DAILY

Sampah Emosi : Dibiarkan, Dipendam, Dibuang atau Diolah?

Hari ini, saya ingin membahas hal yang saat ini menjadi topik KLIP yang InsyaaAllah mungkin sesuai dengan teman-teman butuhkan saat berselancar di blog ini. Yaitu tentang sampah emosi.

Apa itu sampah emosi? Apa penyebab dan ciri-cirinya? Bagaimana cara mengatasinya?

Disclaimer! Ini semua adalah pengalaman pribadi saya, seorang introvert, thinking dan lebih menyukai menuangkan sesuatu ke dalam rajutan kata. Bagi yang pernah mengalami hal sama, teman-teman bisa berikan komentar dan saran juga ya di kolom komentar di bawah. Terimakasih.

Mari kita Mulai!

Apa itu Sampah Emosi?

Bisa dibedah kedalam dua kata, yaitu sampah & emosi.

Menurut KBBI V, sampah adalah barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi, atau bisa diartikan juga ‘hina’.

Sedangkan emosi adalah luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat, atau keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis, bisa juga diartikan ‘marah’.

Lalu, apa sampah emosi menurut kamu Nik?

Menurut saya, sampah emosi adalah luapan perasaan yang berkembang dari reaksi psikologis, bisa marah bisa juga emosi negatif yang sebenarnya tak dibutuhkan, sudah menjadi sampah, namun dia muncul dan merusak suasana sehingga membuat diri kita merasa hina dan tak berdaya.

Ciri-ciri Sampah Emosi

Beberapa hal ini saya rasakan, akibat dari faktor eksternal sebenarnya yang lebih mendominasi, selain karena ada proses healing yang belum selesai, namun bisa juga dari trigger masalah yang muncul berulang. Salah satu cirinya yang paling khas adalah :

  1. Saya sering terbayang-bayang dengan kejadian buruk masa lalu.
  2. Saya menjadi pencemas dan kalau triggernya besar, jadi berlebihan.
  3. Ada perasaan yang tidak nyaman jika melihat trigger.
  4. Ada dorongan kesulitan mengendalikan diri, seperti otomatis, istilahnya adalah model coping diri.
  5. Adanya ungkapan rasa cemas dari orang-orang yang mengenal diri saya.
  6. Merasa diri baik-baik saja, namun bergetar jika dihadapkan dengan kondisi yang ada di masa lalu yang menjadi trigger.
  7. Merasa mengganjal, namun tidak tahu didalam pikiran sebelah mana. Jika sudah parah, biasanya jadi tidak produktif, malas-malasan atau kehilangan selera dan semangat.

Jika terdapat salah satu atau semua ciri itu, artinya saya sedang menabung sampah emosi.

Sebenarnya emosi itu baik, menjadi proses pendewasa diri. Manusia adalah makhluk yang paling mudah berubah, mudah beradaptasi dan bertumbuh. Hanya saja, ketika ada sampah emosi, maka produktifitas menurun dan pada akhirnya merugikan diri sendiri. Oleh sebab itu, saya tidak bisa diam saja. Saatnya mengucapkan selamat tinggal pada segala emosi yang terpendam.

Langkah apa saja yang saya tempuh?

Cara Mengeluarkan Sampah Emosi

1. Berani Menghadapi

Ya, langkah pertama ini, saya harus benar-benar berani menghadapi. Bagaimanapun, jika terus dipendam dan dibiarkan, seolah tiada masalah, maka akan merusak jiwa. Bisa-bisa, jauh dari pikiran jernih. Maka saya harus menyadari utuh segala bentuk emosi yang bergejolak di alam bawah sadar. Apakah itu kecewa, sedih, amarah, patah hati, dan seterusnya.

Kemudian saya barulah menyadari bahwa saya butuh kekuatan, biasanya saya banyak berdoa dan meminta pada Allah agar saya dimampukan untuk bergerak menyelesaikan masalah. Walau awalnya menggunakan cara yang kurang tepat, saya jadi lebih banyak belajar. Hadir utuh. Penuh.

Saya rasakan dulu itu, makna sedih, saya kecewa, saya sakit hati dan saya menyesal sebab adanya emosi abstrak yang meringsek jiwa. Maka saya harus berani mengakui itu. Wajib sadar utuh. Saya buka lembaran jiwa, selapis demi selapis. Sebab jiwa ada 7 lapisan, maka membukanya pun saya perlu waktu. Bahkan bertahun-tahun. Atau berbulan-bulan.

2. Selesaikan dengan Decluttering

Setelah menyadari bahwa emosi ini bagian dari sampah, saya mulai mencoba mengamati, memilah dan mencoba mengelompokkan. Jika memang terasa besar sekali, saya pecah belah dulu, setelah itu, saya buang satu demi satu. Ya, karena emosi bagian dari clutter, maka saya decluttering terlebih dahulu.

Saya keluarkan seluruh emosi dan sampahnya. Saya buang sampahnya, saya tangkap emosinya. Tujuannya untuk merekam kenangan dan menjadikannya sebagai hikmah atau pelajaran. Sebab, terkadang ada peristiwa yang pahit yang justru membuat diri ini bangkit.

Peristiwa yang terjadi ini tak akan menyakiti saya jika tak saya izinkan. Oleh sebab itu, saya amati, apa yang bisa mengizinkan dan apa yang bisa menghalau jiwa ini untuk memasukkannya ke dalam pikiran? Padahal sudah jelas, jika sampah, ya buang. Kecuali sampah barang dan makanan ya, masih bisa diolah, kalau sampah emosi? Buang jauh, sejauh mungkin.

Di langkah ini lah saya keluarkan seluruh benang ruwet segala pokok pikiran untuk saya urai, besar-besaran (bentuknya alam bawah sadar, jadi saya seperti menelusuri jejak kaki di bawah langit malam yang gelap gulita). Tentu saya sempat kesulitan pada awal mulanya, namun dengan mengandalkan intuisi, mindfulness dan kemampuan otak thinking, saya bisa membongkarnya sendiri! Ya sendiri, karena saya introvert.

3. Ucapkan selamat tinggal pada sampah emosi

Proses tahap satu ke tahap dua biasanya lebih cepat, apalagi saya terbiasa menuliskannya di buku harian, semakin cepat prosesnya. Namun proses tahap dua menuju tahap tiga inilah, yang membutuhkan energi super berat dan waktu yang cukup lama. Saya merasakan benar, betapa merobihkan ego manusia itu tak mudah. Sosok manusia yang Allah ciptakan hina, dari segumpal darah dan air mani, bisa ya sebesar ini egonya?

Maka, saya hancurkan itu ego, dan saya kembali kepada Allah, meminta untuk kelapangan dada, diluaskan samudera hati dan kepala agar saya berani untuk melepaskan sampah yang tak bermanfaat untuk hidup sehari-hari.

Hasilnya?

Alhamdulillah. Alhamdulillah. Lega rasanya, seolah terlahir kembali. Saya hanya percaya bahwa setiap masalah yang hadir akan membuat diri semakin bertambah hikmah, bertambah dewasa. Maka, saya harus belajar. Dan saya harus belajar pada guru yang benar-benar tepat. Jika saya salah belajar, salah memilih mentor, maka sebaik dan seapik apapun, suatu saat akan rusak dengan sendirinya. Astaghfirullahal’adzim. Di zaman penuh fitnah, saya perlu belajar untuk tidak terjerembab dalam fitnah yang semakin hari semakin menukik naik. Semoga Allah lindungi jiwa ini dan keluarga serta seluruh orang yang belajar dengan tepat. Karena baik belum tentu benar. Maka, saya memilih untuk memperbaiki hubungan dengan Allah dan manusia. Sebab percuma jika fokus pada Allah, namun mengabaikan manusia sekitar. Naudzubillahimindzalik. Tulisan ini sebagai reminder diri.

Pelajaran utama yang saya dapatkan dari sampah emosi :

  1. Jangan menabung sampah, tapi tabung emosinya saja. Karena sampah justru akan membuat hidup terasa berat dan tak bermakna.
  2. Semua perlu proses, apalagi saya sudah hidup 30 tahun lebih di muka bumi, tentu untuk mengeluarkan sampah di alam bawah sadar, tak bisa sekaligus. Itulah kenapa saya berusaha untuk menyicil, hari demi hari, tahun demi tahun. Sekalinya menemukan yang ‘besar’ maka saya sekuat tenaga hancurkan, agar tak menjadi beban.
  3. Allah itu menyukai keindahan, kerapian, maka jiwa yang rapi, indah, bersih lebih Allah cintai dari yang kotor, busuk dan berbau sampah. Maka, rajin bersih-bersih hati dan jiwa dari sampah emosi merupakan hal yang wajib dilakukan agar hidup lebih ringan dan bahagia.

Untuk siapapun yang pernah menyakiti dan tersakiti, saya minta maaf dan saya juga akan selalu memberi maaf. Manusia itu tidak seperti malaikat yang benar dan suci selalu, tidak pula setan yang selalu melakukan maksiat. Manusia diantara pilihan hidup. Berbuat salah itu wajar, yang tidak wajar adalah tidak mau memperbaiki kesalahan.

Alhamdulillah. Semoga diri kita termasuk orang-orang yang terus menerus melakukan perbaikan. Aamiin.

1 thought on “Sampah Emosi : Dibiarkan, Dipendam, Dibuang atau Diolah?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *