullah, “saya ini punya harta banyak tetapi saya hanya punya seorang putri yang akan mewarisi harta yang banyak ini. Maka apakah boleh saya infakkan 2/3 harta saya?”
Kata Nabi, “jangan.”
Saad melanjutkan, “kalau begitu 1/2 ya Rasulullah?”
Kata Nabi, “jangan.”
Saad melanjutkan, “kalau begitu 1/3nya ya Rasulullah?”
Kata Nabi, “boleh 1/3 dan 1/3 itu sudah banyak.”
Kemudian kata Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, “Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada sesama manusia. Sesungguhnya apa yang kamu nafkahkan dengan maksud untuk mencari ridha Allah pasti kamu diberi pahala, termasuk apa yang dimakan oleh istrimu.”
Dalam hal ini Rasul memberikan pelajaran mahal kepada kita melalui Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa para orang tua silakan berinfaq sebanyak-banyaknya. Akan tetapi berpikirlah juga tentang apa yang bisa kita tinggalkan untuk generasi kita. Agar mereka itu tidak dalam keadaan bergantung kepada orang lain, berharap pada harta orang lain atau mengemis kepada orang lain.
Kita juga bisa melindungi diri dari rasa meminta-minta itu dengan doa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ
“Ya Allah … aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak merasa puas, dan dari doa yang tidak didengar (tidak dikabulkan).” (HR. Abu Dawud no. 1548, An-Nasa’i no. 5536, dan Ibnu Majah no. 3837. Hadits ini shahih.)