BEROPINI DAILY

Menjadi Ibu Masih Perlu Baca Buku

Judul post blog kali ini, agak gimana gitu ya?

Sejenis curhat sosok ibu-ibu yang hendak menyuarakan betapa membaca buku itu perlu namun terkadang antara ekspektasi dan realita enggan berjalan beriringan. Jadi, yaudahlah, mumpung besok weekend, sekalian ingin sharing ke sesama ibu-ibu di grup, celotehan ini saya tuang ke sini.

Kalau boleh blak-blakan. Sejujurnya tanpa sadar, waktu terus berjalan dan ternyata cepat sekali. Tahu-tahu, saya sudah menjadi ibu-ibu (sudah lama ih Nik!). Ya! Setidaknya -kalau mau dihitung- selaras dengan usia anak pertama saya yang kini sudah melampaui masa balita (lebih dari lima tahun).

Secara kebiasaan, ritme sebagai seorang ibu sekaligus istri, tentu berubah-ubah, menyesuaikan kondisi dan situasi. Namun ada satu hal yang tetap saya ingin terus pertahankan sejak dulu, yaitu membaca buku. Kenapa?

Kenapa Membaca Buku

Sub-judulnya menggunakan kata ‘kenapa’ bukan ‘mengapa’ ya. Biar rileks aja, kalau baku banget (mengapa) kan jadi kaku gitu kalau dibaca (halah!).

Jadi, kenapa?

Menurut saya, membaca buku rutin sudah menjadi kebutuhan. Lebih tepatnya sebagai kebutuhan otak serta hiburan. Sejak kecil, sampai detik ini, di rumah kami memang tidak menyediakan televisi. Satu-satunya yang menarik hati sejak dulu, memang buku. It’s okay, ini personal banget, karena berkaitan dengan ‘inner child’ serta ‘pola asuh’ di zaman dulu.

Proses kerja otak di saat menonton dan membaca juga berbeda. Kalau bicara tentang teori bahasa adalah ejawantah dari pikiran, maka, pikiran kita tentu akan dipenuhi oleh hal-hal yang paling sering kita lihat, dengar dan rasa. Jika berlaku ‘tontonanmu adalah tuntunanmu’, maka ‘buku yang kamu baca, mencerminkan dirimu’. Kira-kira begitulah, hahaha. #radamaksa

Nah, membaca buku, tentu berbeda dengan menonton. Jika menonton kita langsung disuguhkan dengan visualisasi yang langsung tertangkap oleh indra mata dan telinga. Menonton meletakkan posisi kita menjadi pasif. Satu arah.

Sementara membaca buku, melibatkan pikiran. Aktifitas membaca buku bisa dikatakan sebagai aktifitas mengasah kemampuan berpikir. Sehingga daya imajinasi yang disajikan oleh otak, lebih terasah sempurna dibandingkan dengan menonton. Katakanlah, jika menonton, akting atau animasinya jelek, kita akan memberi komentar yang menyesalkan. Namun, membaca buku, kita justru masuk ke dalam dunia itu, menggambarkannya sendiri bahkan kita bisa menjadi tokoh didalamnya. Kepuasannya juga berbeda.

Membaca melatih kesabaran serta daya tahan fokus kita untuk menyerap isinya. Jika ada yang bertanya pada saya, “Bagaimana agar kita bisa fokus?” maka jawaban utama saya, “Baca, baca, baca.”

Ya, karena membaca bagi saya, melatih mindfullness diri. Melatih sadar, hadir, utuh, penuh, tidak bisa disambi. Kalau membaca disambi, dijamin tak akan masuk intisarinya.

Membaca juga belajar untuk melatih jeda. Tidak serta merta kita duduk, langsung tamat begitu saja. Perlu waktu. Apalagi jika beratus-ratus lembar yang kita lahap.

Saat menjadi ibu, kosa kata juga perlu ditingkatkan, wawasan perlu ditambah, agar ketika anak bertanya, kitalah ‘perpustakaan’ bagi mereka. Dan di zaman digital yang penuh dengan berita hoax, informasi yang tak masuk akal menerpa, di saat sudah terbiasa untuk clear & clarify melalui aktifitas membaca, inshaa Allah, kita terhindar dari information disorder itu sendiri. ‘No panik-panik club’.

Selain itu, bentuk mewariskan wiring juga. Agar anak melihat, meniru, apa-apa yang dilakukan orangtua di rumah, termasuk gemar membaca. Karena wiring yang diwariskan di dalam keluarga, akan terus membekas sampai kapanpun ke anak.

Jadi Ibu, Sulit Bagi Waktu buat Baca Buku

Well, kalau masih muda, gampanglah, wajar baca buku kapan saja. Karena masih mempertanggungjawabkan diri sendiri. Belum ada tanggungjawab ekstra seperti pasangan, anak, lingkungan rumah dan seterusnya. Namun, ketika status sudah berubah, ritme harian juga padat untuk mengurus berbagai hal, sepertinya membaca buku ini mustahil dilakukan ya?

Ibarat merk, aktifitas membaca buku ini sudah naik level, memiliki privilage tersendiri, khusus kalangan tertentu. Benarkah?

Ya, benar sih. Jika tidak disempatkan, tidak dialokasikan, maka sampai 24 jam lenyap pun kita, mau jadi ibu atau bukan, tak akan sempat. Sama seperti ritme membaca Alqur’an. Bedanya, membaca Alqur’an sebagai bentuk komunikasi diri (kayak chattingan gitu) sama Allah, sementara kalau membaca buku, bentuk self love diri pribadi (ini opini ya, tak sepakat juga tak apa-apa).

Kapan baca bukunya?

Kalau untuk saya, khusus Alqur’an diatur di awal waktu, sementara membaca buku di sela-sela saja dan biasanya menyediakan waktu khusus yang -tidak setiap hari- bisa diakses untuk membaca buku.

Namun, semakin hari, saya merasakan bahwa waktu yang saya sediakan untuk membaca buku, semakin berkurang. Bukan karena tanpa minat, justru minat serta kebutuhan masih tinggi, melainkan kini bergeser dengan media lain serta waktu daring yang semakin panjang sehingga ‘memakan jatah’ saya untuk membaca buku.

Jurus Jitu Baca Buku, Manfaatkan Weekend

Memanfaatkan weekend, paling seru memang untuk kongkow, bercengkerama bersama keluarga. Itu perlu, wajib malah. Buat membangun bonding menuju pekan berikutnya.

Namun, membaca buku di sabtu-minggu, juga seru dan paling menyenangkan menurut saya. Karena berasa punya waktu full buat diri sendiri. Enggak perlu lama-lama juga, paling sejam, dua jam khusus untuk membolak-balik halaman yang ingin dibaca.

Salah satu rutinitas yang akhir-akhir ini saya giatkan lagi adalah membuat jurnal membaca.

Jurnal membaca saya, sebelumnya, selalu menggunakan tanda di goodreads. Entah sekadar untuk menandai mana yang sedang dibaca, akan dibaca (wish list) dan sudah dibaca untuk melihat progress. Bahkan mengikuti tantangan juga.

Sayangnya, kadang kelupaan juga, banyak aplikasi di HP sehingga lupa tak membuka goodreads secara rutin.

Alternatifnya, saya harus membuat jurnal khusus di binder untuk menulis buku bacaan sepekan ke depan. Selain itu, juga mulai membiasakan diri untuk beralih dari bacaan yang awal mulanya buku fisik, ke bentuk elektronik. Walau hanya beberapa buku saja. Perangkat yang saya gunakan, kobo e-reader.

Selain itu, kemanapun pergi, sebisa mungkin itu buku saya bawa. Jika weekend tiba, apalagi di masa pandemi ini, saya akan menumpuk beberapa buku yang belum selesai saya baca. Biasanya terasa ‘syok sendiri’ karena merasa telah membuang-buang waktu tidak menuntaskannya.

Namun, membaca buku tidak harus selalu tamat. Terutama buku-buku referensi yang tebalnya luar biasa, seperti buku Fiqh, tafsir, buku parenting yang berbentuk modul dan daily (karya Ust. Harry Santosa) maka saya biarkan saja. Saya biasanya membaca buku yang prioritas betul-betul saya butuhkan.

Oia, untuk memotivasi diri, saya juga membuat akun instagram khusus buku yang sebenarnya ingin saya review semua di blog, namun apa daya, tenaga harus dibagi rata. Tapi, dengan adanya akun ini, saya jadi lebih bersemangat untuk membaca dan meletakkannya di sana, sebagai arsip saja.

https://www.instagram.com/rethinkingrewiring/

Membaca sebagai kebutuhan hingga saat ini karena saya juga sedang berprofesi jadi tukang menulis, alias penulis (menuju buku ke-8 dan seterusnya, amiiin) maka, membaca tak bisa dipisahkan dengan profesi ini.

Ada pun untuk mengisi daya pikiran (terutama yang introvert), membaca buku di akhir pekan merupakan kenikmatan yang hakiki. Ditambah segelas susu cokelat hangat dan didukung oleh gemericik air hujan di luar. Sungguh, syahdu!

Bagi ibu-ibu, membacakan buku pada anak juga bagian dari kebutuhan kita. Buat bonding tentunyaaaa. So? ayo, ayo baca buku di hari sabtu. Dijamin, seru!

Oke, sekian dulu curhatnya. Happy weekend. 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *