BEROPINI DAILY

Tidak Ada yang Jahat di Dunia Ini

Dulu, aku mengira kalau disakiti oleh apapun itu, entah orang, kebijakan sistem, apapun itu, yang salah adalah eksternal. Tapi kini, semakin belajar secara menyeluruh, kesimpulannya ternyata satu. Yakni, tak ada sesuatu apapun di dunia ini yang jahat dan bisa menyakiti diri. Karena sebagai seorang muslim, kita punya keyakinan bahwa tidak ada yang buruk yang Allah ciptakan di bumi ini.

Sudah bersekolah sampai belasan tahun, ibroh atau pelajarannya baru diterima di usia saat ini, bagiku gak masalah. Kenapa?

Artinya, memang Allah kasih taunya saat ini karena kemungkinan aku sudah dilihat telah ‘siap’ menerima ilmu itu semua.

Keterbatasan pengetahuan Diri

Disini aku yakin, menggali dan menyelami ilmu tiada habisnya. Semakin belajar, semakin merasa kecil sekali. Betapa Allah punya ilmu luas tak terkira.

Setelah merenungi aneka peristiwa dalam kehidupan ini, ternyata hidupku sejatinya ‘the best version’ of my life. Intinya, kalau enggak begini jalannya, maka aku enggak akan bisa sampai disini. Segala rasa tak nyaman yang pernah dilalui, itu semua ada kebaikannya. MasyaaAllah !

Akibat dari kebodohan, kurang pemahaman, kurang belajar, bahkan bisa disebut ilmu syaratnya jika dan hanya jika sudah diaplikasikan dan aku merasakan manfaatnya, maka, dulu emang keterbatasan pengetahuan aja jadinya enggak paham, jadinya seringkali salah dalam membuat keputusan-keputusan.

Pemahaman bisa didapat, pintu utamanya memang melalui pengetahuan. Nanti, si pengetahuan ini lah yang masuk kedalam pikiran dan menembus kesadaran, kemudian dirasakan oleh perasaan, dan diterapkan dalam amal perbuatan. Maka, dari situ pula pemahaman (understanding) akan datang dengan sendirinya, kalau dalam islam, namanya ‘taufik’.

Orang yang punya pengetahuan, belum tentu diberi taufik. Tapi, jalan masuknya taufik memang dari pengetahuan (kadang dikombinasi sama peristiwa atau kejadian-kejadian di kehidupan).

Ketidakseimbangan

Saat aku merasa disakiti oleh orang lain, jangankan orang, mungkin kayak bakteri atau patogen, atau apapun itu yang bikin sakit, tandanya ada yang tidak seimbang. Semua bakteri adalah baik, yang bikin kita sakit sebenarnya diri sendiri. Ketika mengkonsumsi (apapun itu) secara tidak sadar dan tanpa membuat batasan, jadilah kebablasan. Sehingga bakteri yang didalam tubuh mengalami ketidakseimbangam, collapse, sakit.

Bahkan guruku bilang, makan tidak boleh berlebihan sekalipun itu organik. Bahkan ada beberapa makanan organik yang juga perlu dihindari karena beberapa bagian organ kita menolaknya, maka perlu ‘listen the body’ setiap beraktivitas ya. Dan bersyukurnya, islam memberikan panduan. Sebelum makan, ada adabnya. Bahkan ada doanya.

Pun dengan perasaan. Itu semua bukan tentang orang atau perkataan orang, its’s all about ‘self’ (diri sendiri). Dan benar, ketika aku sadari pas (rasa tidak nyaman) itu terjadi, ada ketidakseimbangan yang aku biarkan tidak aku ‘pagari’. Dan bisa jadi, ketidaksadaran diri juga, efek pikiran tidak dihadirkan, perasaan juga tidak sepenuhnya dirasakan.

Pas lagi emosi, bisa jadi ada kebutuhan yang tidak atau belum aku penuhi.

Pas lagi baca kata-kata menusuk hati, bisa jadi aku terlalu ‘lost’ buat enggak menegakkan boundaries atau batasan diri. Karena bagiku yang suka nulis, kata-kata tuh netral ya aslinya, yang memberi makna dan pandangan sejatinya ya hanya diri sendiri aja. Kecuali kata-kata itu bentuknya verbal dari mulut, ada intonasi dan ada jeda. Kalau intonasi orang lagi marah tentu akan berbeda dengan intonasi orang sedang bahagia.

Ketika ada sebuah kata yang masuk sekalipun, karena aku pernah menelepon seseorang yang salah tapi orangnya tetap merasa benar dan justru menyalahkan aku, saat itu juga aku tahu intonasinya orang kalau bersuara seperti itu (di telinga), tidak nyaman didengarkan.

Waktu aku belum punya taufik, aku sakit banget rasanya. Sampai-sampai aku enggak mau menyentuh apapun yang seharusnya aku kerjakan. Sampai aku merasa kerdil, insecure dan tidak berdaya. Sampai banyak orang menanyakan mana lagi nih mbak Nikmah (postingan, karya, buku dst).

Barulah, Alhamdulillah 2023 ini aku (insyaaAllah) mulai bangkit lagi. MasyaaAllah, setelah aku belajar, aku jadi paham. Bahkan aku merasa kasihan dengan diriku sendiri. Setelah aku telusuri, aku peluk diri kecilku dan aku meminta maaf karena telah mengabaikannya lama. Ya, just feels my feelings. Hak dari sebuah perasaan hanya perlu dirasakan, bukan?

Nah, kaca mata pandanganku pada orang (yang awalnya menurtuku menyakiti) itu pada akhirnya berubah. Dari awalnya sakit hati, benci diri sendiri, merasa tidak berguna, menjadi lega, ini qaddarullah, aku menerimanya, acceptance myself, dan I love myself. Bahkan aku juga merasa kasihan dan sayang aslinya sama dia (karena awalnya juga aku suka dengan semangatnya, sampai-suatu ketika ada yang mengadu domba memfitnah -ini jadi pelajaran buatku, kalau posting sesuatu perlu cek siapa yang bisa mengaksesnya dan pentingnya ‘tidak merasa memiliki sesuatu’ apapun itu).

Dan tentu, bisa jadi, ada bagasi emosi yang belum tuntas juga di orang itu, sehingga dia menabrak boundaries yang kondisinya saat itu aku low banget. Maka, kini aku mensyukuri itu semua (baik yang hadir rasa tak nyaman di waktu kecil dan usia besar hari ini).

Jadi, sebenarnya tidak ada yang jahat di dunia ini. Pun dalam islam, sudah jelas. Jika kita berbuat baik, sejatinya kita telah berbuat baik untuk diri sendiri. Dan apabila berbuat zalim dan buruk, sesungguhnya keburukan dan kezaliman itu ada hisabnya kelak di akhirat.

Intinya adalah, aku cuma bisa berusaha. Karena sebagai manusia, ranah kita hanya ikhtiar saja, kesembuhan sejati (dari fisik hingga spiritual) itu sejatinya murni pemberian Allah. Logikanya, napas pun kita diberi, masa mau merasa ini milik kita semua? Ya, tidak yaaa. Semua ini titipan, jasad ini titipan, kelak ada perhitungan di negeri keabadian.

Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan taufik untuk diri ini, diri kita, agar tidak menjadikan hidup di dunia ini sebagai ujian yang mendera. Sebab dibalik kesulitan, sudah Allah ciptakan kemudahan.

Wallahu’alam.

Bogor, 2 Dzulhijjah 1444 H.

Tinggalkan Balasan