DAILY

Selamat Hari Buku

Tanggal 23 April 2019, timeline nyaris penuh dengan ucapan ‘World Bood Day’. Setelah dua hari berturut-turut juga ada peringatan Kartini (21 April) dan juga Hari Bumi (22 April). Dan sepertinya bulan April ini memang istimewa, setelah menunaikan pesta demokrasi terberat serentak sepanjang masa, berjibaku dengan C1 mencoba mengawal bersama masyarakat di lapangan untuk memilih pemimpin yang adil untuk 5 tahun ke depan.

Oia, ngobrolin soal buku. Kini semuanya mulai bergeser ke digital, tentu. Bahkan konon kita bisa mengetahui apapun hanya melalui sebuah situs terpopuler, google dot kom. Tentu, semua yang ada disana serba praktis, instan dan kadangkala bercampur pula dengan berita bohong (hoax) atau berita yang sengaja diciptakan untuk membuat kita ketakutan. Belajar tidak lagi memerlukan waktu lama, bahkan kursus sejam dua jam kini bisa memiliki lisensi apapun itu selama kita mampu memiliki dana.

Semudah itukah?

Dunia kepenulisan pun demikian, tulisan yang viral jauh lebih diminati daripada konten atau bobot makna itu sendiri. Bahkan plagiarisme mulai marak, masih ingat kasus Afi? tentu dunia kini tidak lagi menjadi diri kita mengerti, mana yang benar mana yang salah apabila diri kita tidak memiliki pondasi yang kuat.

Bagaimana dengan buku?

Masih ingat dengan kasus Devi Eka? yang setega itu menjiplak plek ketiplek (hanya mengubah nama) karya dari puluhan cerpen dan beberapa novel karya orang. Jika ditarik kedalam, hingga sampai pada akarnya bahwa generasi zaman ini tidak terbiasa dengan proses. Bayangkan saja, mendapatkan honor atau royalti namun dari jalan yang tidak halal? Hmmm, apakah hidupnya akan tenang? Sementara di sisi lain, begitu banyak penulis yang rela meluangkan waktunya, memeras otaknya hanya untuk menorehkan sebaris beberapa baris kalimat demi menghasilkan karya yang indah.

Proses paling utama sebagai seorang penulis adalah dengan sebanyak-banyaknya membaca. Baca apa? ya baca buku. Sayangnya kini buku menjadi prioritas sekian orang pada umumnya, mereka lebih menyukai belanja barang nggak jelas yang tidak berkaitan dengan isi kepala. Jika ditilik lebih jauh lagi, kini popularitas menjadi bagian penting dari strata hidup manusia era media sosial ini. Sehingga fokusnya lebih kepada viral, viral dan sesuatu yang viral.

Buku

Bagiku tidak hanya mencerahkan, melainkan teman kesepian. Kebiasaanku di masa kecil tanpa teman, hanya buku-bukulah yang mampu memberikan senyuman dan arti. Dari buku pula, saya mampu melihat dunia lebih luas.

Selamat hari buku sedunia. Sebagai penulis amatir, saya menyelami banyak biografi mereka yang menginspirasi. Kata dokter Gamal, “Tidak ada lift untuk menuju kesuksesan, semuanya hanya mampu dilalui dengan naik tangga.” Artinya adalah kesuksesan nggak dapat diraih dengan cara instan.

Jika ditarik ke dunia remaja, zaman SD saya suka menulis namun malu untuk dipublikasikan, tidak tahu akses. Zaman SMP saya gemar membaca melebihi ukuran normal orang kecanduan, super gila baca. Zaman SMA digembleng, dikritik dengan pengkaderan uar biasa sejak kelas satu duduk magang menjadi reporter hingga menuliskan fiksi dan puisi di sekolah. Sungguh, itu nilai yang tak mampu saya nominalkan apabila ingin membayar semua proses itu. Nikmati, hargai diri sendiri.

Menerbitkan buku juga bukanlah sesuatu yang ‘wah’ bagi saya, karena semua orang mampu untuk itu. Bahkan mau bikin sendiri dijilid sendiri juga bisa kan? namun, buku yang mampu memberikan kesegaran semangat, makna akan hidup dan memberikan arti kini perlu kita apresiasi tinggi. Setidaknya untuk negeri ini, masih sangat butuh banyak pembelajar, pembaca dan penulis yang menorehkan prestasi.

Semoga kita berada di barisan itu. Sebab membaca buku merupakan tradisi bangsa berkemajuan. Siapkah kita untuk itu? 🙂

Mari songsong bersama, Indonesia Emas 2045. Amiin Ya Robb.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *