MINIMALISM

Love the Home you Have

Mengapa ‘Love’ the Home

Setiap diri kita, pasti tinggal di atas permukaan bumi yang apapun bentuknya, itulah ‘rumah’. Entah masih ngontrak, masih ikut ortu, ikut mertua, tinggal di mess, kos-kosan, rumah sendiri, apapun itu. Itulah home. Tempat dimana kita hidup dan menghabiskan waktu setiap hari.

Hanya saja, seringkali kita ‘lupa ingatan’ untuk mensyukuri. Kenapa? ya, fenomena sosial media dan tayangan iklan yang luar biasa, terkadang membuat kita tak mampu berpikir realistis dan romantis. Biasanya pengennya malah mengisi rumah dengan sesuatu yang memang tidak dimiliki, belum dimiliki dan mustahil dimiliki. Jatuhnya, ya… tak mampu menyaksikan rumah tinggal sepenuh hati. Rumput tetangga tampak lebih hijau. Padahal belum tentu juga punya tetangga yang rumputnya hijau, kebanyakan mah, tetangga sosial media. Huhuhhu.

Untuk bisa hidup bahagia, mulai dari apa yang kita punya. Sederhanaya, dimulai dengan mencintai rumah, hunian tempat tinggal kita. Kenapa rumah?

Ya, terkadang kita merasa perlu hiburan di luar rumah padahal hiburan yang sejati justru ada di dalam hunian kita ini. Rumah dan hunian yang menaungi 24 jam itulah yang seharusnya kita rawat, dengan cinta dan menjadi bagian dari bentuk tanggung jawab atas nikmat-Nya. Ya, teorinya memang demikian, walau faktanya terkadang tak sejalan.

Dulu, karena saya berpindah-pindah tempat kontrakan hingga 6,5 tahun membangun rumah tangga, rasanya sulit sekali mencintai rumah yang saya tempati. Terasa tidak memiliki, karena miliknya ibu kontarakan, merasa tidak berhak, serta selalu melihat segala kekurangan setiap sudutnya, ia selalu mengintai untuk tidak disyukuri. Hal itulah yang membuat saya lelah dan letih setiap hari membenahi. Apalagi saat duduk-duduk, berselancar tenggelam di jagat media sosial, menyaksikan rumah para selebgram dan artis yang bak etalase Ikea, rasanya aduhai, ingin sekali seperti itu. Namun kembali ke realita, kalau dituruti ya paling bisa dompet menjerit dan bibir tergigit. Tak nyaman jika dipaksakan demikian.

Seiring waktu berjalan, saya mulai berdamai dengan diri sendiri bahwa seperti apapun hunian itu, saya bisa berlindung didalamnya dan beraktifitas dengan nyaman, maka sudah cukup. Bahkan jika terkadang merasa tak nyaman pun, setidaknya saya tidak tidur di jalanan, itu sudah lebih dari cukup. Ada masanya mengeluh karena kebanjiran, bocor dan segala rupa drama dari kontrakan yang ada, setelah saya lalui kini, ternyata tak sebanding dan tak ada apa-apanya dengan upaya saya menciptakan impian. Rasulullah mengajarkan untuk perkara dunia, lihat yang ada di bawah kita.

Kuncinya, LOVE.

Jika kita ingin membangun rumah impian, kita harus menciptakannya terlebih dahulu. Ya, kuncinya ada pada diri pribadi, apakah kita punya impian (jangka panjang). Apakah kita punya motivasi yang abadi?

Paling afdhol bagi saya adalah mempunyai impian jauh hingga ke negeri akhirat nanti. Maka, bekerjasama dengan mimpi-mimpi hari ini serta diiringi ikhtiar dengan menata hunian, entah ngontrak atau masih menumpang, itu sungguh penting sekali. Bahkan sebelum memulai hal lain, sebaiknya kita mencintai impian kita dengan mencintai tempat tinggal itu sendiri. Bersyukur.

Dari buku yang berjudul ‘Love the Home you Have’, saya banyak belajar memaknai rumah dengan cinta. Sebab melalui cinta, akan muncul kasih sayang serta kesederhanaan hidup. Dari kesederhanaan itu, saya bisa menciptakan suasana yang lapang untuk seluruh penghuni rumah, terutama anak-anak.

Aksi nyatanya adalah >> Mari kita mulai dengan mempertebal syukur .

Bagaimana Caranya?

Mungkin kita belum bisa mengubah rumah kita dan isinya, namun sesungguhnya kita bisa kok menggonta-ganti suasananya. Karena suasana sebuah rumah dikendalikan oleh pikiran dan hati penghuninya.

Home is in the heart of the beholder.

Terkadang, justru kebahagiaan kita itu sebenarnya, ya ada di depan mata kita, meskipun saat ini kita berada di rumah yang belum sesuai harapan. Misalnya saya yang baru pindahan ke @rumahtumbuh2021 kemarin. Terasa banget rumah baru yang nampak masih porak poranda, belum 100% bangunan sesuai disain karena keterbatasan budget. Maka, saya melihat sisi lain, sudut lain yang sudah mampu kami selesaikan. Ucapkan Alhamdulillah, penuh syukur sebab telah melampauinya.

Menurut Frederick Keonig, seringnya kita lupa bahwa kebahagiaan itu bukan karena kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita punya, tapi karena kita selalu menghargai apapun yang sudah kita miliki.

Menurut buku ‘Love the Home you Have’ karya Melissa, untuk permulaan, ada 3 hal yang dapat dilakukan untuk mulai menumbuhkan rasa cinta terhadap rumah yang sedang kita tempati :

  1. Buatlah sebuah daftar berisi minimal 3 alasan yang membuat kita bersyukur atas rumah yang kita tinggali.
  2. Mulailah sebuah tradisi yang unik dan menyenangkan di rumah. Misalnya : bersama keluarga setiap sebulan sekali mengadakan camping kecil-kecilan atau memasak menu enak dengan budget yang sudah ditabung bersama. Biasanya saya melakukan hal ini di saat ada rezeki yang lumayan. Bisa mengajak tetangga sekitar juga. Apalagi suami saya, suka sekali memasak, bertemu pula dengan grup tetangga yang bapak-bapaknya hobi masak dan berkebun, klop sudah! Hampir setiap bulan bahkan tiap pekan kalau tidak ada pekerjaan, selalu mereka isi dengan kegiatan memasak bersama dan makan bersama.
  3. Tuliskan tentang 1 buah area di rumah kita yang paling kita senangi. Berikan alasan kenapa kita suka sekali dengan bagian itu.
    Kalau saya pribadi, menyukai area rak buku dan meja kerja karena di sana saya bisa mengetik lama-lama. Sementara suami saya menyukai area kebun, dan anak saya menyukai area dapur karena suka memasak.

Inti dari ketiga kegiatan di atas adalah berusaha melihat rumah kita dari sudut pandang perasaan positif kita. Selain itu, pada kegiatan no.2 hal tersebut dilakukan untuk membuat kenangan yang indah di rumah itu.

“This home is yours to nurture and cherish in whatever ways you can right now. Even if you won’t live here forever, you can make the best of the time you have in this house. You can live to the full while you are here”
Let’s love the home we have.

Simple Living, Simplify Our Live

Setelah menyukai atau mencintai rumah sendiri alias hunian kita, maka selanjutnya ada pada style pola hidup yang membuat hati nyaman dan tenang, yaitu hidup sederhana.

Hidup sederhana menurut saya bukan semata hidup yang apa adanya, minim barang dan perabotan, calm and stay behave, melainkan paling utama adalah menyederhanakan segala bentuk ‘clutter’ yang tak mengenakkan dan tahu bagaimana mengatasinya. Well, simple living dimulai dari berbenah fisik, benahi barang hingga tak ada clutter yang menggerahkan memang, tapi bukan berarti berhenti sampai di sana.

Hidup sederhana pasti membuat kita sekeluarga merasa nyaman, cukup. Tak memiliki keterikatan terhadap benda dengan ‘sebegitunya’ sehingga fokus pada aktifitas dan produktifitas utama, itulah yang kami rasakan sebagai orang tua. Pun dengan anak, karena anak saya tak memiliki banyak mainan, otak kreatifnya semakin hari semakin terasah. Anak saya tak kebingungan dan bete walau tak memegang mainan di tangan sebab apa saja bisa dia mainkan bahkan imajinasinya sendiri.

Ya, simple living make simplify childhood. Walau tak instan, namun setiap langkah berbenah itu dirutinkan dan dijadikan kebiasaan. Sejatinya, itulah yang akan menjadi karakter kelak, keteraturan.

Ada beberapa hal yang kami lakukan di rumah untuk menciptakan suasana yang sederhana. Selain hidup minimalist yang dalam perjalanannya saya simpan di sini, juga mempraktikkan simple parenting yang pernah juga saya tulis di sini dan di sini.

Hal yang kami sederhanakan dan kami lakukan meliputi :

  1. Menyederhanakan rumah (mendisain rumah yang ‘family centric’ dimana seluruh ruangan adalah area aktif, tak ada istilah gudang dan tumpukan barang di pojokan).
  2. Menyederhanakan pakaian (hanya menyimpan pakaian yang benar-benar digunakan, jumlahnya tidak terlalu banyak).
  3. Menyederhanakan mainan (ini sudah jelas, sebab permainan menurut anak, adalah aktifitas, bukan benda).
  4. Menyederhanakan pola makan dan menu makan. Kami memasak berdasar bahan yang ada dan sebisa mungkin home made. Saat proses memasak pun demikian, menggunakan alat masak yang sehat, bahan baku yang fresh dari kebun atau beli saat itu juga, meminimalisir food waste dari awal belanja hingga menyajikan dengan alat makan yang sederhana dan sehat.
  5. Menyederhanakan pola asuh, parenting. Sebab begitu banyak teori bertebaran biasanya menjadikan kepala berpersepsi parenting is too heavy, padahal tidak demikian jika tahu akarnya.
    Saya pribadi belajar untuk membongkar mental diri untuk lebih mindful dengan fokus pada teknik mental unload. Sehingga pengasuhan yang didapat dan dirasakan nanti yang less fear, less rush, less distractions dan less refereeing.

Beberapa hal yang bisa dipraktikkan setelah menyederhanakan semua, yaitu membentuk kebiasaan rutin harian. Ini masih saya pelajari, untuk menjadikan waktu saya plannable dibandingkan banyak waktu yang reactive (acak). Karena hidup sederhana bukan hanya soal fokus pikiran terhadap hal yang esensial, melainkan juga kepedulian diri kita terhadap waktu serta lingkungan. Saat ini saya pun masih terus belajar untuk peduli terhadap waktu, lingkungan sekitar, alam dan sosial. Karena ‘home is right where you are‘, maka inilah saatnya menjadikan rumah sebagai ladang pahala, bertabur cinta dan suasana yang penuh bahagia.

Ingat bahwa setiap energi yang ada pada diri kita, bermula dari motivasi dan cita-cita, maka rumah adalah ruangan yang menjadi laboratorium yang seharusnya kita jaga dengan suka cita.

Akhir kata, love the home you have, with simple living for your simplify life.

Bibliografi

  1. Buku ‘Love the Home you Have’ karya Melissa Michaels.
  2. Rabukurapi Gemar Rapi.
  3. Simple Families Foundation by Denaye Barahona.

1 thought on “Love the Home you Have”

Tinggalkan Balasan