CERBUNG KARYAKU

Penyendiri – Chapter 6

A Walk to Remember

Kering. Panas.

Kurogoh saku baju, kosong, di kantong celana hanya menyisakan uang lima ribu selembar. Tentu ini menyakitkan, lebih-lebih saldo ATM sudah enggak bisa ditarik. Kuembus napas, berat. Dimas masih sholat Jum’at, aku menunggunya di kantin pusat dekat pelataran masjid.

Untuk Chapter ini, lagu ini tepat untuk mengiringi kelanjutan kisah Rayya.

Botol minumku sudah kosong, aku harus berjalan memutari masjid untuk menemukan keran air minum gratis. Khutbah Jum’at masih menggaung, kupikir, jika aku meninggalkan tempat dudukku sejenak, enggak ada salahnya. Sebab aku tetap butuh minum walaupun enggak bisa membeli pengganjal perut dari selembar uang lima ribu. Setelah ini, aku enggak bisa menebak apa lagi yang akan kulalui.

Ya, dalam hidup ini, waktu bergulir begitu cepat. Aku yakin selalu ada jalan dan aku kuat melaluinya -sendiri- walaupun aku enggak yakin 100%.

Selesai mengisi air botol di keran, nampak area kantin pusat mulai ramai. Aku enggak nyaman jika berada di gerumulan sana. Kuputuskan untuk duduk di kursi taman dibalik pohon besar yang cukup teduh.

Sayup-sayup kudengar suara cekikikan beberapa cewek, aku enggak mengenal mereka, sepertinya dari jurusan lain. Tapi seperti familiar wajahnya, dugaan kuat mereka satu fakultas denganku, sayangnya aku enggak mengenal satupun namanya.

“Kasihan ya, sudah setia, si fangirl kini telak tertolak. Mana ditolaknya enggak masuk akal pula.” Kata cewek A.

“Iya, aku enggak bisa membayangkan, kenapa seberani itu menembak kak Randi. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula, memalukan.”

“Tapi ada hal yang lebih aneh lagi, katanya itu karena Kak Randi menyukai cewek lain. Kalian tahu?”

Serempak mereka nampak menggeleng, aku beringsut, intinya aku enggak mau mendengar kelanjutannya. Daripada semakin memperparah keadaan batinku, urusan dengan Luna belum selesai, kini ditambah gosip enggak jelas dari mereka. Kuputuskan untuk segera pergi dari sini.

Beberapa langkah dari sana, aku mulai berpikir ulang. Apakah keputusanku menemui Dimas merupakan langkah yang tepat. Menurutku, menunggu Dimas selesai sholat, enggak akan membantu banyak, aku justru ketakutan jika pada akhirnya menimbulkan masalah baru.

Aku bayangkan seandainya aku ketahuan menemui Dimas, gosip merebak, bukannya menolongku, bisa jadi ini menambah masalah baru.

Sebaiknya aku segera pulang. Tapi aku harus ke jurusan terlebih dahulu, ada selembar tugas yang belum aku kumpulkan.

Aku berjalan memutar, melangkah cepat. Tanpa perlu konfirmasi ke Dimas -enggak masalah, nanti saja, alasan sudah kusiapkan, perutku sakit. Aku yakin bisa mengatasi masalah ini, sendiri. 

Sejujurnya, aku enggak mau bermasalah dengan siapapun apalagi dengan seorang teman yang cukup baik seperti Luna. Sayangnya, nomorku yang diblok mendadak. Aku takut ada berita yang beredar kurang baik di jurusan terkait hubunganku dengan Randi- seperti yang sekumpulan cewek tadi katakan. Padahal selama ini jelas aku enggak ada hubungan apapun, walaupun Randi tetap konsisten menghubungiku.

Kini harus kuakui, seharusnya aku enggak mengharapkan komisi apapun, baik pada Luna maupun Randi terkait dagangan parfum itu. Aku tentu kecewa setiap mengharap apapun kepada manusia. Sebab ujungnya pasti ada saja masalah.

Sekelebat bayangan Rezvan nampak di langit-langit awan, seolah mendorongku untuk segera berbaikan dengan kawan dekatnya, Randi. Aku menggeleng, aku yakinkan kembali diriku bisa.

Perutku mengaduh, kali ini aku enggak bisa menahan lagi, aku butuh bantuan. Satu-satunya yang bisa kuhubungi tentu Riki. Biasanya dia segera gerak cepat setiap aku meminta tolong padanya. Bergegas kukeluarkan kabel, aku cari colokan yang tersedia di sepanjang pilar bangunan depan Perpus. Ponsel kunyalakan sambil charging. Tepat di selasar depan perpustakaan yang agak sepi ini aku berdiri, air mataku menetes lagi. Nyeri.

Rik, kamu bisa bantu aku enggak? – Rayya.

Pesan itu kulayangkan. Kutunggu semenit, dua menit, lima menit. Status pesan enggak seperti biasa, hanya tercentang satu kali, artinya pesan tertunda.

Aku embuskan napas, berat. Posisi jongkok membuatku kesemutan, aku pun mencoba bangkit, ingin segera berlari menuju jurusan. Sayangnya kakiku terasa membeku, tertanam pada lantai, pandanganku berputar, kabur. Aku begitu ketakutan, ada apa dengan tubuh ini?

Kusandarkan badan ke dinding, semakin lama terasa panas, aku mencoba menarik napas dalam-dalam, seketika hawa dingin begitu menusuk, sekujur badan terasa kebas. Entah apa ini namanya, antara demam, mata sangat panas dan kabur, napas tenggorokan seperti tercekik. Posisiku semakin melorot, aku terduduk kepayahan. Sakit semua, jiwa dan raga.

“Kamu angkatan baru ya? kamu kenapa?”

Seorang cowok berkemeja biru menghampiriku, aku duduk terdiam, lidah kelu, terasa pahit, panas. Aku enggak bisa menjawab, kepala bagian belakang terasa ditusuk-tusuk.

“Kamu yang biasa dihampiri Randi bukan?”

Lelaki itu menyelidik, seolah aku ini artefak kuno yang baru diangkat dari gundukan pasir, gersang.

Aku melenguh, merasakan badan yang menggigil tak karuan ditambah perut yang semakin memelintir, nyeri disertai dada yang terbakar. Aku tak lagi fokus dan peduli siapa yang hendak bicara denganku kali ini.

“Oh, ya! aku tahu namamu Rayya kan. Salam kenal ya, aku Ignatius, panggil aja Ino. Aku salah satu dari teman lab Randi. Kamu seperti lagi kurang sehat?”

Karena aku tak menjawab sepatah katapun, Ino sepertinya amat cemas. Aku hendak bangun, menjelaskan kalau aku terserang gerd ketiga kali ini, dan ini terparah. Sayangnya sekeliling tiba-tiba nampak buram, pandangan terasa kabur, aku enggak ingat selain teriakan panik yang keluar dari mulutnya. Badanku seperti diterbangkan angin dan semakin ringan. Aku enggak tahu, sebenarnya apa yang terjadi detik ini.

Ketika mataku membuka, sekeliling nampak jarum infus, obat-obatan dan seorang suster yang tersenyum manis.

Melihatku mulai sadar, suster itu memanggil seorang dokter yang paras wajahnya mengingatkanku pada almarhum Oma. Teduh penuh kehangatan.

“Apa yang sekarang saudara rasakan?”

Aku tunjuk mataku, terasa panas. Hei, aku menangis, lebih tepatnya aku sedikit panik. Sepekan ini memang kurang teratur makan, perut nyeri.

“Nyeri lambung, dok.” Jawabku, singkat.

“Apakah disertai heartburn?” Dokter mulai memberikan pertanyaan yang agak detail.

“Iya benar, sudah dua kali sepekan ini Dok.”

“GERD itu, bukan magh, otot kerongkonganmu bisa jadi lemah, kamu harus banyak istirahat.”

Dokter dan suster itu pun berlalu, kemudian muncul lelaki yang terakhir kutemui di depan perpustakaan.

“Ra, aku Ino, kamu pasti lupa, aku yang jaga laboratorium pipa. Ah tentu kamu enggak mengingatku. Anyway, lekas sembuh, di luar sudah ada yang berhak menunggu dan menjagamu. Maaf aku harus pamit, ada urusan di kos.”

Menunggu? menjaga? siapa?

Lelaki itu tersenyum, menengok jam tangannya berkali-kali, mengusap peluhnya, seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku. Tapi aku enggak terlalu menangkap apa yang tersirat itu.

“Thanks, maaf merepotkan.” Jawabku, enggak perlu basa-basi, kerongkonganku benar terasa lemas, sakit digerakkan, benar yang dokter tadi katakan, ini serangan gerd terparah yang aku alami.

No worries, get well soon.”

Setelah punggung itu menjauh, dari balik pintu kaca, muncul sosok yang tak asing, berganti masuk, menuju kursi samping ranjang. 

Randi?

Entahlah, semakin aku berusaha menjauhinya semakin mendekat dia padaku. Jujur saja, aku masih belum bisa berdamai dengannya. Di masa lalu bahkan hingga detik ini. Ada banyak hal yang enggak membuatku yakin pada sikapnya. Tapi entahlah, aku enggak tahu itu apa, hanya sekadar insting belaka. Di detik ini aku justru berharap keajaiban lain, ada Riki membawaku pergi. Namun itu tentu suatu hal yang mustahil.

Wajah Randi nampak sangat cemas, dia mendekatiku dan tanpa keluar sepatah katapun diambilnya sepiring bubur pada nakas samping ranjangku. Ia mulai menyendok dan mengarahkannya padaku, memberi kode, agar aku mau menelannya. Seperti kerbau dicocok hidungnya, aku tak bisa melawan. Untuk apa? aku hanya butuh sembuh.

“Ra, kali ini kamu harus menerima tawaranku. Senin, kamu harus sembuh.”

“Tawaran apa?”

“Apartemen.”

“Bukan, itu bukan apartemenku Rand. Itu apartemenmu. Please, bawa aku pulang ke kosan aja!” Suaraku hampir enggak terdengar, percuma aku berteriak, tenggorokanku malah semakin sakit.

“Kosan kamu itu kotor Ra, enggak sehat. Kamu enggak menghargai Rezvan kalau kayak gini terus!”

Mendengar kata ‘Rezvan’ dia sebut lagi, aku tergugu. Ya, aku memang keras kepala, aku hanya takut kenangan itu menusukku lagi. Aku masih belum bisa sepenuhnya menerima apartemen itu.

Jadi, kamu menolongku hanya karena Rezvan? Lantas, apakah dulu menembakku juga demikian, Rand?

Randi

Kutatap wajahnya, yang ada justru wajahnya berbalik menatapku, kembali menusuk, menghujam. Rasa bersalahku yang begitu dalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *