Pikiranku kembali ke ujung gang kosan. Masih kurekam kuat caranya berpamitan, aneh, kaku, kemudian muncul lelaki yang mirip body guard mengantarku pulang. Rik, ada apa denganmu? Kamu tuh siapa? Selama ini aku enggak pernah cerita apapun tentang hal pribadi, bahkan tentang Randi padanya.
Jujur saja. Penampilan Riki terakhir, seolah merecall kenangan manis itu.
Bagaimana enggak manis? Lengkung senyumnya begitu sempurna, hadir tergesa pula. Aku berharap setelah ini dia enggak ikutan menghilang. Seperti Rezvan. Namun, Rezvan, aku hapal betul, ini foto dia. Kenapa ada di album ini? Dan sangat jelas dua buah buku kosong itu enggak memberikan petunjuk apapun.
“Ra! Mau pesan apa?”
Aku terkesiap, Randi menyodorkan lembaran menu ke hadapanku. Kemudian dia menarik kursi di depanku. Kami duduk berhadapan. Randi sibuk melurus-luruskan secarik kertas dan menggoreskan pulpennya, oh dia siap membuat list pesanan.
“Kamu sendiri apa? Aku enggak punya uang, ngikut kamu aja.”
Sebenarnya kalimat itu upayaku ‘cari aman’ saja. Ketika Randi tiba di depan kamar, aku bimbang, aku takut justru dia menolak kejadian aneh yang menimpaku dengan tuduhannya seperti yang sudah-sudah. “Ra, kamu sedang tertekan, kamu stress, sebaiknya istirahat, jangan memikirkan hal yang aneh.”
Daripada tuduhan itu dia hujamkan lagi, aku memutuskan bahwa aku memang sedang ketakutan. Mungkin efek dari bermimpi, aku berjumpa Rezvan. Padahal faktanya, Riki telah meninggalkan jejak aneh pada tote bag yang dia berikan tadi siang. Air muka ketakutanku Randi selesaikan dengan cara membawaku ke restoran, makan bareng. Katanya, aku terlalu banyak mikir, kurang akan. Well, itu lebih baik, daripada aku melibatkan dia dalam urusan yang agak rumit ini. Kuremas jari jemariku, aku harus bisa memecahkannya sendiri.
“Tenang aja, aku yang bayar. Lagipula udah lama banget kita enggak makan bareng lagi.”
Enggak makan bareng?
OH. Ya aku ingat terakhir aku dan Randi makan bareng Rezvan tiga tahun lalu. ketika kita masih sama-sama duduk di kelas regular. Kelas sepuluh, seragam abu-abu yang masih baru.
Hingga suatu hari, Randi menembakku sedangkan hatiku sepenuhnya untuk Rezvan. Dan perasaan Rezvan sendiri? Entahlah, aku enggak pernah tahu. Hingga kematian itu menjemputnya, tak ada jejak ungkapan apapun darinya. Namun hari ini, aku seperti menemukan petunjuk baru. Besok aku akan memulai meneliti satu per satu isi kotak itu.
“Aku pesan fruit tea dan fish & chips ini, enggak pedas. Thanks ya Rand.”
Cepat-cepat kulipat buku menu itu, takut malah lapar mata. Seandainya ada nasi padang atau minimal menu yang ada nasinya tentu aku akan memesan itu. Sayang, resto ini terlalu jual mahal menurutku. Masa segelas air putih dihargai sepuluh ribu? Kalau uang sepuluh ribu bisa aku tambah dengan limaribuanku yang tinggal selembar, jadi deh itu sebungkus nasi padang kan, aku jauh lebih kenyang.
“Yakin ini aja Ra? Enggak nambah dessert?”
Aku menggeleng, kurasa itu akan semakin menjebol uang saku Randi. Enggak mungkin aku setega itu. Dan tentu aku harus membatasi jarak, enggak mau terus meminta padanya, bisa-bisa malah jadi ketergantungan.
Khusus hari ini, aku enggak bisa berbuat apa-apa. Seharusnya aku bersyukur Randi enggak mencurigaiku. Sikapku memang agak labil akhir-akhir ini. Walaupun demikian, aku enggak akan melupakan begitu saja. Aku sudah siap mencatat segala materi yang dia keluarkan untukku hari ini.
“Ra, jadi maksudmu apa? Rezvan hidup, kamu jumpa dimana?”
Aku tersentak, kukira ini obrolan yang seharusnya aku tarik kembali. Setelah kupikir ulang, sebaiknya enggak melibatkan Randi untuk hal ini. Aku takut.
“Aku merasa dia masih ada, hingga detik ini aku merasa demikian. Apa aku berhalusinasi?”
“Ra, sampai kapan?”
Randi mulai membuka percakapan. Sambil menunggu pesanan datang.
“Apanya sampai kapan? halusinasi? entahlah.”
Randi menghela napas, berat. Entah apa yang ada di pikirannya, bukannya menanggapiku. Dia malah membuang muka, sedikit kesal.
Beruntung pesananku sudah datang, menyusul pesanan Randi. Kamipun menyantapnya hingga tandas, makan bareng tapi tanpa suara. Selain iringan musik yang semakin syahdu.
Jika seandainya jadi Randi, tentu aku akan lebih memilih makan di warung prasmanan atau warteg. Disana lebih bebas, murah meriah dan misalnya mau nambah nasi atau kuah enggak akan dihitung totalannya. Mau minta air putih dan isi ulang botol juga enggak dihitung. Bebas makan banyak untuk anak laki. Namun, aku sendiri enggak pernah makan nongkrong di warung. Selalu aku bungkus dan kupilih jam-jam sepi. Jika hadir di jam makan, fiuuh bisa-bisa pingsan kelaparan. Antrean Panjang.
Randi. Tetangga baik ketika kami masih satu komplek, di golden river. Perumahan elit yang hanya dimiliki oleh belasan keluarga. Unitnya terbatas, hanya orang-orang tertentu mampu tinggal disana. Rezvan dan Randi adalah teman sejak SMP. Papaku berhasil membangun perusahaan besar yang tentu godaannya semakin berat dari hari ke hari. Hingga kemudian, suatu hari Bunda syok.
Ada seorang wanita membawa dua anak kecil mengaku sebagai istri kedua papa. Tentu itu mustahil bagi kami, karena selama ini Papa baik-baik saja. Bahkan ketika Bunda sakit, selalu memberikan pengobatan terbaik untuknya. Bagiku, papa itu malaikat.
Hingga kematian menghampiri bunda, semua keluarga besar papa mulai menampakkan wujud aslinya. Satu per satu menjauhiku, mereka mulai tertarik dengan perjodohan papa dengan calon istri barunya. Dan akhirnya, beginilah. Diriku sebatang kara. Tak tahu lagi harus bernaung pada siapa. Selain terus berusaha berbuat baik, sekecil apapun.
“Ra, udah makannya?”
Aku tersentak, segera kuhirup gelasku. Tentu gelas ukuran mini -menurutku- serta segenggam makanan yang tadi kupesan langsung tandas dengan cepat. Sengaja aku ambil dikit-dikit biar enggak cepat habis. Jaga image?
“Udah. Mau langsung balik Rand?”
“Oh, enggak. Tadi pertanyaanku enggak kamu jawab.”
“Yang mana? Apartemen? Aku janji bayar cicil ya, itung-itung bisa jadi investasi. Yaaa…ukuran mahasiswa lah Rand. Gapapa ya?”
“Bukan itu, kan apartemen itu udah atas namamu Ra. Tapi sertifikat masih aku pegang. Itu apartemen titipan dari papamu. Walaupun sudah dijual ke keluargaku tapi aku sudah janji, aku menebusnya sendiri. Untukmu.”
DEG! Papa?
“Sejak awal aku hendak ceritakan ini padamu, tapi aku tahu, kamu masih memendam perasaan kurang nyaman itu. Jadi, aku tunggu hingga waktunya pas…”
“Kurang nyaman? Aku…aku enggak benci papa kok, aku hanya benci sikap dia dan keluarganya. Mencoret namaku dari…”
“Ya, itu yang mau aku jelaskan Ra. Masih mau dengar?”
“Kamu, membelinya, pakai uang siapa? Jadi, anggap saja aku berhutang padamu, Rand.”
Randi enggan menanggapi, senyumnya saja yang masih melekat.
“Enggak perlu dipikir. Oia, kamu akhir-akhir ini suka mimpi buruk. Apa sebaiknya kita ke psikolog saja. Aku juga belum bisa berdamai dengan kenangan Rezvan juga kok, Ra.”
Oh, jadi maksudnya ‘sampai kapan?’ itu artinya ‘Sampai kapan gakbisa move on dari Rezvan?’
Tentu, sampai aku menemukan jodohku.
Aku menggeleng, aku takut. Tapi apa salahnya jika enggak dicoba?
Aku belum bisa menjawab sekarang, pikiranku masih tertinggal di kamar. Kenapa bisa Riki berfoto dengan Rezvan? aku masih yakin, entahlah, Rezvan hingga kini masih hidup. Aku yakin banget.