DAILY

Mengapa Homeschooling?

Banyak pertanyaan yang masuk ke pesan media sosialku setelah memposting aktivitas anak pertama bulan Desember lalu. Karena sebelumnya, si kakak sudah menjalani hari-hari dan rutinitas bersekolah (kelas 1 SD).

Sebenarnya ingin aku tulis jauh-jauh hari, tapi takutnya saat menuliskan hal itu, aku masih dalam kondisi emosional tinggi. Maka, aku endapkan hingga akhirnya genap enam bulan ini.

Bagiku, menempuh pendidikan itu hal yang wajib. Terutama buatku yang sejak kecil memang punya ambisi besar meraih pendidikan setinggi-tingginya. Karena dengan pendidikan, aku bisa lepas dari jerat kemiskinan. Bukan hanya itu, melalui jalur pendidikan juga, alur dan pola berpikir menjadi lebih kokoh dan tidak mudah diombang-ambingkan.

Lalu, ketika diamanahi anak, bagaimana?

Tentu, pendidikan itu sudah berlangsung bahkan sebelum anak dilahirkan. Buatku, mencari pasangan atau calon ayah, itu sudah satu hal atau langkah memilihkan pendidikan untuk bakal seorang anak.

Ide Homeschooling, darimana?

Buatku pribadi, mempelajari apa itu homeschooling, masih cukup baru. Yaitu ketika si kakak (anak pertama) berusia 5 tahun. Atau sekitar tengah tahun 2020 lalu. Dari sana aku mulai melihat gambaran besar model pendidikan, ada formal, non-formal dan homeschool (pendidikan berbasis keluarga).

Alasan utama kala itu berniat untuk homeschooling, karena masih belum menemukan sekolah yang ‘pas’ dan cocok untuk bakal calon anak. Di momen itu pula, si kakak masuk TK di kantor suami bekerja tapi karena pandemi 2021, tidak dilanjutkan. Kakak kemudian kami masukkan ke TK dekat rumah sepanjang 1 tahun sisanya. Kemudian barulah survey untuk SD (lanjutannya di usia 7 tahun).

Singkat cerita, dapatlah SD yang pas dan cocok. Tapi si kakak sejak awal, ‘agak protes’ dengan aksi-aksinya yang bikin geleng-geleng kepala. Merajuk, marah, tapi di lain waktu, dia juga bisa beradaptasi juga, bahkan dikenal anak yang ramah dan riang menyapa orang sekitarnya. Bagiku, itu wajar, namanya juga baru menjalaninya. Dan karakter si kakak memang ceria, basicly, dia lebih mudah dinasihati dalam kondisi happy dibandingkan di saat lagi sedih atau emosi.

Tapi, ada satu hal yang membuatku kurang nyaman. Laporan perilaku anak yang hampir dilaporkan setiap hari melalui pesan pribadi, ditambah gaya bahasa yang melapor itu kurang nyaman dibaca, melatih kesabaran diri sebagai orang tua, lama kelamaan aku jadi merasa anakku ini memang bermasalah (melihat dari laporan yang bertubi-tubi tiada henti). Bahkan ada momen ketika anak sedang merajuk, hanya dipotret dari jauh, bukan dibawa ke ruang kerja suami atau meminta anak untuk berdiskusi.

Maka, daripada aku terus-menerus emosi, bahkan pernah berada di fase mempertanyakan diri sendiri ‘kok begini amat ya anakku buruknya?’, ‘sebegitu buruknya kah anakku ini di mata mereka?’ dst. Akhirnya, aku tarik si kakak, karena prinsipku : aku tidak mampu mengontrol apapun, selain diriku sendiri.

Maka, per pekan ke-3 November, kakak homeschooling walau kadang dia mempertanyakan kenapa dan kenapa.

Homeschooling ikut Kurikulum apa, Bagaimana?

Jujur aja, tidak ikut mana-mana. Karena bagiku, memperbaiki diri dan keluarga (wasilahnya dengan Allah kasih anak), itu sudah bagian dari rezeki tersendiri.

Sejak kakak homeschooling, aku jadi giat beli buku lagi, ikut aneka ragam kelas lagi, ikut praktik lagi, karena memang yang harus belajar terus sebenarnya diriku sendiri (dan suami). Model pembelajaran di rumah juga bukan kayak sekolahan, lebih banyak berkegiatan biasa. Sempat juga mengikuti suatu komunitas, tapi lagi-lagi memang tidak semua orang bisa menerima diri ini apa adanya, dan memang segala hal tidak selalu bisa berada dikontrol sesuai ekspektasi keluarga. Maka, lagi-lagi, kembali ke rumah, memperbaiki diri dan keluarga, kunci dari homeschooling yang kami jalani. Fokus pada rumah, bukan fokus ke model ‘sekolahnya’.

Untuk metodenya, kami lebih menyerap konsep unschooling. Jadi, belajar itu ya di kehidupan sehari-hari, bukan kelas, bukan ruangan. Si kakak lebih banyak explore hal yang dia gemari di rumah, kadang jalan-jalan, kadang juga bermain bersama teman (di waktu tertentu, fleksibel).

Adapun panduan kurikulum, kembali ke visi misi keluarga. Beda keluarga, beda model dan teknisnya. Intinya adalah kembali ke tujuan awal, mengapa homeschooling.

Bagaimana Perkembangan Anak setelah 6 bulan Berjalan?

Alhamdulillah rutinitas harian berjalan lancar, walau aku jadi terseok-seok menuntaskan pekerjaan pribadi (seperti manuskrip buku, konten dll) karena bukan hanya mengurus si Kakak, tapi juga perlu memperhatikan si adek (yang perempuan).

Si kakak belajar dengan nyaman di rumah, bahkan dia sempat kami tawari untuk pindah sekolah atau komunitas, tapi dia tidak mau. “Maunya belajar sama Ummi aja.” jawabnya.

Kami sadar, si kakak sudah menginjak usia 7 tahun, sebentar lagi 8 tahun. Fase menuju baligh tidaklah lama. Maka, mudah-mudahan kami bisa kejar aqilnya kakak sebelum balighnya bersambut. Kami perlu ikhtiar dari ritme harian, nutrisi, asupan berbagai hal, juga terpenting adalah wawasan. Semua perlu pijakan, dan pijakan terbaik adalah Alqur’an.

Maka dari itu, jika tahun lalu aku lulus di akademi Qur’an Al-Fatih, di tahun ini aku melanjutkan akademi Siroh sebagai bahan untuk pelajaran kakak di rumah. Tapi, kakak memang belum menyentuh Alqur’an secara langsung karena masih fokus ke adab.

Mudah-mudahan Allah berikan jalan. Karena segala sesuatu atau kejadian, tidaklah hadir begitu saja tanpa ada maksud baik dariNya. Mungkin, kejadian awal si kakak yang dilaporkan buruk atau dipandang buruk begitu menyakiti hati, tapi makin kesini aku menyadari. Hikmahnya besar sekali. MasyaaAllah Tabarakallah.

Sejatinya, model pendidikan homeschooling ini bukan buat anak semata, tapi justru jadi wasilah kami sekeluarga untuk bisa lebih berbenah. Alhamdulillah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *