KARYAKU MATERI KEPENULISAN

Self ERR (Edit, Revise, Rewrite)

Setelah menyelesaikan suatu tulisan, tugas seorang penulis enggak selesai begitu saja. Tugas seorang penulis justru berderet panjang setelah mencantumkan kata TAMAT (selesai) pada naskahnya.

Jika awalnya seorang penulis menulis menggunakan hati/perasaan, menumpahkannya dengan sepenuh jiwa hingga tamat. Tiba di akhir halaman- ending, justru inilah waktu untuk menggunakan kepala untuk mengkoreksi kembali naskahnya yang dinamakan (self) ERR.

Dalam alur naskah hingga terbit, harus ada proses ERR ini.

Ibaratnya, naskah yang udah tamat itu mirip gelondongan kayu. Kalian tahu gelondongan kayu? well, bentuknya masih ‘alami’. Untuk menjadikannya sebuah bentuk ukiran kayu yang indah, maka kayunya harus dikampak, dipotong atau dipahat terlebih dahulu.

Proses ‘pengulitan’ itulah yang dilakukan oleh sang pengrajin sehingga kayu enggak lagi berupa gelondongan, hal ini berlaku juga bagi seorang penulis, proses ini dinamakan SELF-ERR.

Self-ERR sangat penting dilakukan oleh penulis, terutama sebelum menyerahkannya pada penerbit atau editor dan sesudah mendapat komen dari editor juga (jadi prosesnya bolak-balik). Self ERR dilakukan OLEH PENULIS SENDIRI bertujuan untuk mensinergikan antara kepala, tangan dan hati sehingga menghasilkan karya yang indah.

Penerbit dan editor yang baik, akan menuntut naskah kita menjadi bentuk sebaik-baiknya. Bukan lagi gelondongan kayu tapi sudah berbentuk ukiran yang jelas. Dipahat menjadi burung atau singa, kayu itu, dilihat kita dan orang lain sama bentuknya.

Memang ada penerbit yang ‘berbaik hati’ mau menerima naskah mentah dan mengeditnya dengan susah payah sehingga layak terbit. Namun itu sungguh enggak mengenakkan.

Pasalnya, jika buku itu terlanjur terbit sekalipun, posisi penulis akan stagnan (enggak belajar dan enggak merasakan bagaimana ‘berdarah-darahnya’ memperjuangkan naskahnya sendiri), di sisi lain, biasanya hasil yang diedit oleh penerbit biasanya sungguh jauh dari maksud penulis. Bahkan ada seorang penulis yang selesai membaca bukunya, dia terheran-heran karena merasa itu bukan tulisannya sendiri (ini efek dari enggak berproses di awal dengan self- ERR).

Sebaik apapun naskah asli penulis, dipuji sedemikian rupa oleh pembaca virtual sekalipun, jika mau masuk ke sebuah penerbitan, enggak bisa serta merta berlepas tangan begitu saja. Sebab penerbit biasanya berorientasi pada keuntungan- sekalipun melalui proses editing dari penerbit, tetap yang penulis itu sendiri yang harus bertanggungjawab atas karyanya.

Menurut aku, pelajaran paling berharga dari proses menulis justru ada pada saat ERR. Bukan pada saat menuangkan ide/tulisan di awal.

Khoirun Nikmah

Oia. Perlu kita bedakan posisi EDITOR dengan PROOF READER.

Editor yaitu orang yang tugasnya fokus pada konten/isi, mengulik naskah sedemikian rupa biar pesannya sampai kepada pembaca dengan lebih mudah, tajam, efektif. Misalnya, kalau bisa dijelaskan dengan lima kata kenapa pakai sepuluh kata?, kalau bisa dengan satu kalimat kenapa pakai tiga kalimat?, kalau bisa dengan satu paragraf kenapa pakai satu halaman?, so, biasanya editor akan bilang, “HAPUS! EFEKTIFKAN.”

Sedangkan proof reader hanya ngurus typo aja.

Oia. Editor biasanya juga suka ‘berburu’ naskah, mencari naskah yang layak terbit, mencernanya apakah enak dibaca atau enggak (disini artinya menelisik lebih dalam, apakah tulisan tersebut logis, tertata, bolong atau mentah), mengecek hasil setelah layout jadi, dan terakhir ikut membantu penulis memasarkan bukunya. Namun penerbit besar (mayor) biasanya sudah menyediakan tim khusus marketing untuk memasarkan buku-buku terbitannya.

Masih ingat dengan buku KonMari Mengubah Hidupku? itu berawal dari tawaran seorang editor buku KonMari di Bentang Pustaka yang menawarkan singkat padaku, “mba nik coba nulis pengalamannya berkonmari, kami ingin kenal mbak nik lebih jauh juga. Kalau oke bisa jadi buku.”

Waktu itu pikiranku cuma nulis blog, singkat. Nyatanya setelah aku coba bikin outline, ternyata di-acc. Aku kirim bertahap, awalnya bab 1 dulu, kalau oke lanjut, dst. Sehingga jadilah buku pertamaku itu. Alhamdulillah sudah terjual lebih dari empat ribu eksemplar.

ERR dari Bentang- KonMari Mengubah Hidupku

Penerbit besar atau penerbit serius pasti memiliki tim profesional, editor. Dan editor itu pasti menyuruh revisi -semaestro apapun posisi penulis, selalu tetap ada revisi. Maksudku, enggak ada di dunia ini penulis yang lolos dari proses ERR.

Penerbit serius yaitu penerbit yang punya perangkat lengkap dan proses baku. Bukan perbit abal-abal yang cuma memanfaatkan popularitas penulis untuk mendulang keuntungan tanpa modal.

-khoirunnikmah.com

Kalau boleh aku urutkan, kayak gini proses pembuatan sebuah buku :

  • nulis – tamat
  • – self ERR – yakin
  • kirim naskah – ERR penerbit
  • Penulis fix ERR-acc
  • fix proof reading
  • layouting
  • naik cetak
  • promosi
  • pemasaran
  • (kalau laris) cetak ulang

Dalam pembuatan sebuah buku, rantai prosesnya sangat panjang dan distribusinya melibatkan banyak pihak. Mulai dari penulis, editor, tim keuangan, pabrik percetakan, pasar, toko buku hingga sampai di tangan konsumen.

Proses penulisan buku itu sendiri juga bukan hal yang mudah bagi seorang penulis, karena harus riset, merangkai kata, merenung, self ERR dan seterusnya, itulah kenapa jika ada buku bajakan dan itu jauh lebih laris sungguh aku agak nyesek juga.

Kenapa Nik?

Ya, karena mereka dengan seenaknya mengcopy karya yang sudah dilindungi hak cipta dan penulis juga dikenakan pajak penulis, sedangkan para pembajak dengan instan menikmatinya tanpa melalui proses panjang dan melelahkan itu (dan pembajak itu enggak bayar pajak pula- illegal). Apakah halal? wallahu’alam.

So, pesanku, biar berkah, mari beli buku asli penerbitnya.

Selanjutnya langsung ke topik aja.

Editing

Proses yang pertama adalah editing. Editing mencakup dua aspek, yakni mekanik dan substansi.

Editing mekanik

Biasanya berkaitan dengan koreksi penulisan dan penggunaan : kata, frase, kalimat, paragraf, istilah, tanda baca (termasuk italic maupun bold). Tujuannya agar logis, padu, tepat guna dan indah.

Editing Substansi

Ini lebih kepada koreksi konten. Biasanya meliputi : pesan eksplisit dan implisit, kesesuaian dengan nilai-nilai yang dianut, orisinalitas dan kesesuaian dengan target pembaca.

Di buku KonMari Mengubah Hidupku, waktu itu aku hampir ubah-ubah outline karena kurang padu. Biar kuat dan menarik, aku sisipkan metode berbenah yang lain. Awalnya aku masukkan yang barat juga tapi karena pertimbangan mencari yang apple to apple, jadi yang kumasukkan hanya minimalis jepang (Good Bye Things Fumio Sasaki), DanShari (Hideko Yamashita) dan 5S Japanese concept.

Waktu itu memang menghindari penulisan kritik KonMari sebab buku itu ditujukan menguatkan metode KonMari dan menjadi referensi berKonMari di Indonesia. Selain itu memang aku belum kepikiran bakal dibubarkan itu KKI (wkwkwk, skip deh cerita yang ini).

Oia, editing substansi biasanya kerjasama dengan editor penerbit yang ngasih catatan, penulis memperbaiki. Jadi, editing untuk self ERR kita bisa lakukan di awal totalitas, selebihnya saat berhadapan dengan editor penerbit, kita jauh lebih mudah menyetirnya.

ini biasanya jadi panduan umum, digunakan sebagai acuan para penulis dalam ER- untuk rewrite.

Oke, Lanjut.

Revising

Kalau editing sebatas mengoreksi, memperbaiki, maka revisi berarti mengubah sebagian atau keseluruhan yang hasilnya nanti perlu disunting lagi.

Revisi paling umum adalah memperbaiki isi yang dianggap salah, menambah yang kurang, mengurangi yang berlebihan.

Tujuan revisi adalah naskah bersih yang padu dan nyaman dibaca.

-RAWS

Editing itu bisa dibilang enggak terlalu mengubah banyak, tapi begitu satu komponen diedit, bisa jadi akan menyebabkan seluruhnya direvisi.

Rewriting

Rewriting ini lebih memakan waktu, rumit, dan sering membuat penulis menyerah bahkan sebelum membaca.

Menulis ulang (rewriting), jangankan untuk penulis yang masih baru, kata mentorku pun, buat penulis yang berpengalaman belasan tahun pun kadang bikin illfeel. Tapi memang harus dilakukan, dan jangan serahkan tugas ini ke editor.

Rewriting harus dilakukan terutama jika kita menulis fiksi. Terutama saat kita mengurangi karakter, menghilangkan adegan, menghapus dialog, mengubah arah alur/plot dll yang signifikan. Enggak bisa hanya delete, delete, delete lalu membiarkan lubangnya terlihat menganga.

Kesimpulan : Self ERR

Biasakan melakukan ini sebelum mengirimkan naskah ke penerbit. Karena naskah ini ibarat anak yang dilahirkan oleh seorang penulis. Sebelum dipaparkan ke publik. Pastikan ia tampil baik dan membuat penulis bangga.

Editor dan oranglain enggak mengenal naskah sebaik penulisnya. Mereka cenderung menyunting cepat, hapus pangkas, tanpa menyadari lubang yang ditinggalkan.

Self ERR memberikan penulis pembelajaran yang berguna untuk penulisan berikutnya. Pemikiran terstruktur, lebih rapi, semakin rapi dan terbiasa rapi.

Berat kalau baru sekali dua kali ERR, tapi kalau sudah pernah, waktu menulis berikutnya, akan ingat untuk enggak lagi membuat kekeliruan yang sama. Jadi, buku berikutnya lebih ringan dan kita terampil memperbaiki kesalahan bahkan sebelum kesalahan dibuat.

Oke, sekian untuk materi umum self-ERR. Jika ada yang ingin didiskusikan, bisa langsung di komen. Sampai jumpa pada artikel kepenulisan yang lain. πŸ™‚


3 thoughts on “Self ERR (Edit, Revise, Rewrite)”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *