Irreplaceable
Interlude : Kelas XI
“Ra, aku janji kalau udah sampai Tokyo aku kabari kamu.” ujarnya, mantap.
Ini malam minggu, daripada aku jenuh di rumah mendengar omelan Papa dan tante, kuputuskan untuk duduk di warung lesehan, bersama Rezvan. Tadi siang aku enggak bisa menemuinya. Setelah praktik Biologi, aku harus menyelesaikan deadline artikel majalah. Rezvan sendiri sempat mengunjungi kelasku, para siswi mulai berteriak-teriak histeris, para fangirl yang enggak rela jika idolanya lewat begitu saja.
Ya, Rezvan dan geng ‘jenius’nya memang memiliki wajah berkelas, nyaman dipandang, cukup populer di sekolah. Berawal dari keinginannya masuk kelas akselerasi bersama Randi kemudian membentuk geng belajar cowok yang terdiri dari lima orang. Tentu aku enggak masuk didalamnya, selain karena aku bergender cewek, bukan anak aksel, aku hanya memiliki kecerdasan rata-rata, juga tentu aku harus menjaga rasa ini. Aku memilih berjarak dengannya setiap dia melewati kelasku, berjalan beriringan bersama geng jeniusnya.
Walaupun di luar sekolah Rezvan sudah berteman akrab denganku. Tetap rasanya beda jika teriakan siswi yang mengidolakan mereka menghalangi pandanganku di kelas.
Aku menyemburkan napas, berat. Bukan masalah karena dia mau memilih lanjut kemana, itu terserah dia, namun ini tentang perasaanku. Saat ini saja, aku merasa jauh ‘berjarak’ dengannya karena area kelas sudah terpisah. Berbeda ketika kami masih duduk sama-sama di kelas sepuluh bahkan waktu SMP. Lantas, setelah dia lulus, aku naik ke kelas dua belas, aku sama siapa? Terlalu jauh jika harus menunggunya pulang, dari Tokyo.
“Kamu beneran mau ambil S1 di Tokyo? Kenapa, Van? Apa enggak kamu pikir ulang. Maksudku, S1 dalam negeri. Nanti kalau S2 bolehlah pilih keluar.” Kulontarkan padanya tanpa kupikir lagi, beberapa bulan ke depan sudah masuk semester genap, waktuku enggak banyak.
Rezvan menatapku lekat-lekat, kemudian tersenyum. Seperti biasa, selalu dilaluinya percakapan itu dengan wajah yang sumringah, aku jadi malu sendiri dengan pertanyaan yang kuajukan.
“Ra, kamu ingat waktu kita masih SMP? Siapa yang menggebu-gebu kuliah di luar negeri? Kamu kan Ra, sejak itulah aku terbawa semangatmu. So, kemana Rayya yang kukenal selama ini? come on, dukung aku. Kamu juga, tentu bisa menyusulku.”
Tentu, aku memang bersemangat saat itu. Karena Bunda selalu memberikan semangat itu. Tapi, kini? Bunda sudah tiada, segala cacian dan bentakan keluarga di rumah padaku mulai merasuki, aku pesimis. Sebenarnya aku takut, aku takut terhadap ketakutanku sendiri. Perasaanku enggak nyaman akhir-akhir ini.
“Tapi aku masih kelas sebelas, kelas regular Van. Tahun ini kamu lulus, aku masih di bawahmu, tertinggal setahun. Kalau kamu jelas kesana, aku enggak bisa janji bakal menyusul.”
“Tenang aja Ra, jangan pernah takut dan berasumsi. Yakinlah kita bisa. Justru jika aku sudah membuktikan padamu, akan jauh lebih mudah aku membantumu.”
‘Bantu?’
Sejujurnya aku enggak mau merepotkan bahkan mengharapkan bantuan apapun darinya. Cukup bisa bercengkerama langsung seperti ini saja, aku sudah sangat bersyukur. Sebelum kembali ke ‘dunia nyataku’, rumah yang mulai memanas akhir-akhir ini.
“Ra, jangan-jangan kamu enggak rela aku pergi jauh karena kamu menyukaiku?”
Permukaan kulit wajahku terasa panas-dingin, aku jadi gugup, pertanyaan macam apa itu, huft. Walau dalam hati kecilku, seharusnya aku bisa mengakuinya.
“Dih, apaan sih Van! Yuk deh balik, udah mau isya’!”
“Hahaha, sorry Ra, bercanda! Lagipula aku tahu siapa yang seharusnya kamu sukai. Tentu itu bukan aku.”

Samar-samar suaranya mengentak lamunanku. Membuatku masih berjaga malam ini. Di meja yang berbeda, kamar kos ukuran delapan meter persegi. Dengan status yang berbeda dan alam yang berbeda.
Rezvan, lelaki yang haus ilmu pengetahuan. Lelaki yang setia menemaniku sejak kami bertetangga di Golden River –perumahan elit yang menyakitkan itu. Lelaki yang cerdas, ceria namun mampu memahamiku dengan sempurna. Selalu hadir di setiap masalah yang kuhadapi. Lelaki yang aku rindukan, hingga kini.
Sejak itu, aku kunci hatiku erat-erat. Menunggu takdir yang menjalankan, kepada siapa aku harus menetapkan. Konon, ada dua hal di dunia ini yang akan menentukan kebahagiaan selama-lamanya. Yaitu memilih pasangan hidup dan memilih pekerjaan. Aku enggak mau gegabah dalam menaruh rasa, untuk saat ini aku harus fokus pada proses akademik ini, berjuang sendiri, sebagai mahasiswi.
Rezvan sudah menjadi kenangan. Mungkin sudah saatnya kuucapkan selamat tinggal dan mengikhlaskannya.
Kamar Kos Pukul 23.00
Kututup diary dan potongan fotonya, sudah menginjak tengah malam. Mataku mulai terasa berat. Duh, begadang lagi. Semoga besok jam kosong prokom bisa kugunakan untuk belajar, malam ini aku enggak bisa membuka materi sama sekali.
Aku harus mengulang-ulang bacaan materi mid semester. Akhir-akhir ini aku malah sibuk membaca buku self improvement. Buku genre itu memang jarang aku temui di sekolah, di bangku kuliah ini betapa melimpah ruah. Aku mulai terkantuk-kantuk, sambil tetap menyesal, mengutuki diriku yang enggak bisa membagi prioritas aktfitas.
Diriku tidaklah secerdas kenangan Rezvan dan Randi saat SMA, aku harus lebih giat dibandingkan mereka. Dengan demikian, nilaiku bisa stabil. Tentu ini demi jatah beasiswa yang menjadi tumpuanku sejak semester pertama disini.
Kuaduk isi tas, kutemukan dua lembar uang lima ribuan. Mulai aku catat pengeluaran hari ini, aku total, mataku membelalak, pengeluaran memang lagi besar-besarnya. Ditambah aku harus ngeprint berkali-kali untuk tugas gambar yang semakin menggila. Kugigit bibirku, sepertinya aku harus rajin puasa lagi. Jelas jatah makanku harus rela kupangkas untuk keperluan tugas.
Nyamuk mulai mengerubuti, lengan dan kaki menjadi santapannya. Sadar, jendela kamar lupa belum kututup. Bergegas beranjak dari duduk, aku buka gagang pintu kamar, mendorong kuat-kuat jendela dari luar, aroma got terendus sangat pekat, anyir. Kututup hidung dan bergegas masuk lagi, semua deretan kamar kanan-kiri sudah rapat dan lampu nampak gelap. Sepertinya sudah pada terlelap.
Aku enggak terlalu mengenal penghuni kos ini siapa saja, semua nampak sibuk, individualis. Seingatku enggak ada satupun teman kelasku yang mau tinggal disini. Kamar kos murah yang berdekatan dengan saluran pembuangan air berbagai tempat. Walaupun sudah ditutup berkali-kali tetap saja selokan itu meluber, mampat, dampak dari sampah yang dibuang sembarangan.
Setelah kututup pintu dari dalam, segera kupasang hit electric. Mataku semakin memberat, refleks kuraih ponsel untuk mengalihkan fitur ponsel, mengubahnya menjadi mode flight. Ini tips dari Riki, supaya aku bisa tidur sehat. Menghindari radiasi elektromagnetik ponsel saat sedang tidur.
Selesai berdo’a, aku melesakkan diri kedalam selimut. Sudah enggak kuat mata ini untuk cek notifikasi ponsel yang sengaja aku mute sejak sore tadi.
Samar-samar bayangan itu hadir lagi, Rezvan. Tersenyum. Segera aku enyahkan kuat-kuat. Sudah setahun tanpanya, tanpa jejak. Jujur ini berat, tanpa ada siapa-siapa lagi yang peduli. Aku menyesal enggak menahannya, namun aku jauh lebih marah pada sahabatnya sendiri, Randi.
Air mataku kembali menitik, hanya do’a yang mampu kupanjatkan, menguatkan diri di masa krisis seperti ini.
Dini hari, pukul 3 pagi.
Jam beker berbunyi nyaring, nyaris membuatku terlompat, ternyata bunyi dari kamar sebelah. Kutengok layar ponsel, masih menunjukkan pukul 3 pagi. Kepalaku mengaduh, terasa pusing. Sadar aku baru saja memejamkan mata beberapa jam lalu, belum pulas total justru aku terbangun. Kenapa orang sebelah membunyikan alarm keras-keras di saat mataku masih perlu waktu untuk beristirahat?
“Kalau kamu mau lancar kuliah, jangan pernah tinggalkan tahajud Ra.”
-Riki
Kalimat merdu, nasihat Riki terngiang di telinga, suara yang selama ini membuatku nyaman dan ingin selalu berjumpa dengannya di perpustakaan. Riki enggak hanya memberi nasihat, namun dia justru sudah menerapkannya, lama. Katanya hal itu sudah menjadi rutinitasnya dari SMA.
Mungkin Tuhan sudah berikan jawaban, jika Rezvan tidak lagi hadir, digantikan langsung oleh Riki. Aku jadi senyum-senyum sendiri, rasanya baru kali ini aku menemukan teman dekat lagi. Enggak hanya dekat di mata, tapi dari segi emosi dan spiritual begitu kental menyusupi.
Aku putuskan untuk bangun, daripada tertidur lagi malah kesiangan. Tertatih kulangkahkan kaki keluar kamar, dingin menusuk-nusuk kulit. Kulit yang beberapa menit lalu masih bergelung dengan selimut. Kuedarkan pandangan fokus ke kamar mandi, ruang kecil itu nampak menyala dari luar. Sepertinya ada orang.
Sudah tiga bulan tinggal disini aku jarang berjumpa dengan penghuni kamar. Pernah sekali bertatap wajah itupun mereka cuek, enggak peduli. Sama sepertiku.
Tapi pagi ini, ada yang aneh. Sebelah kanan kamarku memasang alarm keras sekali. Bahkan pintu kamarnya masih setengah terbuka, seperti buru-buru, dia menuju kamar mandi luar -yang memang paling dekat kamar dan hanya itu satu-satunya.
“Hai, tetangga kamar ya?” seorang perempuan- usianya seperti terpaut lima tahun lebih diatasku- bergegas keluar kamar mandi
Perempuan itu menyalamiku, tangannya masih basah. Aku lemparkan senyum tipis, memberi kode bahwa perutku mulas. Perempuan itu memaklumi, kemudian berjalan cepat meninggalkanku.
Selesai membuang hajat. Tubuhku terasa segar kembali, rasa kantuk hilang, aku niatkan untuk sekalian mandi, berwudhu dan tiba di kamar, kugelar sajadah. Aku teringat pesan Riki, jika ingin mudah menerima materi, perbanyak sujud, sholat tahajud dan berdoa sebelum belajar. Kemudian lakukan dengan sungguh-sungguh, tekun.
Hal itu bisa aku terima dan kerjakan, sayangnya beberapa pekan ini perut serta kepalaku mulai terasa berputar. Mungkin efek kurang makan.
Kemarin, aku harus membagi potongan rotiku lebih kecil dari biasanya. Pengiritan akhir bulan. Hari ini kuniatkan puasa saja. Tepat hari kamis pula. Jika aku niat puasa biasanya perut enggak ikutan sakit. Kalau enggak puasa, telat makan sedikit saja, aku harus bergegas menuju medical centre, berobat gratis disana, menggunakan kartu mahasiswa.
Beep..beep..beep…

Panggilan masuk : R A N D I
Aku terhenyak, heran saja, sepagi ini kenapa harus calling?
Ponsel terus bergetar, sekali, dua kali, kubiarkan saja, biar dia berasumsi kalau aku masih tidur. Kemudian sunyi, ponsel enggak bergerak-gerak lagi.
Sebuah pesan masuk.
Rayya, jam kosong prokom mau kutraktir? – Randi
Kudiamkan saja. Enggak berapa lama, sebuah pesan masuk lagi. Tetap dari orang yang sama, Randi.
Ra, kalau kamu ada kesulitan please bilang ya. aku pasti bantu, kamu jangan nolak aku terus – Randi
Jujur saja, aku agak risih setelah dia mengumumkan di jurusan ke angkatanku, siapa saja yang membuat masalah dengan Rayya akan berhadapan dengannya. Emang siapa dia? aku justru masih enggak menerima perbuatannya yang menurutku begitu fatal. Menukar tiket pesawat Rezvan. Walaupun itu bukan murni kesalahan dia, namun, argh sudahlah. Pokoknya aku enggak terima alasannya, apapun itu.
Ponsel kembali menunjukkan sebuah pesan baru. Hampir saja aku block nomornya, ternyata yang muncul pesan yang berbeda. Kusimpulkan senyum, Riki.
Ra, hari ini aku enggak ke perpus. pulpen gambarku kamu bawa lagi aja, besok aja kita ketemu. Pagi ini mendadak ada urusan keluar kota. – Riki
Riki, walaupun enggak pernah menanyakanku butuh apa, selalu dengan sikapnya, dia bawakan peralatan yang memang penting untuk kupinjam. Pensil gambar, tinta, pulpen, rapido semua dia punya. Bahkan aku bisa meminjam hingga membawanya pulang.
Padahal Riki belum mendapat tugas gambar, di semester pertama ini justru tugasnya murni hitungan semua. Fisika dasar. Kertaspun aku bisa meminta bantuannya, nitip beli, kadang kalau lagi hoki justru Riki membawakannya lebih, padahal uangku hanya cukup untuk membeli selembar saja. Katanya “jaga-jaga Ra, siapa tahu dicoret dosen lagi.” Siapa yang enggak cheesy kalau sudah seperti itu.
Setelah sholat subuh, aku beres-beres peralatan dan buku yang bertebaran di lantai kamar. Rencana hari ini aku menemui Luna, katanya ada lowongan kerja paruh waktu untuk mahasiswa semester satu. Entah apa pekerjaannya, aku belum tahu. Katanya bisa dipilih sesuka hati. Pekerjaan apa yang bisa kita plih sesuka hati?
Panggilan telepon kembali masuk, tetap dari orang yang sama, Randi. Terpaksa harus kuangkat, jika enggak, aku takut menjadi masalah hari ini.
“Halo, ada apa Rand?”
“Ra, please hari ini mau kutraktir?”
“Nggak bisa, aku puasa.”
“Kalau gitu nanti pas buka puasa, maghrib? atau besok?”
“Nggak bisa, aku sibuk.”
“Mau cari alasan apa lagi sih Ra? kemarin kamu ke jurusan memang sudah betul menemuiku tapi kamu enggak bicara apapun. what the…?“
“Sudahlah Rand, beri waktu aku untuk bisa mengatasi masalahku sendiri.”
“Masalahnya kamu tuh selalu merasa bisa sendiri Ra!”
“Ya, kenapa? emang apa urusannya denganmu!”
“Ra, ingat bunda.. Ra… Bunda pernah bilang…”
“Udah, cukup! enggak perlu bahas itu lagi. Dah!”
Kututup ponselku, senjata utama Randi setiap kali aku menolaknya selalu mengingatkanku pada almarhum bunda. Tentu itu membuatku terus merasa bersalah, dia memang enggak berempati, enggak memahami.
Beberapa detik kemudian, ponsel berkedip, nampak sms masuk bertubi-tubi. Seperti biasa, ucapan minta maaf darinya, yang sudah berapa kali tak bisa kuhitung lagi.
Air mataku menderas. Sesak rasanya jika dua kata itu diungkit lagi, ‘Rezvan’ atau ‘Bunda’. Sudah seharusnya aku enggak akit hati, tapi tetap saja dada ini ngilu, nyeri.
Sepertinya aku harus segera keluar kamar kos, supaya kepala ini terasa lebih ringan dan segar. Kuraih ponsel, tas dan hoodieku. Kali ini aku mau menghubungi Luna, satu-satunya teman yang masih agak nyambung denganku saat ini. Kemarin aku sempat mendengarnya membahas masalah kerja paruh waktu.
Luna, jam 9 ketemu di selasar ya. Bawa brosur yang kamu janjikan kemarin. -Rayya
Sms terkirim, aku tutupi rambutku dengan kepala hoodie, kugantung tas di lengan, kukunci kamar. Menuju kampus.
*lanjut ke chapter 3