DAILY INSTITUT IBU PROFESIONAL LITERASI

Membangun Lingkungan yang Inklusif Melalui Literasi

Pada hari Selasa, 14 Maret 2023, saya mengikuti acara talkshow melalui jalur undangan dari Lumbung Ilmu Ibu Profesional. Informasi itu saya dapat dari Ceu Rini di grup pengurus Rumah Belajar Menulis IP Bogor, yang memang tahun ini saya handle. Hari itu juga, ada agenda MTA di grup whatsapp Rulis, namun masih bisa disambi. Kalau mau menonton tayangan ulang acara talkshow, bisa cek di link youtube ini >> https://www.youtube.com/live/0n6MohFz70Q?feature=share

Mengapa saya mengikuti acara ini?

Sejatinya ini sebagai penguatan, ya, sebagai seorang penulis tentu terkadang ada rasa ogah-ogahannya. Hal ini terjadi jika sedang terputus koneksi diri dalam hal kepenulisan. Nah, salah satu cara yang saya lakukan, biasanya akan menyimak para penulis lain yang sedang berbagi di berbagai ruang media. Dari sana, akan muncul dengan sendirinya bahwa ‘kita tidak sedang sendiri’ dalam mengatasi kejenuhan menulis. Maka dari itu, saya hadir. Selain itu, karena ini link zoomnya saya dapatkan langsung dari tim LI pusat yang di Rulis, maka sebagai undangan tentu akan lebih baik memenuhinya sepanjang tidak ada uzur, adabnya demikian kan ya?

Oke, langsung aja ke inti sari acara.

Pembicara pertama, Mbak Zakiyah Darojah.

Antara : Tangguh, Berdaya, Berkarya, dan Ber-Literasi

Kenapa praktisi lumbung ilmu mengangkat tema perempuan tangguh?

Karena di lumbung ilmu, tema yang sedang diangkat adalah terkait dengan bagaimana menjadi keluarga yang memiliki ketahanan. Yaitu ketahanan keluarga yang termasuk didalamnya otomatis perempuan sebagai ibu, sebagai istri, juga sebagai diri sendiri yang seharusnya memiliki sifat tangguh terlebih dahulu sebelum nantinya membangun ketahanan keluarganya.

Kalau dari KBBI, tangguh diartikan sebagai kuat, tabah, andal dan juga tahan.

Sedangkan berdaya adalah berkekuatan, berkemampuan, bertenaga mempunyai akal untuk mengatasi sesuatu.

Dan berkarya itu artinya mempunyai pekerjaan tetap, berprofesi dan juga mencipta.

Nah literasi, kalau menurut bahasa artinya orang yang belajar. Dan secara istilah itu banyak sekali.

Menurut Ellizabeth Sulzby, literasi adalah kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi ‘membaca, berbicara, menyimak dan menulis’ dengan cara yang berbeda sesuai tujuannya.

Dan menurut Education Development Center (EDC), pengertian literasi adalah kemampuan seseorang dalam memakai potensi yang dimilikinya, dalam hal ini kemampuan yang dimaksud tidak hanya kemampuan baca tulis saja.

Jadi, yang namanya literasi itu, meliputi membaca, menulis, berbicara, mendengar. Dan mendengar disini dalam artian lebih kepada menyimak, kita belajar melalui pendengaran kita. Jadi setiap yang kita lakukan sehari-hari sebenarnya itu terliputi didalam literasi semua, baik kegiatan kita didalam rumah tangga, kegiatan kita didalam pekerjaan, kegiatan kita didalam berorganisasi, itu semuanya sebenarnya terliputi dalam literasi.

Jadi, kalau ada yang bilang ‘saya enggak suka literasi’, nah sebenarnya kita tuh dalam sehari-hari sejatinya sudah berliterasi. Tinggal bagaimana kita menjadikan apa yang sudah kita pelajari itu nantinya itu kita olah, menjadi apakah? itu PR kita selanjutnya.

Hubungan Literasi dengan Perempuan Tangguh

Hubungannya apa antara literasi dengan perempuan tangguh?

Sebenarnya hubungannya baik-baik saja antara keduanya itu. Nah maksudnya disini kita bisa menjadi perempuan tangguh melalui karya di dalam literasi itu.

Perempuan tangguh itu meliputi banyak aspek. Disini, Mbak Zaki hanya mengambil intinya, yaitu tangguh secara mental dan juga tangguh secara finansial.

Tangguh Secara Mental

Secara mental ini tuh sangat penting. Sebagai perempuan, sebagai ibu, sebagai istri, banyak sekali perannya. Karena mental ini tak nampak. Mungkin ya, secara penampilan itu baik-baik saja tetapi secara mental itu mungkin ada sesuatu yang perlu dibenahi, bisa jadi ada sesuatu yang kosong. Makanya banyak istilah ‘biar enggak cepat oleng’, ‘biar tetap waras’ dan sebagainya (itu bahasa-bahasa berkaitan dengan mental).

Menurut WHO, sehat mental memiliki ciri-ciri :

  1. kita mengenali potensi diri kita.
  2. mampu mengatasi stres kita sehari-hari, karena stres ini bisa menjadi berbagai faktor dan itu bisa ujug-ujug kita tidak memprediksinya, kemungkinan sekarang kita baik-baik saja, nanti malam ada kejadian apa kita enggak tahu. Intinya fluktuatif, hari ini kita baik-baik saja, besok ada apa, kita enggak tahu. Nah ini kemampuan mengelola stress itu menjadi indikator bahwa kita sehat secara mental.
  3. kita produktif, produktivitas kita ini yang menjadi salah satu kriteria bahwa kita memiliki kesehatan mental. Barangkali di antara kita tuh ada yang merasa tidak bermakna, merasa tidak berdaya, merasa tidak utuh gitu dirinya. Maka, itu tidak tidak sempurna kayak gitu, sebabnya mungkin salah satunya di sini karena belum mengoptimalkan produktivitas dirinya. Maka, ini menjadi salah satu indikator ketika kita produktif berarti kita memiliki mental yang sehat.
  4. bermanfaat bagi orang lain. Nah, naluri kebermanfaatan itu sebenarnya naluri setiap orang sehingga ketika kita tidak memberikan manfaat kepada orang lain itu kayak ada yang kosong, kayak ada yang belum genap gitu ya kalau bahasa Jawanya. Sebab masih ada ruang yang belum terisi.

Nah, ketika kita memiliki keempat hal ini Insyaallah kita secara mental, sehat. Ketika ada satu di antara empat poin ini yang mungkin kita belum penuhi, di situ masih ada lubang, di situ kemungkinan masih ada sesuatu yang membuat kita mudah untuk tidak waras, mudah untuk oleng, mudah tersulut, mudah baper kayak gitu.

Perempuan yang Berdaya

Nah, perempuan yang sehat secara mental adalah perempuan yang memiliki konsep diri atau konsep yang positif. Konsep adalah cara dan sikap seorang individu dalam memandang dirinya sendiri. Nah, kita memandang diri ini banyak positifnya atau banyak kekurangannya (indikatornya : banyak memandang di bagian mananya). Tentu jelas otomatis kita sebagai manusia pasti ada dua sisi, ada kekurangan dan ada kelebihan, tetapi biasanya orang yang memiliki konsep-konsep yang baik, dia percaya diri karena dia memiliki kelebihan dirinya itu, dia melihat dirinya itu lebih baik banyak kelebihannya. Tetapi kalau orang yang banyak melihat dirinya itu kekurangannya, pada akhirnya menjadi orang yang minder tentu akan sulit untuk mau berdaya. Biasanya banyak alasan dan sebagainya.

Ketika kita memiliki self concept yang baik, kita akan memiliki self ideal yang positif, self image atau citra diri yang positif, dan self Esteem atau harga diri yang baik.

Tujuan kita adalah kita sebagai perempuan memiliki konsep diri yang positif dengan self concept itu tadi.

Tangguh Secara Finansial

Tanpa disadari, yang sering membuat orang merasa tak berdaya itu apa sih? ya benar ketika dompet kita kosong. Mau keadaannya baik-baik saja atau jadi tidak baik-baik saja semua tergantung pada isi dompet, dan ini memang sangat penting dalam ketahanan keluarga, terutama kita sebagai perempuan.

Memiliki kesehatan finansial atau sehat finansial atau keuangan adalah kemampuan seseorang dalam menyeimbangkan kebutuhan finansial saat ini dan kebutuhan finansial di masa depan serta kemampuan seseorang untuk menghadapi hal-hal tak terduga dalam aktivitas keuangannya.

Kesehatan financial ini sangat penting karena ini sangat berpengaruh kepada kesehatan mental. Tentu otomatis keluarga kita akan lebih stabil jika kita memiliki kesehatan finansial yang baik.

Nah dari dua hal ketangguhan itu, tangguh secara mental dan tangguh secara finansial, kita gali lagi. Bisa enggak sih menjadikan bidang literasi sebagai suatu jalan tangguh mental dan finansial?

Literasi sebagai salah satu jalan, mungkinkah?

Mbak Zaki sebagai seorang praktisi di bidang literasi menceritakan hal ini, karena beliau sudah mengalaminya sendiri. Caranya melalui melihat kedalam diri, kita lihat punya potensi apa sih di literasi? Dan melakukan revolusi.

  1. Revolusi mental
    – mengenali potensi diri lewat literasi.
    Disini Mbak Zaki yang tidak memiliki background di bidang kepenulisan, sastra, mampu membuktikannya dengan cara terus melatih dan mengeksplornya sendiri hingga menjadi pembicara juga.
    – mampu mengatasi stres.
    yang dimaksud disini adalah literasi sebagai terapi. Mungkin kebanyakan kita sudah tahu bahwa menulis itu bisa jadi terapi writing for healiang), tetapi sudah seberapa banyak kita menjalankannya? membuktikannya?
    Contoh nyatanya almarhum Pak Habibie. Beliau, Pak Habibie ketika ditinggal oleh ibu Ainun, istri tercinta Beliau mengalami stress yang berat. Dan hampir depresi karena kehilangan separuh jiwanya. Nah sama dokternya disarankan untuk menulis, akhirnya beliau menulis yang pada akhirnya menjadi buku Ainun Habibie, yang akhirnya menjadi film yang sangat fenomenal.
    Memang menulis itu menjadi sarana untuk merilis segala kegalauan, stress yang ruwet didalam diri kita. Karena ketika kita menulis kita sedang mencurahkan sesuatu yang terpendam didalam otak dan hati kita ke dalam suatu bidang, yaitu kertas atau komputer. Dan itu sesuatu yang itu terpisah dari diri kita sehingga ketika kita yang tadinya merasa bahwa ‘kayaknya masalah itu jadi satu dengan diri kita’, dengan kita menulis masalah itu kayaknya keluar terpisah. Dan dia menjadi objek yang bisa kita amati, sehingga kita menjadi pengamat yang lebih luas kesadarannya dalam melihat masalah itu sebagai sesuatu yang bisa kita kendalikan.
    Nah, ketika kita tidak menuliskannya, kita tidak merilis masalah itu, jadi seolah-olah ‘bersatu’ dengan diri kita sehingga kita sulit untuk memisahkan diri dengan masalah itu.
    Inilah fungsinya ketika kita menulis apapun itu -ini tentu erat dengan aktivitas literasi- kita tuh menguraikan masalah kita, menjadikan masalah kita terpisah dengan diri kita sehingga dia menjadi objek yang bisa diamati. Dari sana, kita mendapatkan banyak pelajaran-pelajaran dari objek yang kita lihat itu yang tadi awalnya (terendap) ada di dalam diri kita.
    -menjadi produktif.
    Ini jelas betul sekali, karena ketika kita menggeluti di bidang literasi pada akhirnya banyak sekali karya yang kita hasilkan. Dan karya itu bukan hanya dari bentuk buku saja, tetapi apapun itu. Bisa platform digital, dari youtube-an, tiktok-an dan sebagainya. Medianya sudah lebih luas.
    -bermanfaat bagi orang lain.
    Ketika kita mau menghasilkan karya, ini artinya menjadikan karya sebagai legacy kita, sebagai sesuatu yang kita wariskan. Mungkin suatu saat kita udah enggak ada tapi karya kita masih bisa dinikmati oleh anak cucu kita.
  2. Revolusi Media Sosial
    Ini di masa sekarang, era media sosial, semua orang berhak untuk bicara. Entah kita tuh orang desa, entah orang kota, orang pinggiran, apapun kondisi kita saat ini, kita berhak berbicara.
    Jika dulu yang namanya orang bisa ngomong itu hanya orang yang berpendidikan, hanya orang yang memiliki jabatan dan sebagainya, yang mereka bisa ‘didengar’ gitu ya. Bahkan untuk menulis artikel di koran aja, penyaringannya ketat. Tetapi sekarang kita mau ngomong apa saja itu tuh bebas, dan ini adalah sebuah kesempatan yang besar buat kita untuk memiliki personal branding, ya kita menjual ‘diri’ kita.
    Jika dulu membuat satu buku, prosesnya lama, bisa satu tahun, hari ini di masa AI, artificial intelijen, mampu mempercepat proses itu. Kita bisa mencari artikel apa saja, tersedia. Tinggal bagaimana kekuatan diri untuk memanfaatkan era digital ini sebaik-baiknya.

Bagaimana proses berdaya dan berkarya melalui literasi?

  1. Miliki Value dari Strong Why
    Intinya adalah value penting apa yang kita miliki? karena ketika kita tidak memiliki value yang kita miliki, value yang sangat kuat maka kita akan kesulitan untuk bisa bertahan di bidang literasi ini.
    Dan value apa yang teman-teman miliki yang itu artinya adalah teman-teman pasti akan berjuang mati-matian sampai menghasilkan atau berhasil. Inilah yang biasa disebut dengan strong why.
    Jika strong why-nya enggak kuat, kita akan mudah menyerah di tengah jalan. Ini penting di bidang apapun itu. Misalnya ditolak penerbit mayor berkali-kali, tapi tidak mudah menyerah.
    Untuk memiliki strong why yang baik, ia akan memiliki dua hal. Atau ada dua sisi yang mesti kita punya untuk membangun itu.
    -kebahagiaan apa yang kita dapat ketika kita melakukan itu?
    -atau penderitaan apa sih yang kita pernah alami sehingga kita harus melakukan itu?
    Disini Mbak Zaki menceritakan pengalamannya ‘Zaki seorang anak desa yang bisa pergi ke Eropa, ini hal istimewa sehingga menceritakan kebahagiaan itu dalam buku berjudul : 40 hari keliling Eropa’.
  2. Materialisasi Ide
    Ketika mendengar ini, saya seolah sedang mengulang materi pembuka di kelas Kaizen Writing. Dulu, saya mengikutinya di angkatan pertama, kelas menulisnya Dee Lestari.
Ide memiliki sifat yang abstrak, dia berada di alam lain, bukan alam dunia yang real. Ide yang abstrak ini, dia tidak memiliki ruang dan waktu. Agar bagaimana si ide itu menjadi sebuah karya, sementara karya itu adalah sesuatu yang konkret -dan dia memiliki ruang dan waktu bisa dipegang, bisa dilihat, bisa didengar- maka si ide ini bisa melalui proses materialisasi menjadi karya, dengan jembatan.
Nah, jembatannya adalah malar kita, yang sudah dikasih aset oleh Tuhan (ter-default) berupa akal, nalar. Inilah yang kita harus kelol agar ide-ide yang selama ini mungkin muncul secara abstrak itu, mungkin hadir ketika kita lagi di toilet, mungkin muncul ide kita lagi mau tidur, yang kita upayakan agar ide itu tidak hilang maka nalar kita perlu dilatih. Biasanya orang yang memiliki nalar kuat, ia mampu menangkap ide dengan baik.
  • 3. Indikator Berdaya dan Berkarya
    kita mesti memiliki indikator kita sendiri, agar kita tidak membandingkan diri dengan orang lain dan agar kita bersyukur atas pencapaian itu sehingga memiliki konsep diri yang positif. Misalnya berupa karya, uang, validasi, hak paten, penghargaan, dll.

Pembicara Kedua, Wita Maulida

Membangun Lingkungan Inklusif Melalui Literasi

Kalau kata ibu Septi bahwasanya literasi, makna awalnya itu belajar. Jadi, literasi itu ada di setiap diri manusia. Mengutip dari ini di lamannya gerakan Ibu inklusif Ibu profesional, menurut KBBI inklusif itu terhitung. Sedangkan dari serapan bahasa Inggris inklusif berasal dari kata inklusif yang artinya mengikutsertakan, lawan katanya eksklusif yaitu memisahkan.

Mewujudkan lingkungan inklusif artinya upaya menempatkan martabat dan kemandirian individu sebagai model utama untuk mencapai kualitas hidup bermasyarakat yang ideal, masyarakatnya yang terbuka open mind, mengikutsertakan semua kelompok dari berbagai beragam kondisinya, latar belakang, baik dari itu kondisi fisik maupun mental.

Intinya akan membuat seseorang, semua orang terlihat spesial, Istimewa, tanpa membeda-bedakan.

Mengapa lingkungan inklusif penting bagi anak-anak?

Di Ibu profesional ini kita tahu bahwa setiap anak itu unik, dan agar anak terbiasa menghargai dan merangkul perbedaan, serta anak dapat mengembangkan sikap toleran dan empati.

Ketika mereka merasa berbeda, mungkin ada yang pernah merasa rendah, pernah merasa tinggi seperti orang dewasa. Oh ya memang dari mulai anak-anak inilah kita bisa memasukkan dan mengenalkan nilai-nilai inklusif karena sebenarnya anak-anak enggak pernah membeda-bedakan. Dan sejujurnya itu kadang orang dewasa di sekitarnya lah yang meng-kotakkan, membedakan, baik dari segi fisik ataupun ekonom secara sosial. Misalnya ketika di sebuah perkampungan ada ibu-ibu yang menjaga anaknya jangan main sama si A si B itu yang membuat anak membatasi dirinya sendiri.

Bahwasanya sosok terdekat dengan anak yaitu kita sendiri, ibunya. Disinilah kita berdaya. Mendidik dan mengenalkan lingkungan inklusif anak melalui literasi.

Bagaimana membangun lingkungan inklusif melalui literasi?

Definisi literasi sendiri bahwasanya dilihat dari tiga definisi diatas, semuanya mengacu pada proses belajar.

Apa yang kita baca, kemudian pengetahuan atau keterampilan bidang tertentu, dalam bentuk apa, media apapun itulah literasinya kita. Kemudian diiringi dengan kemampuan individu dalam mengolah informasi. Maka di sinilah makna proses belajarnya bahwasannya tidak hanya membaca, tidak hanya melihat, tapi kita juga dapat menyerap dan mengolah informasi tersebut.

Intinya, literasi ini bersifat unik dan universal, maka tidak bisa berdiri tunggal, tidak bisa hanya literasi baca tulis aja, literasi ini saling bersinambungan sehingga dapat mewujudkan tujuannya.

Selanjutnya, diisi dengan proses penulisan buku anak yang Mbak Wita hasilkan, bisa dilihat di video ya. Dan dilanjutkan sesi tanya-jawab.

Inti yang saya dapatkan dari kedua sesi pembicara adalah :

  1. Bahwa berkarya itu bisa dari apa saja, termasuk dari penderitaan kita.
  2. Literasi mampu membangun lingkungan yang inklusif.
  3. pentingnya validasi terhadap aktivitas literasi.
  4. Mengasah passion agar jiwa tidak kosong.
  5. Berkarya akan membuat diri kita berdaya.

1 thought on “Membangun Lingkungan yang Inklusif Melalui Literasi”

Tinggalkan Balasan