INSTITUT IBU PROFESIONAL

Suamiku, Partner Hidupku

Sudah lama rasanya tak membuat surat cinta ke suami selain beralih ke percakapan yang diiringi stiker manja di platform chatting whatsapp. Membuat surat panjang sepertinya bukanlah style saya. Karena saya termasuk orang yang agak gengsi untuk berkata romantis pada pasangan. Entahlah, lebih suka disuruh menulis manuskrip untuk buku dibandingkan menulis rangkaian kata yang sentimentil. Sepertinya pertama kali saya melakukan dan mencoba membuat surat cinta untuk suami, saat mendapat tugas kelas matrikulasi NHW 3 Ibu Profesional batch 5, tahun 2018 silam.

Dan akhirnya, malam ini, saya mencoba menuliskan kembali, secarik surat untuk suami. Namun karena paperless, saya gunakan disain dari aplikasi canva yang saya convert ke file pdf dan saya kirimkan dalam format .pdf digital kepada suami.

Selesai menekan tombol ‘send’, terkirim, saya tengok suami tanpa ada suara. Ternyata suami sedang tertidur di depan laptop di atas ranjangnya. Mungkin karena efek seharian lelah bekerja dan mengurus rumah (yang sedang dibangun), jadi wajar tidur lelap bada isya’ di saat saya mengirim pesan surat itu. Namun ia tetap terbangun dan berusaha membaca surat walau sambil terkantuk-kantuk.

Saya tidak hanya mengirimkan ke aplikasi whatsappnya, melainkan juga ke email. Tujuannya agar permanen. Biasanya jika suatu file sudah masuk melalui email, akan sangat jarang untuk dihapus, kecuali email spam. sehingga dokumen di email bisa dibaca kapan saja dan berulang kali. Berbeda jika hanya dikirim ke whatsapp, jika memori sudah penuh, file akan ikut terhapus saat decluttering digital file atau jika tidak demikian, ia dipindahkan ke laptop. Sungguh ribet dan kurang efisien.

Apa isi Suratnya?

Karena surat cinta, jadi ya seputar perasaan yang saya ungkapkan di awal tahun 2021 ini. Tidak terlalu banyak kata, namun mencakup semua yang saat ini sedang saya jalankan dan kagumkan dari suami. Sosok yang sabar, pembelajar, ayah hebat, pengayom dan pendukung segala hal yang menjadi uneg-uneg didalam kepala.

Hal yang paling saya suka dari suami adalah bagaimana caranya memperlakukan saya seperti ratu yang di rumah tinggal makan, tidur, mengurus anak. Sebab setiap pagi selalu membantu di dapur, memasak, mencuci, ngepel dan segala urusan domestik selalu diringankan. Bahkan saya harus belajar padanya untuk bisa lebih rapi. Walau secara estetika, saya lebih baik, namun dari segi cekatan, suami lebih unggul. Suami tak pernah membiarkan saya kelelahan.

Mungkin ia selalu memegang kata-kata bapaknya, “Jangan sampai membuat Nikmah lelah, capai, karena Nikmah ini fisiknya kecil.”

Itulah ucapan Bapak Mertua saya ketika awal mula kami menikah dan sepertinya suami senantiasa menggenggam petuah tersebut. Selain itu, ia juga jago menebak isi kepala tanpa pernah meleset dan tak pernah mengucapkan kata yang menyakiti biarpun saya sedang dalam kondisi emosi negatif atau yang meluap-luap. Ibarat saya api, ialah pemadam apinya, ia seolah-olah tersusun dari partikel air. Tenang dan menenangkan.

Ia sosok yang penuh pengertian. Jika ada masalah, selalu dipecahkan dan mencari solusi dengan cara yang ma’ruf dan nyaman. Perbedaan karakter di awal, yang sempat membuat saya kaget, kita pelajari bersama di kelas matrikulasi batch 5 lalu. Yaitu saat membahas talents mapping.

Awal tahun 2018 saya dan suami melakukan tes bakat sama-sama dan langsung konsultasi kepada asesor talents mappingnya. Sehingga mampu tervalidasi dan saling jujur untuk hasil bakat kami masing-masing. Dari sana, saya kenal apa yang disuka, kekuatan, aktifitas terbaik dan bakatnya, pun sebaliknya. Ia menjadi lebih memahami lagi karakter saya. Karena awalnya, bak seorang yang baru pedekate awal menikah, kami hanya menebak-nebak saja, setelah mengikuti tes dan keluar hasilnya, semua jadi nyata dan bisa kami terima.

Lalu, setelah membaca surat, bagaimana reaksinya?

Suami bukanlah sosok yang gemar mengumbar kata-kata. Reaksinya sederhana dan dalam, tersenyum, mengusap-usap saya dan memeluk dengan hangat. Sembari bertanya hal apa saja yang perlu dibantu atau minimal mengingatkan? Sebab saya sendiri bukanlah sosok yang suka diperintah ini dan itu, lebih menyukai diskusi dan melakukan sesuatu berdasar apa yang disepakati bersama.

Dalam surat, saya menjelaskan kalau saya perlu belajar mengatur waktu lagi. Untuk menuntaskan dan melatih itu, saya masukkan ke dalam telur oranye di kelas belajar hutan kupu-kupu bunda cekatan. Tujuan saya belajar untuk mahir menata waktu sebagai seorang penulis.

Suami menyadari betul kalau saya memang menyukai aktifitas menulis. Tanpa disuruh pun, saya bisa otomatis duduk di depan laptop hanya untuk mengetik dalam tempo waktu yang lama. Bahkan saat saya menyelesaikan manuskrip buku pertama, tahun 2018 silam, saya bisa bertahan di depan laptop dalam waktu dua pekan fokus. Sampai ada momen saya tidak tidur selama tiga hari, dua malam.

Memang agak ekstrim kegandrungan saya terhadap aktifitas menulis, tapi ya memang itu yang saya suka dan bisa. Setelah diingatkan oleh Dee Lestari dalam kelas, tahun 2020 lalu, saya tersadar bahwa menjadi penulis dan terus berkutat melakukan aktifitas menulis, perlu membangun kebiasaan yang sehat, agar tubuh serta pikiran tetap jernih. Sebab profesi sebagai penulis merupakan salah stau profesi yang rawan mengidap stress. Maka dari itulah saya letakkan fokus 2021 ini untuk menatanya, insyaaAllah akan saya ubah secara perlahan dan minta dukungan suami yang sudah membaca setiap tugas saya di kelas bunda cekatan.

Dukungannya yang Penuh dan Menenangkan

Saya kagum dengan semangat suami dalam belajar berbagai hal. Sosok yang gemar membeli buku parenting khusus dirinya, parenting ayah, sosok yang suka membeli buku tentang lingkungan, makanan hingga novel. Mungkin, jika disuruh memutar ulang. Dari seluruh lelaki yang pernah dekat dan baik di zaman kuliah dulu, seandainya diminta untuk memilih satu saja dari semuanya, maka saya akan tetap memilih, Aang Hudaya.

Suami sering memberikan dukungan dalam berbagai hal. Saya masih ingat, suami begitu bersemangat menjaga anak saat saya melakukan aktifitas di luar rumah. Seperti saat dulu mengantar saya wisuda Ibu Profesional, memenuhi undangan saat mengikuti perlombaan, saya minta riset ini dan itu, sampai pernah di saat saya tak bisa terbang ke Yogyakarta untuk bersilaturahim ke penerbit (Bentang Pustaka), suami mau dan bersedia ke sana.

Betapa supportnya selama ini benar-benar membuat saya bersyukur. Suami juga tak malu jika diminta berbagi ilmu yang dimilikinya kepada sekelompok ibu-ibu dan juga bapak-bapak. Terutama tentang aktifitas domestik, berbenah, hidup selaras alam hingga kegiatan memasak. Suami memiliki akun cookpad dan pernah bilang kalau ingin mendapat golden apron di sana. Namun ia ciut, karena partisipannya mayoritas ibu-ibu. Betapa susahnya mencari teman seperjuangan di akun cookpad itu.

Sampai suatu ketika, fotonya diunggah di instagram resmi cookpad dengan sesama member laki-laki yang gemar memasak, ia begitu senang.

Saat kami berpindah rumah kontrakan ke komplek yang baru, suami menemukan kawan tetangga, sesama bapak-bapak yang hobinya memasak juga. Katanya, bonus tinggal di hunian yang sama-sama muda, sama-sama merintis kehidupan dan memiliki kesamaan hobi adalah rezeki, dan suami menjadi lebih betah dan bersemangat. Kini, mereka (para bapak-bapak) selain membuat program olahraga pingpong, mendaki gunung, berkebun dan tentunya berkumpul untuk memasak bersama sesama bapak-bapak.

Dukungan suami dari awal menikah sampai detik ini, termasuk dalam mencari rumah, adalah berupaya agar potensi didalam diri dan semangat dalam jiwa saya tak runtuh. Ia begitu memahami betapa saya membutuhkan lingkungan yang baik dan nyaman. Bahkan kami rela ‘menahan diri’ untuk tidak mengambil KPR hanya untuk selektif dalam memilih tetangga. Bagi suami, tetangga adalah saudara, dimana jika anak kita ingin dididik dengan lingkungan baik, maka memilih lingkungan itulah yang paling utama. Dan lingkungan terkecil adalah memilih tetangga yang bisa diajak bertumbuh bersama. Termasuk dalam hal pembuatan sistem pengelolaan sampah yang terpilah, walau berjalan perlahan-lahan, namun kami sudah senang dengan bergeraknya para ayah yang mau terlibat dalam upaya berkebun bersama dan mendidik anak di acara kids club setiap pekannya.

Rasa Syukur Saya

Dulu, saya merasa bahwa lelaki itu kejam. Lelaki itu menindas dan suka bersikap seenaknya. Sebab trauma di masa kecil, saat Bapak selingkuh, Ibu dipukul, kami ditelantarkan, sampai saya dititipkan ke kakek-nenek dari usia batita, begitu membekas. Sampai pada masa sekolah, SMA, ada seorang kawan yang mengatakan bahwa anak broken home relatif sulit untuk membina hubungan dengan lawan jenis. Walau hal itu tidak bisa digeneralisir, namun sempat saya alami dan akui bahwa memang benar. Saya tidak berani menjalin hubungan erat dan rekat dengan siapapun.

Sampai suatu ketika, suami hadir. Padahal kami jauh. Beda almamater. Beda kampus. Namun, saya yakin, Allah sudah menuliskannya bahwa jodoh saya adalah Aang Hudaya, sejak lima puluh ribu tahun sebelum kejadian alam semesta ini ada. Sejauh itu ia melangkah, dari Jawa Barat menuju Jawa Timur. Dari IPB ke ITS hanya untuk serius berkomitmen dan menghadap orangtua saya. Bahkan, yang notabene saya sudah tidak berkomunikasi dengan Bapak, lama sekali, justru Aang Hudaya-lah yang berani mendatangi rumah Bapak dan berbincang langsung dengannya.

Walaupun pada akhirnya, Bapak tetap tak berani hadir di pernikahan kami, sebab sudah kepalang malu, puluhan tahun tidak memberi nafkah dan meninggalkan Lumajang begitu saja. Namun saya bersyukur, sebab dengan demikian, Ibu saya menjadi lebih ‘terjaga perasaannya’ dan merasa lega bisa melepas anak satu-satunya ini kepada sosok lelaki yang baik dan bertanggung jawab dunia dan akhirat. Dan sebagai istri, semoga saya mampu menjadi sosok pendampingnya yang terus bertumbuh dengan seluruh kesungguhan yang saya punya untuk mendapat Ridho dari Allah yang Maha Penyayang. Sebab rasa sayang ini, hadir sebab izin Allah. Amiin.

“The great marriages are partnerships. It can’t be a great marriage without being a partnership.”

Helen Mirren

#ibuprofesionalbandung
#miladke7
#emagz
#magnificent7
#bringbackfamilyvalues
#ibuprofesionalforIndonesia
#semestakaryauntukIndonesia
#ibuprofesional2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *