Hari ini saya memutuskan untuk tak lagi berdamai dengan kecanggungan. Menceritakan ulang segala pergelutan pikiran sepanjang berkarir menjadi seorang ibu. Sebuah status yang belum saya persiapkan sebelumnya. Hingga kemudian berlabuh di sebuah cerita. Membangun rasa, mengasah kelembutan jiwa, penerimaan, sampai di detik ‘gemar berkarya’.
Perjalanan membangun rasa percaya diri bagi sosok introvert seperti saya, bukanlah hal yang mudah. Terutama di awal pernikahan, beradaptasi mengenali pasangan yang memang tidak terlalu dikenali di awal, belajar berkomunikasi dengan keluarganya (karena berbeda suku, saya Jawa, keluarga besar suami suku Sunda) serta segala tata kebiasaan yang berbeda kerap membuat saya ingin pulang kembali ke rumah. Namun, semua itu mulai saya atasi perlahan-lahan. Sedikit tertatih dan mencoba memperbaiki komunikasi pada suami. Hingga pada akhirnya, tahun 2017 saya bergabung menjadi member Ibu Profesional regional Bogor. Saya lupa bagaimana proses awalnya, yang jelas, kala itu saya membutuhkan sebuah ruang untuk berkegiatan didalam rumah, mengasah diri melalui dukungan grup bersama teman baru satu regional. Saya masuk kedalam angkatan matrikulasi batch 5.
Masalah Sekaligus Tantangan Seorang Introvert
Saya menyadari, tak ada sekolah formal bagi seorang wanita yang berstatus sebagai Ibu. Apalagi latar belakang saya sepanjang menempuh pendidikan, tak ada kaitannya dengan kehidupan berumah tangga. Saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengasah sisi maskulinitas, kuliah di teknik, dengan kondisi hidup yang cukup keras dan menguras fisik, dibandingkan memoles sisi feminitas saya. Mulai dari pengajar (dosen) hingga lingkungan yang didominasi kaum laki-laki, membuat saya memiliki pola pikir yang lebih mengunggulkan pikiran logika dibanding perasaan. Didukung latar belakang keluarga saya yang minimalist baik dari sisi jumlah (anggota keluarga super sedikit), kurang verbal komunikasi (minim bicara), serta sebagai anak satu-satunya, tunggal, menjadikan diri saya yang sudah introvert semakin menguat sisi introvertnya.
Introvert sejatinya bukanlah pemalu atau orang yang tidak mudah beradaptasi. Melainkan sosok yang mengumpulkan energi dari dalam diri, sehingga ketika berinteraksi keluar dan bertemu banyak orang, energi ‘baterai’ introvert akan berkurang bahkan habis. Itulah sebabnya saya lebih nyaman dengan kondisi berdiam diri berada didalam rumah, menyendiri dan asyik dengan kegiatan sendiri. Tentu perlu waktu agak lama jika saya harus dipaksa tampil di depan umum atau berinteraksi dengan banyak orang. Namun, di satu sisi, orang introvert biasanya lebih mudah mengekspresikan diri di dunia maya, aktifitas daring serta kegiatan tulis menulis. Itulah kenapa, ketika awal bergabung di Ibu Profesional tahun 2017 silam, saya bertekad untuk melanjutkan semua jenjangnya secara bertahap sebab tugasnya terkumpul dalam bentuk tulisan, jurnal yang bebas dikreasikan (boleh berbentuk video dan audio juga).
Problem utama saya, saat itu, berkaitan dengan inner child dan perasaan sendirian. Namun dari sana pula, saya mulai berani menantang diri untuk terus belajar, berubah. Dari matrikulasi, awal tahun 2018 saya mencoba tes kepribadian bersama suami. Dengan demikian tak ada lagi tebak-tebakan perasaan diantara kita berdua, sebab sudah jelas terbaca dan kami konsultasikan ke konselor. Momen itu bertepatan dengan tugas kelas Matrikulasi berkaitan dengan peta bakat, talents mapping. Saya bersyukur, dari sanalah satu per satu benang ruwet didalam kepala saya mulai terurai. Jika dari dalam diri sudah usai (mengenal diri, memahami pasangan) maka untuk melangkah ke level berikutnya akan jauh lebih mudah. Kemudian di 2019 saya mengikuti kelas Bunda Sayang batch 5 sepanjang satu tahun, selesai pertengahan tahun 2020. Kemudian awal 2021 hingga Agustus 2021 saya mengikuti jenjang perkuliahan Bunda Cekatan Batch 2. Kini, saya sudah berpijak untuk fokus berkarya melalui kelas Bunda Produktif Batch 2.
Mengapa Perlu Berkarya?
Nyaris tak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang luput dari tampilan karya cipta. Boleh kita periksa bersama, segala sesuatu yang ada di hadapan kita kini, tak luput dari produk imajinasi dan kreasi seorang manusia. Jika saat ini teman-teman membaca postingan blog ini sambil memutar ponsel pintar, yang dalam genggaman jemari itu lah merupakan buah teknologi karya dari imajinasi kepala sosok penciptanya. Belum lagi hal-hal lain yang sifatnya abstrak, berupa pemikiran, pengetahuan, keterampilan serta keahlian-keahlian baru yang semakin berkembang pesat. Dan lagipula, secara fitrah kita sudah terbiasa bersungguh-sungguh untuk mencipta sejak dini. Lihatlah, anak kecil pun bermain dan brekreasi dengan seriusnya dan tak pernah menyepelekan karyanya, sekecil dan seremeh apapun itu. Kemampuan itu bisa terus berkembang atau mengempis tergantung lingkungan serta sarana sekitarnya. Dan semoga, kita bukanlah orang-orang yang mengecilkan atau mengucilkan karya diri kita sendiri, apalagi anak-anak dan orang lain.
Kegembiraan terbesar dalam hidup ini, bagi saya adalah momen ketika diberikan waktu untuk mencipta, untuk berkarya. Dengan kata lain, melalui karya inilah saya sedang menjalankan amanah berupa akal pikiran yang cara kerjanya cukup kompleks untuk dioptimalkan. Konon, golden age terus berjalan sepanjang kepala diisi oleh asupan bergizi yang mendukung kreatifitas. Perkembangan itu masih terus berjalan, bahkan beberapa paruh baya dan lansia yang terus gemar belajar menghasilkan karya maestro di usia senjanya. Katakanlah penemu resep dan pemilik bisnis franchise KFC, Kolonel Sanders yang memulai dari usia 60 tahun. Tak ada kata terlambat. Saya pun semakin bersemangat, terus berusaha, belajar merunutkan, menyusun serta mengembangkan diri sehingga saya berharap semoga tak ada waktu bagi saya untuk mengkritisi orang lain. Sebab dengan berkarya itulah, saya otomatis terus belajar memperbaiki diri serta berusaha menyusun sesuatu hal baru yang memberi dampak baik untuk pribadi maupun sekitar.
Berkarya bagi seorang perempuan, terutama yang gemar memikiran segala hal seperti saya, memiliki makna yang luas, tak selalu berupa produk atau benda jadi. Membuat karya dari sisi sebagai individu, istri, ibu, dan anggota masyarakat dengan beragam hal pun -sepanjang ada nilai manfaat, dampak baik (untuk diri sendiri maupun sekitar) – tentu akan menghangatkan jiwa dan rasa pribadi kita. Bahkan menurut Maslow, dalam ‘hierarchy of needs’ seseorang bisa dikatakan sejahtera, jika mampu memenuhi setiap hirarki kebutuhan hidupnya. Dan ujung paling atas piramida kebutuhan itu- yang walau jumlahnya sedikit, namun menjadi puncaknya – jika kita bisa merealisasikannya akan muncul kepuasan yang luar biasa, yakni Self Actualization.

Kaitan ‘Berdaya’ dan ‘Berkarya’
Seseorang yang berkarya, akan merasakan kepuasan dan merasa berdaya. Pun demikian, orang yang berdaya akan otomatis mampu menghasilkan karya sepanjang mau mewujudkannya.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, dari kata ‘daya’ dan ‘karya’ memiliki arti yang terkait satu sama lain.
Daya berarti :
- n kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak
- n kekuatan; tenaga (yang menyebabkan sesuatu bergerak dan sebagainya)
- n muslihat:ia melakukan segala tipu — untuk mencapai maksudnya
- n akal; ikhtiar; upaya:ia berusaha dengan segala — yang ada padanya
- n Olr kemampuan untuk menghasilkan kekuatan maksimal dalam waktu yang minimal
Karya memiliki arti :
- n pekerjaan
- n hasil perbuatan; buatan; ciptaan (terutama hasil karangan)
Bagi saya, berdaya dimulai dengan mengenali diri sendiri. Apa potensi diri, apa keunikan sekaligus kelemahan diri, serta bagaimana diri mampu mengorganisasi dari dalam sehingga lebih well organized. Kemampuan untuk mendayakan diri tentu sangat erat kaitannya dengan bagaimana pengalaman yang telah dilalui, ilmu yang dipelajari hingga bagaimana diri kita mengenali serta mampu mengidentifikasi stres serta masalah yang muncul ke permukaan. Dan ini merupakan ‘makanan’ sehari-hari yang bisa dipelajari dan dipanen hasilnya kapan saja.

Jika saya boleh membuat rangkuman perjalanan sepanjang bergabung di Ibu Profesional, dari akhir 2017 silam, saya seolah diberikan jalan untuk menggali sesuai urutan sepanjang jenjang perkuliahan. Dalam matrikulasi, saya belajar mengenal diri, visi misi keluarga hingga membuat metode belajar yang cocok untuk diterapkan ke diri pribadi. Kemudian mengisi tangki cinta anak dengan memperbanyak bonding di kelas Bunda Sayang. Saya bersyukur bisa melaluinya tanpa jeda sehingga bisa merasakan manfaat dari aktifitas yang saya susun bersama anak dan keluarga. Dan di kelas Bunda Cekatan, kembali mengisi tangki cinta diri sendiri. Sepanjang berproses dari telur hingga kupu-kupu, saya seolah mencari jalur yang nyaman dan sesuai untuk mengembangkan sisi kelebihan diri yang nyaris tak tersentuh sebelumnya. Dan kini, September 2021, saya mulai bermain di kota virtual Hexagon City pada kelas Bunda Produktif. Semakin bersemangat rasanya untuk mampu mendayakan diri dalam menghasilkan karya yang saya tekuni.
Solusi dari Tantangan yang Saya Hadapi
Saya mendapati diri yang kala itu tercampur aduk antara impian, keinginan, realitas saling berseberangan membuat diri ini terombang ambing menentukan mana yang perlu saya kukuhkan terlebih dahulu. Ditambah masih ada beberapa trauma sisa dari inner child yang belum tuntas. Serta jauhnya dari lingkungan awal mula saya tumbuh, jauh dari kampung halaman, teman dekat (hampir tak ada satu pun awal berpindah domisili di Bogor) hingga kesenjangan antara diri saya dengan profesi teman seangkatan (yang semuanya rata-rata bekerja di industri terkenal). Kemudian saya mulai belajar memilah, mengolah, seperti berbenah rumah. Namun, kala itu ‘rumahnya’ adalah hati dan pikiran saya sendiri. Karena ‘rumah terdekat’ dengan diri kita sebenarnya adalah hati dan pikiran. Sebagaimana halnya rumah, semua ada area-areanya, ada fungsinya, ada prioritasnya mana saja yang aktif dan mana yang rehat. Serta area mana yang berantakan yang perlu dibereskan, serta mana saja yang perlu dibersihkan bahkan dibongkar.
Sekilas perjalanan saya seolah lancar bebas hambatan layaknya jalan tol. Sepanjang memberdayakan diri dengan karya, yang saya mulai tahun 2018 lalu. Namun, batu kerikil nan tajam, tangis, rasa jenuh hingga merasa terkucilkan atau tak dianggap, mengiringi perjalanan menegakkan kaki ini. Dan sampai kini pun saya masih terus belajar. Namun, dari tantangan yang telah dilalui, saya mendapatkan beberapa solusi. Yaitu ‘Pahami Stres yang Mendera dengan Self Healing’, ‘Pahami Diri melalui Jurnaling’, ‘Mencari Teman Terbaik’, ‘Ubah Luka Menjadi Karya’, dan ‘Bersosial, Berbagi’.
Pahami Stres yang Mendera dengan Self healing
Apa itu stres?
Mungkin tampak tak nyaman kala dibaca atau diperdengarkan telinga.
Stres merupakan keadaan atau kondisi tubuh kita yang terganggu akibat tekanan psikologis. Tentu jika dibiarkan berlarut, bisa merambat ke penyakit fisik. Pemicunya bervariasi, mulai dari rasa cemas, khawatir, kesal, tertekan, kesedihan, takut, berduka, pekerjaan yang overload atau berlebihan hingga terlalu fokus pada satu hal. Oleh karena itu, kita perlu belajar mendeteksi gejala stres yang dialaminya sedini mungkin. Kabar baiknya, stres bisa diubah menjadi sesuatu hal yang positif dengan cara mengubah persepsi atau sudut pandang kepala kita.
Kerapkali yang menghampiri diri adalah stres harian, jika tidak diuraikan segera tentu menumpuk. Hal ini pernah saya rasakan hingga saya terkena virus dan masuk (dirawat inap) di rumah sakit. Tentu menjadi pelajaran berharga untuk saya pribadi agar menjaga keseimbangan jiwa dan raga yang optimal.
Langkah awal masih mudah dengan menggunakan bantuan. Saya diberi beberapa kiat, panduan oleh terapis atau people helper biasanya saya melanjutkan dengan diri sendiri, self healing. Ada beberapa cara, salah satunya dengan metode expressive writing. Caranya dengan menyediakan tong sampah otak (brain dump) dengan menuliskan secara bebas pada selembar kertas yang bisa diremukredamkan semau jemari kita. Boleh diremas, dibuang, disimpan atau diurai setelahnya.
Kenapa perlu membersihkan stres? Sebab bagi saya, akan sulit berdaya, apalagi berkarya jika kondisi jiwa tidak dijernihkan atau dibersihkan. Menyebabkan diri kurang fokus. Sehingga penting untuk berupaya, selain membersihkan raga, juga perlu batin atau jiwa mengingat ‘pencemaran dan polusi’ pikiran kerap mengunci kreatifitas diri. Well, seseorang bisa saja tidak jujur terhadap orang lain atau konselornya dalam terapi atau mengungkapkan sesuatu. Namun, setiap orang tak akan bisa berbohong pada ‘tulisannya’ sendiri. Ya, itulah kenapa metode expressive writing masih ideal digunakan untuk meredam stres hingga kini.
Pahami Diri Melalui Jurnaling
Selain self healing melalui tulisan, saya juga mulai belajar memahami diri melalui jurnaling. Saya mengacu konsep jurnaling yang realistis, menggunakan panduan dari buku ‘Make Time: How to Focus on What Matters Every Day‘ karya Jake Knapp and John Zeratsky. Berbeda dengan bullet jurnal yang kurang nyaman untuk saya, karena jadi kurang realistis, buJo bergerak dari penulisan agenda satu tahun kemudian dipecah menjadi bulanan, pekanan dan harian. Sedangkan make time dari harian, lebih realistis.
Ketika saya menggunakan BuJo, rasanya seperti menyulitkan diri sendiri sebab tujuan jurnaling ini agar saya bisa memahami diri, sedangkan BuJo yang menuntut garis besar tujuan, big goal, tahunan, sementara di kala saya belum paham kapasitas diri saya, tentu akan mengecewakan ke depan. Terutama dengan banyaknya rencana yang berubah, membuat saya stres, itulah saya menghindari BuJo. Saya memilih Make Time.
Kelebihan dari Make Time adalah alih-alih berfokus pada produktivitas atau ambisi yang tinggi, saya justru berfokus pada sorotan harian (highlight) yang bagi saya itu sangat berarti, setiap hari. Highlight juga memungkinkan saya untuk merasa puas, atau sesuatu yang mendesak, atau menyenangkan, atau hanya sesuatu yang benar-benar ingin saya lakukan di hari itu. Highlight memiliki makna yang lebih besar dari simple task atau pun list to do, karena fokus hanya satu saja. Akan tetapi inilah yang justru meringankan karena ia jadi terlihat lebih kecil dari big goal saya. Dan mengerjakannya pun tak perlu lama, biasanya bisa saya lakukan hanya dalam 60–90 menit. Intinya memang perlu diluangkan setiap hari.

Inti dari make time ada 3 komponen utama dengan 1 komponen booster. Urutannya adalah highlight, laser, reflect. Didalam laser, ada energize yang mendukung fokus dan optimasi penggunaan waktu.

Jika teman-teman ingin mempraktikkan, langkahnya cukup mudah.
Pertama, tentukan highlight (tokoh utama atau hal utama di hari itu) yang benar-benar penting. Satu hal saja. Misalnya, saya hari ini mengerjakan blog ini. Sehingga menjadi kunci ‘sukses’ saya hari ini jika saya menyelesaikannya dan tidak menundanya hingga esok hari.
Kedua, tentukan laser (fokus). Dengan cara mengetahui penyebab distraksinya, upaya menjauhkan diri dari distraksi hingga rencana dalam melakukan laser. Misalnya, distraksi saya adalah media sosial. Maka saya matikan dan log-out semua medsos saya sepanjang saya menuliskan post blog ini. Dan ditambah energize, dimana waktu efektif saya mengerjakan hal ini di jam-jam produktif saya. Tiap orang tentu berbeda-beda, sebab, menurut buku ini, setiap manusia memiliki ‘kafein’nya masing-masing, jam berapa diri kita ‘on’ untuk fokus dan optimal bekerja.
Terakhir, reflect. Dengan menyatakan perasaan hari ini, mencari kekurangan, melebihkan kesyukuran serta menentukan kembali highlight untuk esok hari.
Dari jurnaling metode make time, saya melakukannya per hari dan sesuai kebutuhan saya, semampu saya. Ujungnya saya jadi paham prioritas serta bagaimana menentukan highlight serta meletakkan laser di hari tersebut. Sehingga di akhir malam, saya bisa membuat refleksi dengan nyaman dan benar. Mampu melihat ‘pola’ atau ritme aktifitas saya dalam kurun sekian hari dan sekian pekan. Tak lagi berupa jurnaling ‘kosongan’ sebagaimana yang dulu saya lakukan.
Mencari Teman Terbaik
Teman terbaik saya hingga kini masih tetap, buku-buku. Saya tidak hobi berbelanja selain belanja buku, decluttering buku kemudian mengganti baru. Selalu dan selalu ada yang kurang jika dalam sehari saya tidak membaca buku. Bagi saya, yang sejak kecil selalu sendirian, tidak memiliki TV hingga sekarang pun jadi terbiasa sepi, maka buku-buku merupakan teman terbaik. Mereka selalu memberi informasi, memanjakan pikiran, memberikan pengetahuan tanpa menghakimi sama sekali.

Ubah Luka Menjadi Karya
Beberapa karya berkaitan dengan inner child, luka, trauma, gaya hidup, saya torehkan dalam bentuk karya buku, naskah cerita hingga podcast. Beberapa akun yang cukup ramai pesan masuk dari pemirsa adalah podcast dan instagram suara inner child yang saya bangun dari 2019 silam.
Bagi saya, luka dan rasa sakit itu pertanda bahwa saya telah belajar dan (atau) akan mendapat pelajaran terbaik, lived! Maka, membalutnya menjadi karya merupakan sebuah solusi efektif sepanjang ada manfaatnya. Total karya buku sepanjang 2018-2020 saya ada 7 buah eksemplar, dari buku solo, projects komunitas hingga buku antologi lepas. Sedangkan blog, review (yang dibayar) juga cukup lumayan. Walau tak melulu soal uang atau materi, namun kepuasan membalut luka menjadi karya inilah yang mampu menguatkan jiwa saya hingga kini.

Hidup Bersosial, Berbagi
Bersosial menurut saya tidak harus nongkrong di depan rumah orang, ngobrol atau tatap muka. Melainkan dengan mulai berani tampil di muka umum, memberikan solusi, berbagi adalah langkah dan sebuah kemajuan bagi diri saya yang introvert sejati. Bahkan sekaligus menjadi terapi sendiri untuk meningkatkan kapasitas diri. Tak hanya berbentuk material, seperti memberi donasi uang, membagikan pengalaman, ilmu pun sudah bisa dikatakan berbagi. Dengan berbagi, tak akan lenyap apa yang telah kita beri, justru bertambah berkali-kali.
Biasanya selesai melakukan aktifitas sosial, sharing, energi seorang introvert memang akan habis, perlu diisi ulang. Namun kepuasan batin, apalagi ketika mendapat feedback yang positif, mampu memberikan energi tersendiri yang tak bisa dibandingkan oleh materi. Kepuasan jiwa ketika berbagi, bersosial, tatap muka itu nyata adanya. Semakin diasah, semakin nyaman dan melatih keikhlasan batin kita.

Dan Kini…
Tahun 2020 hingga 2021 ini fokus Ibu Profesional ada pada ‘Semesta Karya untuk Indonesia’. Saya pun kembali mengikuti beberapa rangkaian lomba yang diadakan dengan tujuan mengabadikan momen spesial dan memberdayakan diri melalui tulisan.

Saya berharap mampu mengasah diri dan terus berdaya dari dalam rumah melalui goresan pena. Sebagaimana tagline tahun ini ‘Dari Rumah untuk Dunia‘. Karena yang saya sadari, hanya melalui tulisan dan pena saya merasa berarti, bisa berbagi. Dan kini, pergerakan memberdayakan diri sebgai seorang Ibu, seorang perempuan pun semakin meluas dan masif dengan terbentuknya Konferensi Ibu Pembaharu.

Saya juga semakin menyadari berbagai peran berlapis telah nyata tersemat di badan sekian tahun ini, sepanjang saya terus belajar, dan bisa well organized, paham prioritas, justru inilah kesempatan luar biasa bagi saya untuk menumbuhkan diri. Enjoy with it!
Terus mencari dan mencari jika seandainya detik ini, pembaca ada yang belum menemukan cahaya dirinya. Atau terlalu menyaksikan pekatnya gelap di luar sana karena tak ada cahaya menerpa, mari kita mulai mencoba untuk menjadi sinar dari dalam diri bagi pikiran dan hati.
When you can’t find the sunshine, be the sunshine. Jadilah cahaya matahari penuh arti, menjadi sosok yang kuat, penuh tekad, berdaya, membuat karya hingga meninggalkan jejak terbaik di muka bumi.
Semangat berdaya! Semangat berkarya dari dalam rumah! Yakin, kita bisa!
-with love-
Khoirun Nikmah
Bogor, 12 September 2021
