Dari semalam kepikiran untuk membuat ucapan milad ibu. Tapi aku urung, soalnya ibu kurang menyukai perayaan ultah.
Setelah pulang paud barusan, aku ingat lagi, ini udah hari-H, tanggal milad ibu, genap 49 tahun. Sebaiknya aku tuliskan disini saja, mengingat ini momen ibu masih ada pada usia kepala 4.

Aku dan ibu, termasuk orang yang jarang sekali berswafoto atau selfie. Amat sangat jarang, kecuali ada momen tertentu. Koleksi foto ibu juga sudah enggak banyak update, terakhir momen foto bersama waktu aku wisuda dan saat mudik tiga tahun lalu, hahaha, itupun aku enggak ngesave karena ada di hape lama, yang rusak. Foto ibu yang terbaru, yang aku jadikan banner itu, jilbab kuning, foto sebulan lalu.

Jika ditanya, “seberapa dekat dengan ibu?”
Aku justru lebih dekat dengan emak, alias ibunya ibuku, nenek. Karena sejak kecil aku dipegang emak, mengingat ibu saat itu sangat muda dan memutuskan untuk bercerai dan menyibukkan diri di luar rumah, jauh meninggalkanku, maka, memori indah enggak aku dapat dari ibu. Kini aku menyadari, masa kecil itu sungguh menentukan tingkat bonding ibu anak, jika disia-siakan, memori itu kosong.

Tapi aku termasuk pengagum ibu, karena ibuku sabar, tegar dan ulet. Suka menulis puisi dan bahasa, mungkin dara kepenulisanku dapat turunan darinya. Kalau urusan matematika, aku dapat dari bapak.
Ibu menikah bulan Agustus tahun 1990, menikah karena ada beberapa faktor magis. Itulah kenapa setelah jampi-jampi dari bapak enggak mempan, bapak selingkuh, bapak bohong (ternyata bukan perjaka, melainkan seorang duda-tapi di buku nikah ditulis perjaka) plus alasan lain- termasuk nafkah dan kekerasan, ibuku memutuskan bercerai.
Jika ditanya, “memori apa yang aku ingat di masa balita?”
Jawabanku, “dark, bad, I hate it.”
Alhamdulillah Allah mengirimkan banyak orang baik, berpendidikan, peduli, penolong dan berhati lembut sehingga aku bisa mengenal islam, mengenal kebaikan dan rasa yang menyembuhkan. Dan sejak aku kenal islam dan ajarannya (dari para guru yang tawazun, zuhud) prinsipku mulai kuat, bahwa siapapun kamu, terlahir dari keluarga berbentuk apapun, semua itu Allah kasih dengan rasa sayangNya, maka jangan bangga jika kamu lahir dari bapak atau ibu X, atau jangan minder karena bapak atau ibu kalian X (cerai misal), tapi buktikanlah bahwa Allah itu sungguh baik dan kamu adalah makhluk ciptaanNya yang terbaik dari yang terbaik, ortu itu hanya sebagai jalan, namun untuk jalan masa depan, hanya kamu sendiri (dan keyakinan terhadap kebaikan Allah) yang bisa menentukan.

Dari ibu, aku banyak belajar, arti kata depresi, traumatis, kekuatan, kebangkitan, kepasrahan, do’a yang tak putus, ibadah dan usaha yang tekun hingga bersikap cuek atau bodo amat dengan komentar oranglain yang suka menggunjingnya. Ya, menjadi seorang janda puluhan tahun itu enggak mudah. Ibuku sudah sering terkucilkan di pergaulan hanya karena enggak punya suami.
Kini, ibu sudah menikah, tahun 2018 lalu, setelah melihat kenyataan bahwa anak satu-satunya ini sudah berpindah kependudukan di provinsi yang beda. Ujung ke ujung, ibu di jawa timur, aku di jawa barat. Maka, saat itulah ibu mau membuka diri dan menerima seseorang- yang enggak lain adalah omnya teman sekolahku.

Di hari spesial tanggal kelahiran ibu, aku hanya ingin menyampaikan terimakasih, barokallohufiumurik, ibu, setiap peluh dan perjuangan ibu, enggak akan pernah aku lupa. Ibu yang melahirkanku- yang katanya pas lahiran enggak sakit sama sekali, karena aku hanya sebotol kratingdaeng, prematur- tapi tanpanya, aku enggak akan pernah ada. Terimakasih, Allah telah berikan banyak pelajaran dan petuah dari kehidupan ibu dan hidupku.
Semoga ibu sehat, kuat iman, kuat ibadahnya dan bahagia bersama ayah disana.
Salam sayang,

Putrimu semata wayang.
Bogor, 19 November 2019.