Halo, halo. Seperti yang sudah saya janjikan (eaa janji pada siapa cobaa -_- >> pada diri sendiri sih, hihi) disini akan saya dokumentasikan upaya hidup minimalis keluarga. Walaupun nggak ekstrim, pelan-pelan namun saya apresiasi diri saya pribadi yang mau berubah menjadi lebih simple living dengan memiliki sedikit barang.
Sedikit banget sih ngggak, namun bagi saya ini cukup signifikan dan menjadi habit sejak awal memutuskan berbenah total.
Perlu diketahui bahwa kondisi saya saat ini masih ngontrak, jadi jangan dibayangkan rumah yang instagramable ya karena bangunannya juga retak-retak agak tua dan ini rumah petak jadi sangat mungil (rumah hook dipecah jadi 3 rumah kecil-kecil). Namun saya bersyukur dengan pindah kesini (awal mulanya tinggal di rumah berukuran 120 meter persegi) menjadi sedikit mudah beberesnya, tidak perlu ngepel lama sebagaimana di kontrakan yang lama.
Walaupun demikian (rumah nggak instagramable ini) tetap aja hilir-mudik dikunjungi wartawan. Mulai dari media cetak, online hingga TV. hihi. Intinya mah, jangan minder. Pede aja, terpenting kepala kita memiliki isi yang bisa dibagikan kepada mereka. Rumah mungil kami ini sudah dikunjungi oleh Media Indonesia, Tempo, Kompas, Jawa Pos, Net, terakhir SCTV (14 Maret 2019 kemarin) untuk mendengarkan dan menshoot kegiatan berbenah serta ilmu memiliki gaya hidup gemar rapi (Oia, gemar rapi ini ndak minimalis ya. fleksibel aja, adapun saya memiliki sedikit barang memang pilihan pribadi).
Balik ke topik minimalis. Di rumah saya tidak menggunakan lemari kayu (awalnya saya mempunya 3 lemari kayu, namun kami sumbangkan ke tetangga pada akhirnya) menggantinya dengan lemari plastik yang mudah dibongkar pasang. Alasan utamanya sih simple dan agar ketika pindahan lebih mudah. Namun semakin kesini kami sadar bahwa pakaian kami memang sedikit dan itu memang tepat jika menyimpannya pada lemari plastik (drawer).

Total lemari laci ini ada 3 untuk kami bertiga (saya, suami dan anak).
Lemari yang warna-warni itu harganya 250ribuan, 1 untuk saya dan 1 untuk suami. Sedangkan yang rovega putih milik anak. Namun lemari itu tidak mutlak berisi pakaian kami, untuk pakaian pribadi hanya menggunakan 2-3 slot aja. Selebihnya tekstil umum.
Milik saya, pada bagian atas berisi peralatan sholat. Slot paling bawah berisi tas ransel dan slempang (saya, anak dan suami).

Lemari suami (tengah) digunakan 3 slot saja, slot paling atas milik bersama. Sedangkan paling bawah menyimpan jaket kami (kok muat? iya jaketnya hanya 4 potong, hehe).
Lemari anak, bagian paling atas berisi handuk. Sedangkan yang setinggi dia (slot 2,3,4) berisi pakaian miliknya sendiri (atasan, bawahan dan aksesorisnya- karena anak cowok jadi lebih simple) tujuannya agar anak bisa ambil dan memasukkan pakaiannya sendiri. Jadi setting peletakanna pun kami perhitungkan agar dia mandiri melakukan sendiri. Sedangkan bagian paling bawah berisi sprei, sarung bantal dan selimut (emang muat? iya, karena dikit jadi muat semua ehehehe).

Baiklah, selanjutnya akan saya bahas milik saya pribadi.
Untuk pakaian, saya sendiri sejak dulu bukanlah maniak penimbun/kolektor fashion. Jumlah pakaian dengan buku saya justru jauh lebih banyak bukunya. Sejak remaja tidak terlalu peduli dengan penampilan sih, jadi ya pas nikah pun biasa aja. Kalau ditanya mau dibeliin apa? saya refleks minta beli buku daripada baju. Itulah sebabnya baju saya sejak dulu memang sedikit. Namun per 2016-2017 lalu efek pergaulan dengan buibu seringkali saya terpincut untuk ikutan beli ini-itu yang sebenarnya tidak saya butuhkan. Misalnya kerudung baru, jilbab baru, gamis, kaus dll. Efeknya ketika berbenah total lumayan juga yang harus saya singkirkan.
Alhamdulillah ‘lapar mata’ itu sudah stop jauh-jauh hari. Kini tinggal mensyukuri dan menikmati apa yang sudah saya simpan dan kenakan setiap hari. Pakaian itu pada intinya tergantung pada penilaian kita, bukan oranglain. Terpenting masih dalam koridor kesopanan dan tidak mengganggu ya gak masalah. Jadi tak perlu tengok-tengok penampilan orang sehingga kita tiru-tiru. Look in aja, enjoy dengan style diri sendiri.

Pakaian saya hanya 2 laci, itu aja saya merasa kebanyakan hehe. Jika dihitung total ada sekitar 25-30 potong. Itu all in bawahan dan atasan dan gamis. Sedangkan jilbab saya hanya 8 bergo dan 8 segiempat. Untuk aksesoris, sudah lama saya nggak pakai jarum pentul lagi. Saya hanya menyimpan bros ukuran mini dalam sebuah kotak (aslinya ini kotak untuk kartu nama -_-) dari pemberian sebuah acara seminar yang mengundang.
Kalau dibuka, kotak itu hanya berisi bros favorit dan memang saya gunakan (jika pakai jilba bsegiempat).
Itulah aksesoris yang saya punya. Hehehe. Jarang dipakai jika nggak sedang kondangan atau acara formal. Itu ukurannya mungil banget aslinya 🙂
Kemudian sepatu.
Totally saya hanya punya 3 🙂
Sepatu olahraga, sepatu formal kasual dan sehari-hari.
ada lagi nggak?
Nggak ada… udah itu aja milik saya 😀
Duluuu -sebelum berbenah- saya sempat punya high heels 3 pasang, dikasih sih. Jadi momento gitu, tapi pada akhrinya saya singkirkan juga hehehehe. Soalnya kaki saya ini nggak cocok pakai sandal atau sepatu yang tinggi, bisa terkilir -_- truss ukuran kaki saya juga nggak lancip kayak model-model itu, ukuran kaki saya panjang dan lebar. Sepatu aja ukuran yang enak 40. Kalau 39 pas lah.
Oia terkait storage pakaian- selain lemari laci- saya juga punya jemuran dalam (yang ikea skubb itu) tapi skubbnya udah nggak saya pakai, tinggal jemurannya aja. Biasanya buat ngegantung cardigan atau pakaian yang sekali pakai sih. Cuma tiap 2 hari sekali kami sortir. Sedikit isinya, lebih banyak digunakan untuk menggantungkan hunger kosong 🙂
Demikian celoteh pribadi ini, ditulis dalam rangka mendokumentasikan perjalanan berbenah. Mungkin ada yang bertanya, “Mba Nik gimana penataannya di rumah?” ya gitu aja.
Dadaah ~
1 thought on “Minimalis (Part 2- Pakaian, Aksesoris, Sepatu)”