SHARING KELAS DAN ILMU

Menyiapkan dan Menyambut Ramadhan yang Berkesadaran

Pada tanggal 12 Maret, saya mengikuti kelas zoom (yang hanya infaq semampunya) yang diadakan oleh Mind Revive dan Wholistic Goodness. MasyaaAllah Tabarakallah, jadi tambahan amunisi diri.

Ingin share catatan ala-ala ini yang mudah-mudahan bisa menjadi pengingat diri. Kalau lagi lengah, ntar saya bisa membacanya lagi.

kalau mau nonton lengkapnya ada di youtube (klik tautan ini aja).

Nah, bismillah…

Kesadaran adalah Kunci Memahami Diri

Sejatinya, bulan Ramadan itu bisa memberikan kita sebuah pengobatan atau ‘keutuhan kembali’ terhadap fitrah kita. Nah, fitrah itu seperti apa? Ini akan kita benar-benar bisa memahami makna ‘Idul Fitri’ (hari raya fitri, kembali suci) itu sebenarnya pada saat kita sudah belajar tentang keutuhan lapisan-lapisan tubuh manusia (physical body, emotional body, energetical body, mental body, dan spiritual body).

Nah, masalahnya kita belum memahami syariat secara utuh untuk bagaimana caranya kita bisa mendapat manfaat sebaik-baiknya dari ibadah yang diberikan kepada kita ini, ibadah spesial setahun sekali. Karena tidak jarang meskipun kita sudah diberi perintah sebaik-baiknya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala tapi kitanya yang membuat proses ibadah itu malah menjadi tidak optimal. Tentu ini tidak lepas dari kesadaran diri saat berpuasa itu sendiri.

Sebenarnya jika kita bicara puasa, terutama tentang manfaat puasa Ramadan sungguh banyak sekali keutamaannya, kayak sesuatu yang mungkin nggak habis-habis dan masih banyak hal yang masih bisa kita perbaiki dan perbaiki lagi atas izin Allah pastinya. Dari sudut pandang ilmu kesehatan klasiknya, ketika kita berpuasa, baik itu di Ramadan ataupun bukan, adalah kita melakukan sebuah yang namanya protokol pengosongan. Nah, pengosongan materi yang biasanya badan kita selalu diisi sama si materi yang berupa makanan (ini ada yang tiga kali sehari sampai kadang-kadang 5 kali sehari belum nyemil dan lain sebagainya), kali ini ketika kita melakukan yang namanya fasting , kebalikannya keseharian, yaitu melakukan sebuah pengosongan.

Energi dan Esensi

Jika kita bahas tentang tubuh manusia, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah itu ada dua hal utama yang menyusun seluruh tubuh dan alam semesta ini. Yaitu ‘Esensi/Materi’ dan ‘Energi’ atau kita sebut juga dengan essence energy, yang keseimbangan di antara keduanya itulah yang menopang berdirinya langit dan bumi yang tanpa tiang. Semua itu dituang dalam keseimbangan dua hal ini (energi dan esensi).

Pun dengan tubuh kita yang kita hari ini -atas izin Allah- bisa berdiri tegak, bisa berfungsi organ-organnya sehingga kita pada akhirnya bisa melakukan hal-hal yang bermanfaat, bisa berkarya, bisa melakukan kebaikan-kebaikan dan ibadah kepada Allah, itu ya karena keseimbangan diantara energi dan esensi ini.

Elemen Udara dan Kaitan dengan Puasa

Ketika berpuasa, yang kita lakukan itu adalah pengosongan terhadap materi ini. Nah, kondisi ketika kita melakukan sebuah upaya pengosongan, maka yang terjadi itu adalah secara alami, ini kita bisa ‘lihat’ semua di dunia ini, di alam semesta ini ketika adanya sebuah pengosongan maka yang terjadi itu adalah elemen udara.

Coba kalau ada wadah kosong, elemen apa pertama kali yang masuk ke dalam sebuah wadah kosong? Ya, tentu udara.

Udara itu adalah elemen pertama yang akan masuk kedalam wadah yang kosong termasuk ketika kita sebenarnya puasa. Oia, Bun (buat buibu nih), bisa dibilang, kalau perempuan itu selain puasa akan mengalami yang mirip-mirip ‘fase begini’ ini juga di post partum. Karena kita tadinya ada isi, ada anaknya nih di perut kan ya? Isi janin, setelah itu kita melahirkan, kan jadi kosong dan itu yakinlah semua ibu yang benar-benar kayak di perut tuh rasanya kosong, enggak ada apa-apanya.

Ketika itu terjadi, The First Element to fill the emptyness is air Element, adalah elemen udara. Nah elemen udara kalau kita pahamin, (jadi gini, bahwa setiap elemen itu punya peran di dalam tubuh kita), elemen udara ini termasuk yang dinaungi oleh the nervous system. Hampir setiap elemen itu, dinaungi oleh sistem tertentu di tubuh kita. Dan salah satu elemen yang dinaungi oleh udara ini adalah nervous system atau sistem saraf.

Ketika itu terjadi, maka sama kayak yang terjadi di ibu hamil atau di Ibu post partum. yaitu, the extra degree of self awareness, kondisi fokus pada bagaimana diri kita melihat diri sendiri. Ketika hal itu terjadi di orang yang kondisinya lebih balance itu mungkin akan kayak ‘mengamati’, ‘Oh begini’. Satu sisi kita bisa melihatnya, seperti mancing di air keruh.

Ibaratnya sebuah Danau atau Sungai yang bawahnya indah dan bersih, karena atasnya kosong, air yang di atas jadi bening ya. Dan kita jadi senang, saat melihatnya ‘Wow betapa indahnya’. Artinya ini bisa dinikmati, ini bisa dijalani walau emang enggak ada yang sempurna di dunia ini tapi masih bisa dinikmati.

Nah ketika yang kita ‘simpan’ di dasar danau/sungai alias bawah sadar kita itu adalah istilahnya ‘sampah batin’, luka batin atau yang sejenisnya. Nah dikata tadi kata pas kita berada di kondiri yang airnya tiba-tiba clear , maka keluarlah tuh semua (yang dibawah). Kan jadi surprisingly! kok yaa banyak rongsok di situ, beberapa jadi kayak jedar-jedor. Makanya ada beberapa orang yang mereka sendiri pun mengakui kalau lagi enggak puasa, masih lebih bisa lah buat nahan-nahan ‘rongsoknya’. Tapi kalau udah lagi puasa tuh bawaannya ‘Senggol Bacok’ gitu ya, kayak karena ada si extra degree of self awareness itu.

Extra Degree of Self Awareness

Kalau kita yang memiliki ‘sedikit rongsok’, atau kalau kita enggak terlalu banyak ‘PR’, maka kita bisa punya kemampuan untuk bersyukur, juga kemampuan untuk menerima, juga itu akan menjadi sesuatu keuntungan dan indah.

Tapi kalau kita belum atau masih sedang dalam proses menuju ke ‘triggering’, itu akan buat kita kayak wow, maka itu bisa jadi sesuatu hal yang triggering banget. Sebab ketika extra degree of self awareness itu terjadi, ya kita kayak jadi berhadapan, jadi bertemu kembali dengan ourself. Nah, maka kita akan ketemu dengan sesuatu yang ‘nyenengin’ atau ‘enggak nyenengin’ itu akan sangat tergantung sama bagaimana kita memperlakukan diri kita di hari-hari sebelumnya, di hari-hari saat kita tidak berpuasa.

Ketika kita memperlakukan diri kita dengan terbiasa ‘tidak baik’, maka akan menjadi satu momen atau jadi suatu hal, yang mungkin sangat tidak nyaman bagi orang-orang yang ‘sadar-enggak sadar’ lari atau berusaha lari dari dirinya sendiri, berusaha lari dari perasaannya sendiri, berusaha lari dari PR PR sendiri kayak yang biasanya ‘cuek’in diri. Misalnya ada beberapa orang yang punya ‘copying skill’ itu berupa misalnya ‘kalau sakit udahlah jangan dirasa-rasa’. Nah itu, Insyaallah pas lagi puasa tuh kerasa banget, sakit-sakitnya muncul, dan akan terus bakalan gitu.

Ada orang-orang yang salah satu kekhawatiran mereka kalau memulai puasa. Terutama di bagian awal-awal puasa itu biasanya kalau punya penyakit-penyakit pencernaan, biasanya kambuh. Jadi iya, itulah termasuk PR yang kita abaikan di hari-hari sebelumnya, itu kalau adanya extra degree of self awareness. Sebenarnya kalau di sisi spiritual, kita bisa melihatnya Ini adalah cara Allah untuk melalui diri kita sendiri sehingga dengan adanya puasa (dan ini baru satu yang bisa kuasa kita lakukan kepada tubuh kita, ini tuh baru extra degree of self awareness, dan masih banyak banget keutamaan puasa lainnya dan kebaikan kebaikan puasa lainnya). Ya, maksudnya melalui syariat ini, yang dari Allah yang Maha Agung dan Maha bijaksana ini sebenarnya kita tuh diberikan kesempatan untuk lebih mudah aware sama diri kita sendiri.

Ketika ini terjadi ya mudah-mudahan sih kita bisa memanfaatkannya. Walaupun memang yang tadi kita mungkin terbiasa mengabaikan kebutuhan-kebutuhan kita, biasa mengabaikan yang jadi ‘PR-PR’ kita, atau biasa lari dari hal-hal tersebut. Maka ya ini akan jadi momen yang gak nyaman banget untuk diri kita kalau nyemplung air tuh baru ‘permukaan’. Belum menggali sampai bawah-bawah, belum mungkin ini puasa sebenarnya kan detoksifikasi. Walau kita sering banget membuat detox itu berulang hari demi hari, jadi nggak pernah berkelanjutan.

Puasa dan Blood Sugar

Ketika kita puasa itu ada secara fisik itu juga kan jadinya kita enggak makan, kita enggak makan dalam kurun waktu tertentu di situ kita biasanya mengalami Low Blood Sugar karena kita enggak makan itu.

Low Blood Sugar inilah yang biasanya menimbulkan irritability (sifat lekas marah), kayak Hungry Bear gitu, kayak hungry Lion. Ketika kita low blood sugar atau gula dalam darah itu terlalu tinggi bisa mengancam nyawa, dan terlalu rendah itu juga bisa mengancam nyawa.

Kalau terlalu rendah, karena bisa mengancam nyawa makanya biasanya sebagai organisme, baik itu hewan maupun manusia, dia akan memproduksi hormon yang menimbulkan rasa lapar sehingga dia pengin makan. Nah problemnya adalah sebenarnya si low blood sugar itu sudah pasti terjadi saat puasa. Sebenarnya enggak akan jadi terlalu masalah kalau kita udah biasa on healthy diet yaitu memiliki pola makan kita cukup sehat. Maka, lapernya juga masih lapar yang kalem gitu istilahnya.

Resiliensi Blood Sugar berbanding Lurus dengan Resiliensi Emosi

Namun, akan bakalan jadi hungry, jadi lapar terus kayak meledug-ledug gitu terutamanya kalau kita sebelum berpuasa itu sudah terbiasa badannya dengan yang namanya pola atau diet-diet tinggi gula dan tinggi-tinggi refine carbs atau karbohidrat rafinasi. Jadi kita biasa punya blood sugar yang itu enggak stabil, naik turun – naik turun naik – turun naik turun, jadi resiliensi blood sugar kita boleh dibilang berbanding lurus sama resiliensi emosi kita.

Semakin blood sugar kita tuh unstable, naik turun – naik turun – naik turun – naik turun, itu juga Insyaallah perasaan kita juga akan mudah untuk terombang-ambing. Ketika perasaan itu dinamikanya aja tuh dari satu polar ke polar lain berubah dengan cepat, itu akan semakin challenging, semakin tidak nyaman rasanya.

Ketika yang kita inginkan itu adalah ‘peace’, adem ayem, maka bukan berarti emosi kita tuh kudu stagnan, enggak begitu maksudnya. Jadi, kalaupun ada dinamika itu (emosi) ya kayak lembut aja gitu, enggak terlalu kita merasakan perasaan-perasaan yang amat kuat. Tapi kalau perasaannya tuh naik turun – naik turun – naik turun kayak ‘roller coaster’, itu enggak harmonis, pun itu akan ada efeknya ke organ-organ kita.

Kurma dan Sunnah

Nah, puasa ini, biasanya kalau kita sorotin gitu, apalagi ada ada jargon berbukalah dengan manis-manis. Apalagi manis banget, nah itu baru berbuka. Belum carbs (karbonya). Maka, berbuka dengan kurma itu ada sunnahnya, karena kurma tuh dia nggak cuma sekadar manis tapi juga ada mineralnya. Dan dia juga sifatnya hangat, maka dia balancing, jadi bukan kita dari low banget dilempar ke super high sama makanan berbuka kita, misalnya apa tuh es buah-buahan, goreng-gorengan, tepung-tepungan yang kayak gitu. Jadi, kurma itu benar, kayak lifting up tapi juga just enough (ini menaikkan kadar gula tapi kadarnya mencukupi) gitu. Bukan kayak di swing up (diayun- kemudian dilempar), enggak kayak gitu.

Maka, ketika kita enggak memperhatikan pola makan kita di bulan Ramadan, ini yang akan menambah challenge bagi diri kita sendiri, kalau kita enggak sadar. Kayak kita udah bagus nih puasa, itu kan dia ketika perut kita kosong, materinya kosong.

Pencernaan kita jadi bisa ‘beristirahat’, energi yang tadinya dipakai buat mencerna makanan, dia jadi bisa dipakai untuk hal-hal lainnya, untuk preserving organ-organ lain, kalau ada yang enggak lancar – dia akan lancarin, dia memperbaiki metabolisme dan dia memperbaiki banyak hal di tubuh kita, dia ‘bebersih’, istilahnya badan kita dari pagi udah bebersihnya sampai sore, nah dia rajin gitu lah. Kayaknya nyapu- ngepel, kita juga tahu lah rasanya gimana, misal ngepel dari pagi sampai sore, kayak gimana? Ini bukan pekerjaan ringan memang.

Nah terus pertanyaannya kita buka puasa pakai apa? begitu kita beres nih bebersih dari pagi sampai sore, begitu magrib, bedug jeder kita mau masukin kayak apa? Misal kayak ada mobil bak, itu bak sampah gitu kayak di haur lagi gitu ke dalam rumah kita. Makanya di situ biasanya kalau kita tiba-tiba lagi langsung benar-benar banyak refine carbs, banyak gula yang terjadi itu enggak lain dan enggak bukan kita lemas ya rasanya tuh habis buka puasa. Makan haphaphap. Habis itu kayak benar-benar lemas, terus jadinya efeknya juga apa? jangankan tarawih ya salat magribnya aja jadi agak entar dikit gitu kan ya?

Nah itulah ketika kita istilahnya ‘badan kita udah bersih, udah enteng’, kita udah beresin gitu, terus karena ketidakkesadaran kita, kita masukin yang bukan haknya tubuh kita, jadinya itulah yang menyakiti atau menzalimi diri kita sendiri.

Ketika extra degree of self awareness itu tidak disertai dengan awareness, jadi kita yang sadar gitu bahwa sebenarnya kayak tubuh kita ini Allah kasih syariat ini dengan tubuh kita itu mampu ‘memfasilitasi’ extra degree of self awareness. Nah, ini tergantung kita mau menyambutnya seperti apa, mau menggunakannya seperti apa, mau terus dibuka atau mau kita embrace (rangkul) itu ya itu terserah kita. Allah tidak pernah menzalimi kita.

Ketika kita kayak udah badannya udah bersih, terus habis itu kita gedein lagi sama makanan yang kayak tadi lagi, terus kita lemes lagi, kita enggak enak badan lagi, atau kita tuh kayak besoknya lagi, kita sahur lagi, kita bersihin lagi badannya, terus entar magribnya kita kasih beban lagi, berlebihan lagi, itu yang membuat kayak istilahnya kalau kita torture (menyiksa) tiap hari. Padahal, 30 hari itu step kita mendukung proses healing dan detoksifikasi tubuh kita yang bisa berjalan memang hanya melalui prosesi puasa ini.

Ingat Faktor Hak-Hak Tubuh

Kalau mungkin yang sebenarnya terjadi saat puasa ini kita nggak sadar betul sama bagaimana selama ini kita memperlakukan diri kita, maka kita bisa terjebak ritme yang sama. Badannya kita bersihin, tapi kita yang ngasih kerjaan lagi, yang ngotorin, terus ngerjain lagi, benar-benar bersihin lagi, dan itu kita lanjut lagi, itu diulang terus sampai 30 hari. Maksudnya kadangkala, kayak ada orang-orang yang semakin di ujung puasa itu bukan semakin mendapatkan kesehatan dan kebaikan dari puasa, tapi malah makin lemes dan makin lemes – semakin lemes. Bahkan sering lebaran tuh ujungnya sakit. Intinya udah tertatih-tatih banget gitu untuk mencapai garis finish.

Jangan-jangan kalau itu terjadi, mungkinkah hal itu juga disebabkan oleh faktor kita yang tidak menunaikan hak-hak tubuh kita. Sementara Allah kasih fasilitasnya, Allah kasih kesempatannya,baik dari segi ritual puasanya maupun dari extra degree of self awarenessnya. Tapi kalau kita nggak punya cukup kesadaran dan ilmu tentang apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh ini, maka mungkin nggak sih, kita malah bisa jadi orang yang kalau misalkan kita punya tuh kesadaran dan ilmu yang cukup (mudah-mudahan justru semakin hari itu) kita makin enteng, makin sehat, dan istilahnya tuh kan kita tuh punya 10 hari terakhir maka 10 hari yang spesial banget kita tuh bisa begadang di situ, kita ekstra ibadah di situ.

Jika sejak awal kita bisa nurture badan kita, materinya dikosongin, habis itu secara amalan-amalan ibadah di bulan Ramadan kita kencengin, maka energi dari qolbu kita itu bisa menguat. Maka Insyaallah pancaran energi itu akan semakin kuat dan semakin kuat dan semakin kuat menjelang akhir. Didukung oleh kondisi badan yang semakin bersih, semakin bersih, semakin sehat. Maka 10 hari terakhirnya itu, kita istilahnya kita bisa ‘hajar habis-habisan’ buat ibadah super extra git. Dan kita udah punya energi yang cukup, badan juga sehat dan Fit untuk bisa begadang, untuk bisa benar-benar menggunakan 24 jam tuh semaksimal maksimal mungkin untuk ‘panen raya’ itu di 10 hari terakhir.

Nah, kita ini mau panen raya kan butuh modal tenaga, butuh modal alat-alat, butuh modal perlengkapan. Nah kita nih udah modalin diri kita apa? ibadahnya dari awal udah kita udah kita maksimalin belum? bahkan sebenarnya kalau para sahabat itu mempersiapkan ibadah di bulan Ramadhan itu dari berbulan-bulan sebelumnya, supaya udah biasa. Dan Allah janjikan kepada kita balasan dari satu kebaikan atau ibadah yang diterima itu adalah kemudahan untuk melakukan kebaikan selanjutnya, ibadah selanjutnya.

Nah kalau itu udah kita lakuin dari bulan-bulan sebelumnya, dan dari sejak awal Ramadan itu sudah kita lakukan dan sambil melakukan itu juga badan kita ini kita support, kita berikan apa yang jadi haknya, maka itulah mudah-mudahan yang akhirnya benar-benar nanti menjadi energi kalbunya kuat. Dan inilah yang benar-benar sejatinya riil healingnya tuh dari spiritual body dan physical body. Kita ini dikuatin dari luar dan dalam, dari bawah ke atas, itu kayak istilahnya, prosesnya itu kayak kita ngebakar lilin dari dua sisi. Sudah gitu prosesnya jauh lebih cepat dan indah.

Ibaratnya kayak spiritual body (ini ranahnya syariat – kita lakukan sesuai yang Rasul contohkan- gak boleh kita kurangi, kita tambahin, gak usah diutak-atik lagi), dan dari sisi physical body kita juga bisa maksimalin melalui ilmu kesehatan tadi, maka yang tengah akan jauh lebih mudah dibenerin (emosi, energi, mental), istilahnya ikutan sembuh, teraduk sempurna.

Maka sejatinya kayak itulah yang ketika mudah-mudahan healing itu terjadi secara holistik, sesuai dengan syariat ini. Jadi, kita sering lihat bahwa banyak yang mengatakan atau menganggap syariat itu beban. Sebenarnya kalau kita aware aja, mau melihat dari sudut pandang ‘mau paham apa yang sebenarnya terjadi’, apalagi jika pahamnya secara agama – ini mah udah sempurna.

Ramadhan : Healing Lahir-Batin

Nah, kalau paham misal secara fisik aja, itu coba kita pahamin maka ‘wow’ ternyata banyak banget ya kebaikannya dan itu kita bisa healing. Orang hari ini menganggap healing itu, jalan-jalan terus pusing melihat tagihan, bingung cari uang lagi buat healing lagi. Padahal sejatinya kita sudah diberi fasilitas oleh Allah beneran jika dijalani dengan baik, sesuai syariat dan ritme meneladani Rasulullah, maka kita beneran Ramadan ini healing lahir dan batin. Dan inilah holistics healing (dari fisik ke spiritual).

Karena holistik healing itu utuh ke seluruh tubuh, dari tubuh fisik sampai spiritual, yang mana aspek spiritual ini sebenarnya enggak mungkin terpisahkan walau banyak metode healing yang berusaha memisahkan aspek spiritual ini, jadi mereka anggap spiritual jadi opsional atau kalau mau dilibatkan boleh, tidak dilibatkan, boleh. Padahal kalau dari sudut pandang islam, aspek spiritual, sama sekali bukan opsional. Justru salah satu aspek yang mandatory, inilah kesempurnaan Islam, kesempurnaan agama kita. Apalagi kalau kita tahu, Alquran itu adalah obat. Maka kita sebagai muslim, berobatlah di bulan Ramadhan ini dengan Alquran. Sebab Ramadhan ini bulannya Alquran.

Kebayang enggak kalau kita bisa mengobati diri kita dengan memperbanyak membaca Al-qur’an? dan maksudnya memperbanyak baca Alquran, memperbanyak ibadah, benar-benar pokoknya yang sesuai syariat. Terus badannya juga kita benerin dengan aktivitas yang benar, dengan asupan asupan yang benar, dengan pola hidup yang benar, tuh Masya Allah Tabarakallah.

Ramadhan : Bulan Berobatnya Muslim

Kalau Ramadan merupakan bulannya Alquran. Dan Alquran itu adalah obat makanya di bulan ini, kita berobatlah sebagai Muslim. Dan ini adalah bentuk kasih sayang Allah juga, itu udah pasti ada. Ini ritme atau ritualnya itu setahun sekali. Jadi ya harusnya kayaknya kita tuh jadi umat yang paling sehat ya. Karena kita well maintained, kudunya gitu. Ya tiap tahun itu kita ada rutin, terawat. Sehatnya lahir-batin, holistik, utuh.

Sisi Tengah Tubuh : Emotional Body

Jika tadi dibahas dari 2 sisi lapisan (body dan spiritual), yang mudah-mudahan kalau dua itu beres, maka yang tengah, si emosi itu akan terbawa beres. Namun, dalam hal ini, karena saling terkait (si lapisan-lapisan tubuh tadi), tidak jarang emosi kita lah yang membuat kita tidak sadar dan membuat kita tidak mau melakukan apa yang baik untuk kita.

Biasanya sering dibilang dengan kata-kata ‘Healing Crisis’. Jadi kalau kita sudah terbiasa mendistraksi diri kita dengan berbagai healing (yang mungkin bentuknya dengan jalan-jalan, atau belanja atau makan dengan craving dan segala macamnya), bisa jadi pada saat kita dikasih extra degree of self awareness itu menjadi saat-saat yang paling tidak nyaman bagi diri kita.

Saat puasa, atau muncul extra degree of self awareness, pilihan kita di situ ada dua :

  1. kita mau kembali ke distraksi.
  2. atau kita mau sadar dan kita merangkul apa yang sesungguhnya terjadi di dalam diri kita.

Tadi sempat dibahas elemen udara, ini udara menaungi sistem saraf. Nah, aslinya kita sejak lahir punya Fitrah sadar yang pada saat kita dilahirkan itu kita bersih. Jadi, kita udah dikasih kesadaran oleh Allah, yang dimana dalam kesadaran itu pasti kita tahu Tuhan kita itu Allah. Pasti kita tahu hal baik yang Allah perintahkan itu baik untuk kita dan kita jalani.

Tapi kemudian seiring kita berjalan di dalam kehidupan, mungkin kita punya sampah batin, punya luka pengasuhan dan itu semua, masuknya ke nervous system. Nah, semua itu masuknya dari nervous sistem atau dari saraf pusat, ini kita muncul rasa enggak enak, rasa enggak nyaman. Jadi di situ udah kelihatan bahwa Fitrah kesadaran kita itu sebenarnya sudah menaungi luka batin kita. Fitrah kesadaran kita itu sudah lebih besar daripada -sebesar apapun yang kita miliki- gitu ya.

Pada saat berpuasa, di situ percaya atau enggak, hal paling enggak enak yang kita rasakan sebenarnya sudah merupakan petunjuk dari Allah, di mana kita perlu memperbaiki kita diri kita di awalnya. Karena kita nggak tahu ‘petanya’ Allah, yang tahu dari sisi mana kita harus diperbaiki.

Jadi kalau kita mulai dengan puasa kita dan ada mulai dari satu emosi aja yang paling sering muncul, biasanya pengen ngomel-ngomel. Atau mungkin ada pikiran yang datang terus-menerus, maka kita ikut surat Az-zariyat ayat 21 saja, ‘di dalam dirimu, tidakkah kamu perhatikan?’.

Jadi kalau kita ada pola yang muncul, segala petunjuk yang Allah kasih itu, kalau itu sudah terpendam lama dalam diri kit, biasanya itu membentuk sebuah pola. Dan gimana caranya kita memahami pola tersebut, salah satu caranya adalah dengan menuliskan, mendatanya.

Ruh Halus, Jantung Halus (qolb)

Ingat, hadist, bahwa didalam tubuh manusia ada segumpal daging, kalau segumpal daging itu baik maka baiklah seluruh tubuhnya, dan bila dia rusak maka akan merusak pula seluruh tubuhnya. Dan daging itu bernama qolb, kalbu.

Kalau kata Bu Vidya, ‘dari jantung kasar ke jantung halus’, ruhnya dikasih lewat jantung halus. Dari situ kita melihat bahwa emosi yang dipendam oleh jantung kita itu kan rasa dongkol, atau marah. Atau mungkin marah sekali dan biasanya dari kedongkolan itu kita akan tahu dimana luka batin kita.

Luka Batin Membuat Sulit Berserah pada Allah

Jadi, yang namanya luka batin, itu akan membuat kita semakin sulit berserah diri. Padahal yang bikin kita sembuh, healing, itu Allah, dan kita perlu berserah.

Kalau kita punya cobaan, kita akan susah untuk berserah. Allah sudah mengatur, tapi kalau kita punya luka batin yang terus-menerus, maka akan self talk, bilang tidak mungkin – tidak mungkin – tidak mungkin.

Jadi kalau kita mau berserah seutuhnya, kita mau seutuhnya menaati perintah Allah, kita sadari dulu apa sih yang paling membuat kita tidak bisa berserah diri ? Apa yang paling membuat kita sulit untuk mempercayai bahwa ini sudah baik untuk saya, ini sudah yang terbaik untuk saya dan Allah Maha Mengetahui apa yang memang perlu saya jalani, taat. Dan ini juga berkaitan dengan yang namanya hawa nafsu.

Hawa nafsu adalah kebutuhan kita yang tidak terpenuhi. Kalau kita masih punya rasa. misal ingin dipuji orang, yang misalnya ingin divalidasi, mungkin dulu kita kurang validasi . Ini bukan untuk nyalahin siapa-siapa, bukan untuk nyalahin orang tua, bukan untuk nyalahin masalah kecil, tidak. Tapi supaya kita memahami bahwa saat kita tahu hawa nafsu kita di mana.

Dari situ kita bisa memahami di sisi mana kita perlu memaafkan, di sisi mana kita perlu merangkul diri kita. Intinya, kesadaran kita itu merangkul bagian diri kita, dan bagian diri kita itu adalah bagian-bagian kecil dari diri kita yang mungkin punya luka, punya kepercayaan, punya limiting belief.

Jadi, alangkah indahnya kalau saat emosi itu datang, pikiran nggak nyaman itu datang, kita hadapi dengan sadar. ‘Oh iya ada bagian diri saya yang pengen marah-marah, Ya Allah alhamdulillah nih saya dikasih tahu kalau ternyata kemarahan saya itu menyimpan sesuatu’.

Dari situ nanti kita cari tahu, misalnya ‘nanti ini pengen makan nasi padang’ atau ‘saya pengen makan es campur pakai susu kental manis’. Ini sebenarnya craving (ngidam/rasa keinginan kuat) saya itu ingin menutupi rasa apa sih? ada rasa apa yang saya rasakan yang saya pingin langsung buka puasa pakai es campur dengan susu kental manis dan meses coklat?

Sadari bahwa setiap perasaan itu punya pesan, mungkin kita selama ini sibuk dengan perasaannya saja. Misal diabaikan, jadi belum ketemu love letter-nya, dibalik itu ada agenda apa, ada cerita apa, ada pesan apa yang mau diberikan ke saya?

Untungnya di bulan Ramadan sudah dikasih extra degree of self awareness. Jadi ini tuh kayak pedang bermata dua, kalau dilihat bisa jadi senjata ampuh untuk mengenal diri atau sebaliknya kita bisa kabur-kaburan, seada-adanya, nutupin sekuat tenaga. Dan akhirnya pada saat lebaran yang ada, lyp sinc aja, halal bihalal, atau bahkan sering ada pertikaian keluarga di kala lebaran.

Kebanyakan orang kalau lagi enggak sadar, dia kondisi lebaran itu udah kondisi ‘babak belur’ walaupun bajunya baru. Tapi kalau kita menjalani puasa dan Ramadan ini tanpa kesadaran, maka bisa kebayang orang yang udah babak belur ketemu sama yang babak belur juga. Misal, saking enggak sadarnya, kadang pengen menambah ini itu, melihat kekurangan orang, pertanyaannya, ‘Kapan nambah anak? kenapa enggak atau belum nikah?’ dan lain sebagainya. Ketika kita berada di posisi itu, kita mengharapkan bahwa orang lain yang memenuhi diri kita (karena babak belur, bolong, pengen dilengkapi).

Kadang terjadi pertikaian keluarga, baik keluarga inti maupun luar, eksentrik family di momen-momen lebaran. Kalau banyak orang yang memaknai momen hari raya tuh yang ‘Raya’ itu sesuatu yang kita advice dan kita looking forward, ini malah jadi kayak sesuatu yang kayak momen yang nyebelin, yang enggak enak. ‘Aduh kalau bisa kabur gak yaa’ , ‘duh, aku insecure belum se-sukses dia’ dst. Jadi, kita nih bisa jauh dari yang Rasul maknai di hari Fitri.

Balik ke hawa nafsu, kalau kita terbiasa hidup dengan hawa nafsu, sebenarnya hewan nafsu itu mulainya dari mana sih? biasanya hawa nafsu itu emang Allah desain untuk manusia, sebuah mekanisme untuk melindungi diri kita dari rasa sakit. Biasanya sih begitu. Makanya orang pengin mendapat lebih dari yang seharusnya, pengin duit lebih dari seharusnya, pengin belanja lebih dari yang seharusnya, pengen makan lebih dari yang seharusnya. Itulah hidden agenda.

Kenapa? biasanya dia mencoba melindungi dirinya dari rasa sakit dan rasa sakit itu biasanya datangnya dari luka batin atau sampah batin.

Nah kalau sehari-hari kita sudah didriven (disetir) dengan rasa ingin melindungi diri tersebut. Biasanya pada saat kita berpuasa, si hidden agenda tuh keluar semua, terjujur-jujurlah tuh semua. Apa yang selama ini dicoba untuk dilakukan (ditutupi) untuk melindungi diri, dia muncul semua di permukaan sesuai dengan kapasitas diri, munculnya berapa banyak, itu benar-benar hanya Allah yang tahu. Seberapa kita mampu mengobati diri kita di saat itu. Jadi balik lagi seperti surat Al-baqarah bahwa kita enggak akan dikasih sesuatu yang di luar kemampuan kita.

Tapi kalau kita habisin waktu untuk mendistraksi itu semua, ya akhirnya balik lagi lah itu pada saat lebaran. Jadi enggak ada perbaikan gitu jadinya, kembali lagi ke segala yang mungkin selama ini kita coba lari dari sana.

Jadi mungkin salah satu salah satu manfaat dari berpuasa ini, kita sebenarnya juga lagi berdamai dengan bagian diri yang mungkin selama ini menciptakan hawa nafsu kita. Dan alangkah indahnya kalau itu bisa kita jalani dengan segenap kasih sayang dan rangkulan terhadap diri kita sendiri yang kemudian nanti bisa membuat kualitas-kualitas kita dalam beribadah itu menjadi jauh lebih baik.

Tanya-Jawab

 Karena panjang banget, diposting terpisah. Next post blog.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *