Pagi ini, diawali dengan kondisi badan anak sedang panas, saya sendiri sedang batuk dan lemas. Jadinya saya tidur pagi dan terbangun sekitar pukul 8. Seharusnya jadwal anak sekolah, namun karena kondisi tak memungkinkan, semua off.
Singkat cerita, setelah anak mandi dan ngemil, saya tak tahu kalau dia bermain di depan rumah. Tahu-tahu, anak tetangga mendatangi saya, seperti biasa, selalu melaporkan kejadian di depan jika ada hal yang tak berkenan.
“Itu, anaknya lempar batu ke got rumahku, udah dibilangin sama umiku, tetap gakmau, malah ngambek.” Sahutnya.
Saya tentu panik, biasa, reaksi pertama di saat kondisi hectic di dapur, saya segera berlari ke depan. Saya lihat anak saya tersungkur, menangis, tampak sedih luar biasa. Segera saya angkat dan bawa pulang.
Ingin rasanya ngegas saat itu juga, berceloteh panjang kenapa dia malah main ke depan tanpa izin sehingga bisa dianggap ‘mengganggu’ tetangga, namun saya coba atur napas, saya tahu, tak ada satu pun anak yang ingin merusak atau melakukan hal yang tak patut. Tapi BAGAIMANA CARA KITA BERKOMUNIKASI LAH yang menentukan.
Selama ini, saya terlalu sering mendengar omongan orang, saya tak jarang ikut terbawa emosi saat anak melakukan hal -yang menurutnya itu eksplorasi, namun menurut orang dewasa itu menjengkelkan. Saya kadang merasa malu kenapa anak saya begitu. Walau demikian, ketika anak orang berkunjung ke rumah dan membuat ‘keonaran’ saya tak pernah sekalipun berani menegur anak orang, merasa takut. Saya kadang sampai marah besar ke diri sendiri, merasa kerdil jika sudah ada beberapa laporan tetangga yang merasa gerah dengan tingkah polah anak saya yang super kinestetik. Sampai saya benar-benar sedih dan merasa tak siap jika mau menambah anak lagi. Sebab, anak saya satu ini aja sudah sering ditegur. Namun, lagi-lagi, saya tahan emosi. Saya coba redamkan diri dari dalam rumah.
Segera saya cek kondisi anak saya. Saya sentuh punggung dan dahinya, panas. Badannya juga sama, panas, kakinya tampak memar, terluka. Saya minta ia cuci kaki setiba di rumah, dan saya oleskan minyak butbut. Setelah saya merasa tenang, saya ajak bicara heart to heart.
“Sayang, kenapa tadi seperti itu? (Melempari kerikil ke got)” pertanyaan yang dari depan rumah aku tahan, langsung seketika, to the point. “Itu got tetangga nak, jangan ya, tidak baik itu.”
Anak saya memutar bola matanya, bersiap meledakkan tangis, saya tahu, walau dia laki-laki, tapi perasaan dan batinnya cukup peka. Saya izinkan dia menangis, antara dia merasa tak nyaman atau dia takut saya marahi.
“Bi..Biar kayak Abi mi.. Bi, biar gak ada nyamuk, bi, biar gak banjir…” ia terisak sambil memeluk saya.
Seketika saya paham, maksudnya itu apa. Kami di rumah memang tak menggunakan got, semua aliran air grey water dari dalam rumah, dialirkan ke sumur resapan. Dari sumur resapan itulah salah satunya diisi dengan kerikil atau batu. Saya jadi paham, mungkin dia melihat got tetangga demikian, ia jadi ingin membuat sumur resapan ala dirinya, di selokan tetangga namun tak paham teori dan aplikasinya.
Segera saya peluk. Saya sadar, yang mampu melihat kebaikan anak sebenarnya hanya diri saya sendiri, sebagai ibu yang mengandungnya. Saya langsung putar memori kebaikannya, mulai dari membangunkan salat subuh, membantu ngepel, bantu cuci piring, bahkan saat saya haus dia juga ambilkan minum, saat saya sakit, ia bantu pijit dan balurkan minyak. Anak saya adalah anak yang baik. Saya tak boleh marah. Hanya karena sebab sepele yang sebenarnya bisa disikapi dengan bijak oleh orang dewasa jika paham ilmunya.
Mungkin selama ini saya terlalu mendengar omongan orang, sehingga menutupi segala kebaikan dan sikap baik anak saya.
Saya jadi teringat pada sebuah buku yang sudah lama saya miliki namun belum 100% saya aplikasikan. Sebuah teknik komunikasi agar anak mau mendengarkan, How to talk so little kids Will listen. Bismillah…
Details
- Judul buku : How to Talks So Little Kids Will Listen, survival guide to life with children Agnes 2-7
- Penulis : Joanna Faber & Julie King
- Bahasa : Inggris
- Jumlah halaman : 283 (ebook)
- Penerbit : Scribner
- Tahun Terbit : Januari, 2017
Isi Buku
Buku ini terdiri dari 2 bagian (2 part)
Part pertama, membahas tentang alat penting yang dibutuhkan (the essential toolbox) dalam berbicara dengan anak, terdiri dari 5 seperempat bab (5 1/4 chapter).
Part kedua, membahas tools saat mempraktikkannya (the tools in action).
Part 1 – The Essential Tools Box
- Chapter 1 : Tools for handling emotions
- Chapter 2 : Tools for engaging cooperation
- Chapter 3 : Tools for resolving conflict
- Chapter 4 : Tools for praise and appreciation
- Chapter 5 : Tools for kids who are differently wired
- Chapter 5 1/4 : The basic (you can’t talk your way out of these)
Part 2 – The Tools in Actions
- Food fights.
- Morning madness.
- Sibling rivalry.
- Shopping with children.
- Lies (berbohong).
- Parents have feelings, too.
- Tattling (mengadu).
- Clean-up.
- Doctor’s orders.
- Shy Kids.
- Little Runaways.
- Hitting, Pinching, Poking, Punching, Pushing (Memukul, Mencubit, Menusuk, Meninju, Mendorong).
- Sleep.
- When Parents get angry.
- Troubleshooting.
Nah, dari keseluruhan itu, intinya saya rangkum saja ya. Detilnya bisa baca buku tersebut dengan seksama.
Disclaimer! Untuk parenting, kembali ke style kita masing-masing,
Resume
Pada dasarnya kita ingin seseorang mendengarkan diri kita dan mengakuinya. Pun demikian dengan anak atau kita sebagai orangtua yang ingin menanamkan nilai pada anak.
(bersambung) – kalau sudah ada waktu, dilanjut lagi.
2 thoughts on “[Review Buku] How to Talk So Little Kids Will Listen”